Ketika PSI Bicara Soal PSSI dan Komentari Mundurnya Edy Rahmayadi
Senin, 21 Januari 2019 -
MerahPutih.com - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ikut mengomentari mundurnya Edy Rahmayadi dari posisi Ketum PSSI.
Jubir PSI Andi Saiful Haq menyatakan, PSI menyambut baik mundurnya mantan Pangkostrad itu dari posisi puncak organisasi sepak bola nasional.
"Tidak mungkin mengharapkan prestasi sepak bola dari manajemen organisasi PSSI dan perilaku korup dalam pengaturan skor," kata Andi dalam keterangan tertulisnya, Senin (21/1).
Menurutnya, untuk membangun prestasi sepak bola yang baik tidak ada korelasinya dengan demokrasi dan politik melainkan dengan budaya, di samping faktor lainnya seperti finansial, pembinaan, fasilitas, dan kesejahteraan.
China dan Korea Utara yang dikenal memiliki pemerintahan yang terpimpin secara ideologi dan politik mampu membawa prestasi sepak bola mereka dalam pentas Olimpiade maupun Piala Dunia.
Begitu juga dengan Palestina dan Irak yang negaranya dirundung perang puluhan tahun masih bisa menunjukkan prestasi luar biasa.
"Jadi, PSSI harus mulai meninggalkan opsi apakah PSSI harus dipimpin secara politik atau militer. Sebab persoalannya tidak terletak di sana," ujarnya.

Di samping itu, kebudayaan olahraga dan sepak bola, lebih khusus lagi adalah budaya tanding menjadi sorotan PSI.
Budaya tanding tidak mungkin tumbuh di tengah budaya korupsi, budaya fitnah, dan budaya pesimistis yang ditunjukkan para elite politik.
"Atlet kita kehilangan budaya tanding karena tidak menemukan pijakan kuat mengapa mereka harus menang untuk Indonesia?" ungkapnya.
Padahal, katanya, dari segi finansial sepak bola Indonesia sudah cukup mapan.
Menurutnya, jumlah penonton jika digabungkan seluruh liga, bisa mencapai 12 juta penonton setiap musimnya, hampir menyamai jumlah penonton Bundesliga Jerman dan Premiere League Inggris yang mencapai 13 juta penonton.
Begitu juga dengan penjualan hak siar dan iklan, pendapatan dari sana bisa mencapai 360 juta US dollar setiap tahun.
"Jadi, tidak ada alasan untuk tidak memiliki prestasi yang baik," katanya.
"Karena sekali lagi persoalan utama sepak bola Indonesia adalah hilangnya budaya tanding akibat korupsi dan narasi kebohongan yang secara vulgar dipertontonkan," tandasnya. (Fdi)