Kopi Gayo, Saksi Bisu Kekuasaan Belanda di Dataran Tinggi Gayo

Rabu, 31 Oktober 2018 - Muchammad Yani

BAGI pencinta kopi tentu mengenal kopi Gayo. Varietas kopi arabika ini sangat termahsyur bahkan hingga dataran Eropa. Kopi Gayo punya cita rasa dan aroma yang sangat khas. Rasa pahitnya tak menempel pada lidah. Bahkan beberapa kalangan penggemar kopi berat mengatakan cita rasa kopi Gayo melebihi kopi Blue Mountain dari Jamaika.

Kopi Gayo merupakan komoditi unggulan di Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah. Kopi ini kerap meraih penghargaan sebagai kopi terbaik di dunia. Salah satunya di International Conference on Coffee Science, Bali, Oktober 2010. Saat itu kopi Gayo mengalahkan varietas arabika dari daerah lain.

Namun, dibalik kepopulerannya, kopi Gayo punya sejarah yang cukup panjang. Ia bahkan menjadi saksi bisu kekuasaan kerajaan Belanda di tanah Dataran Tinggi Gayo. Kopi ini juga tak bisa dilepaskan dari penyebaran kopi ke Nusantara di abad 17. Saat itu seorang berkebangsaan Belanda membawa biji kopi dari Mocha (Yaman) ke Batavia.

Lika liku perkembangan kopi di Aceh

Perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo (Instagram/petanikopi_gayo)
Perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo (Foto: instagram@petanikopi_gayo)

Dilansir dari tengkuputeh.com, pada awalnya kopi bukanlah komoditi di Aceh termasuk Dataran Tinggi Gayo. Sebelumnya sudah ada lada yang tumbuh subur di sana. Sejak berabad-abad lamanya tanaman lada merupakan mata pencaharian masyarakat Aceh. Setiap tahun Aceh berhasil menjual lada sebanyak 2.718 ton per tahun. Di akhir abad 19, Aceh adalah produsen lada terbesar di dunia.

Kejayaan itu berakhir saat Belanda menyatakan perang kepada Kesultanan Aceh tahun 1873 dan berlanjut hingga 1904. Perang besar diakhiri dengan penangkapan Sultan Muhammad Daudsyah. Kebun lada terbengkalai dan digantikan dengan penanaman biji kopi di tahun 1908.

Kopi Gayo menjadi saksi bisu penjajahan Belanda (Instagram/petanikopi_gayo)
Kopi Gayo menjadi saksi bisu penjajahan Belanda (Foto: instagram@petanikopi_gayo)

Pada awalnya lahan yang dibuka hanya 100 hektar saja. Kemudian diikuti dengan munculnya sebuah kampung baru kebun-kebun kopi rakyat seperti Paya Reje, Paya Tumpi, Bintang dan daerah di sekitar Danau Laut Tawar.

Salah satu peninggalan dari pengelolaan kopi oleh Belanda adalah sisa pabrik pengeringan biji kopi di dekat Masjid Baitul Makmur, Desa Wih Porak, Silih Nara, Aceh Tengah. Terlihat sisa pondasi, tembok, kincir angin serta kolam tempat pengeringan.

Meski demikian ternyata kepopuleran kopi di Aceh sudah ada sebelum itu. Saat perang melawan pasukan Van Heutsz pada 11 Februari 1899, Teuku Umar sempat mengatakan “Besok pagi kita akan minum kopi di kota Meulaboh atau aku akan syahid”. Kalimat ini bisa ditemukan di Prasati Desa Mugoe, Meulaboh. Meskipun saat itu kopi adalah barang impol yang mahal.

Jadi bahan monopoli Belanda

Dulu masyarakat biasa tak boleng mengonsumsi Kopi Gayo (Instagram/pendiwong54)
Dulu masyarakat biasa tak boleng mengonsumsi Kopi Gayo (Foto: instagram@pendiwong54)

Di Aceh ada dua jenis kopi yakni arabika dan robusta. Kopi arabica di tanam di Dataran Tinggi Tanah Gayo, Aceh Tengah yang kini kita kenal sebagai kopi Gayo. Sementara kopi robusta biasa di tanam di daerah Ulee Kareng yang menghasilkan kopi Ulee Kareng.

Saat masa kekuasaan Belanda ada peraturan yang dibuat. Masyarakat biasa hanya boleh mengonsumsi kopi robusta. Sementara kopi arabika dijadikan sebagai kelas premium. Kopi ini dikhususkan untuk kalangan Belanda dan ekspor.

Saking dimonopolinya, kopi yang ditanam di Dataran Tinggi Gayo diberi nama Holland Coffee bukan kopi Gayo seperti yang kita kenal saat ini. Hal itu tertuang dalam undang-undang Belanda.

Pantan Terong di Dataran Tinggi Gayo (Instagram/sumpah_bukan_akun_gue)
Pantan Terong di Dataran Tinggi Gayo (Foto: instagram@sumpah_bukan_akun_gue)

Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia menghadiahkan perkebunan kopi ke perwira militer Ilyas Leubee yang kemudian olehnya membagi rata ke masyarakat sekitar. Pembagian itu membuat pabrik kopi milik Belanda terbengkalai hingga sekarang.

Melihat menanam kopi sangat menguntungkan, masyarakat yang tidak kebagian jatah mulai ikut menanamnya. Hingga akhirnya Dataran Tinggi Gayo menjadi perkebunan kopi terbesar buhan hanya di Indonesia melainkan juga di Asia. Saat ini sekitar 90 hektar lahan ditanami kopi yang dikelola oleh petani individual.

Seiring berjalannya waktu kopi sudah menjadi bagian dari masyarakat Aceh. Di sana kopi bukan hanya sekadar dinikati rasanya. Kedai kopi menjadi tempat berkumpul, bersendagurau atau apapun yang bisa dibicarakan. (yani)

Bagikan

Baca Original Artikel

Berita Terkait

Bagikan