Keberagaman Budaya dalam ‘Raya and the Last Dragon’

Jumat, 05 Maret 2021 - Andreas Pranatalta

KEHADIRAN film animasi terbaru Disney, Raya and the Last Dragon menjadi salah satu tayangan yang ramai dibicarakan. Bagaimana tidak, selain visualnya yang memanjakan mata, film animasi ini juga menampilkan keberagaman budaya di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Raya and the Last Dragon fokus pada petualangan Raya (Kelly Marie Tran) yang mencari Sisu (Awkwafina), sang naga terakhir. Para penonton akan dibawa ke dunia fantasi fiksi bernama Kumandra, tempat manusia dan naga hidup berdampingan. Namun semuanya berubah ketika kekuatan jahat bernama Druun, mengancam negeri itu dan membuat naga mengorbankan diri mereka untuk menyelamatkan manusia.

Mengutip ANTARA, pengenalan film dibuka dengan sejarah Kumandra, negara yang dulunya adalah kesatuan tetapi karejan kejahatan orang-prang, Druun dilepaskan dan mengubah jalan mereka menjadi patung. Sisu, sang naga terakhir, kemudian berhasil menyelamatkan umat manusia. Namun sayangnya tidak dapat menghentikan orang-orang yang selamat untuk terpecah menjadi lima suku, yakni Fang, Heart, Spine, Tail, dan Talon.

Baca juga:

‘Raya and the Last Dragon’ Libatkan Seniman Indonesia

raya
Sisu, sang naga terakhir. (Foto: YouTube/Silver WillowWing)

Meskipun di awal pembukaan film memberikan topik yang cukup gelap bagi penonton anak-anak, film ini berhasil membungkusnya dengan elemen-elemen khas Asia Tenggara, seperti wayang khas Indonesia.

Cerita kemudian berlanjut pada Raya kecil yang terlahir di Negeri Heart dan ditugaskan melindungi sebuah Permata Naga Sisu yang kuat. Namun, sosok Namaari (Gemma Chan), perempuan asal Negeri Fang, mencoba mencuri dan memecahkan batu tersebut.

Seketika, Druun muncul kembali dan membuat kejadian 500 tahun silam itu terulang lagi. Raya yang awalnya percaya dengan Namaari sebagai seorang teman, merasa dikhianati karena usahanya untuk mencuri Permata Naga. Mulai dari sinilah Raya menjadi sulit untuk percaya dengan orang lain.

Baca juga:

Bangga, Anggun Ikut Jadi Pengisi Suara di ‘Raya and the Last Dragon’

Keberagaman Budaya dalam ‘Raya and the Last Dragon’
Topi caping yang dikenakan Raya. (Foto: Variety)

Sang naga terakhir pun ditemukan dan petualangan mereka untuk menemukan pecahan Permata Naga demi melawan Druun pun dimulai. Di sisi lain, sang rival Raya, yaitu Namaari, adalah seorang pejuang yang memiliki presensi sama kuatyna seperti Raya. Motif dan hubungan keduanya menjadikan cerita kian intens ketika dua lakon wanita tersebut muncul.

Di sepanjang perjalanannya, Raya belajar bahwa untuk menyelamatkan dunia, hal yang dibutuhkan bukan hanya seekor naga, tapi juga percaya dan kerja sama. Di sini, persahabatan dipertaruhkan dan kerja sama berpotensi mengembnalikan Kumandra yang dulu.

Sejumlah senjata hingga aksi bela diri yang ditampilkan mengusung kekhasan Asia Tenggara. Sebut saja seperti arsitektur bangunan tradisional, kuliner, busana, hingga latar musik. Para kru film pun melakukan perjalanan ke seluruh negara di Asia Tenggara.

Budaya Indonesia pun tidak luput dari perhatian para kru. Misalnya saja topi caping yang dikenakan Raya, pedang meliuk seperti keris, musik gamelan, wayang, hingga tradisi membatik tulis menggunakan canting dan malam. Sentuhan ini memberikan rasa akrab yang begitu dekat dan hangat, terutama bagi penonton Indonesia. (and)

Baca juga:

Raya and the Last Dragon, Cerminkan Mitos Budaya Asia Tenggara Lewat Animasi

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan