Inspirasi Ngilmu di Negeri Aing Lewat Hidup Sepuh Layar Perak Indonesia
Rabu, 28 Juli 2021 -
PETUALANGAN menantinya, tapi namanya belum terkenal seantero negeri nusantara. Bahkan belum ada satupun yang mengenal dirinya, selain keluarganya. Nama anak laki-laki itu adalah Steve Liem Tjoan Hok. Dirinya lahir di Pandeglang, Banten.
Ketika dirinya masih kecil, dia diasuh oleh neneknya dan sahabat dari pihak neneknya. Meskipun begitu, anak dari Naomi Yahya dan Laksana Karya selalu menunjukkan keunggulannya yang berbeda. Keunggulan itu ditunjukkan setelah dirinya menginjak bangku SMP. Saat SD, dirinya hanya murid yang terbiasa pulang-pergi.
Baca juga:
Dirinya tidak menguasai aljabar ataupun hal berhubung hitung-menghitung. Akan tetapi, dia sangat mendalami ilmu di bidang bahasa, sejarah, dan visual (nama keren menggambar). Steve Liem Tjoan Hok mewarisi kegemaran membaca dari pamannya. Karena dirinya pindah ke rumah pamannya yang berlokasi di ibu kota Indonesia, Jakarta. Hal itu disebabkan gesekan etnik di tempat tinggal.
Kelak dirinya dipanggil Teguh Karya seiring berjalan karier kehidupannya. Setelah pulang dari pendidikan tertingginya di Hawai, yaitu bidang art directing (seni berakting), Steve Liem atau Teguh Karya bekerja sebagai manajer panggung di hotel Indonesia.

Tentunya, bukan manajer panggung biasa, melainkan panggung untuk pementasan teater populer. Teater populer adalah perkumpulan anggota teater Indonesia yang didirikan Teguh Karya pada 1968. Nama Teguh Karya diterima Steve Liem setelah dirinya lulus Akademi Teater Nasional (ATNI) pada 1957-1961.
Setelah lulus dari ATNI, dia menempuh pendidikan luar negerinya di Hawaii, tepatnya di Universitas Hawaii (university of hawaii) pada 1962-1963. Barulah dirinya bekerja di perhotelan.
Teguh karya selalu berkecimpung di dunia pertunjukkan teater. Seperti mendirikan Badan Pembina Teater Nasional Indonesia pada 1962, sebelum hadirnya teater populer. Serta menjadikan teater populer sebagai pondok seniman-seniman Indonesia memacu kreativitasnya.
Teater populer didirikan Teguh Karya di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Selanjutnya, dikenal Teater Populer Hotel Indonesia karena penampilan anggota ditujukan sebagai pengisi acara. Teater populer diisi seniman teater independen, mahasiswa, serta alumni Teater Nasional (ATNI). Saat waktunya tiba, teater populer menjadi peninggalan terpenting Teguh Karya.
Setelah puas dalam dunia teater, mulai tenggelamlah dirinya di dunia layar kaca. Layar kaca disebut layar perak, yang berarti perfilman. 'Si sepuh' memulai uji coba dengan meluncurkan film anak-anak pada 1968, tapi merasa jenis penceritaan anak-anak kurang ‘masuk’ baginya.
Baca juga:
Keunikan Ngilmu di Negeri Aing, Siswa Pulau Dewata Sekolah Pakai Pakaian Adat
Di 1971, dirinya memproduksi dan merilis film pertama berjudul Wajah Seorang Laki-Laki. Cerita dan skenarionya dibuat oleh sang sutradara, sedangkan pemainnya berasal dari dunia teater seperti Slamet Rahardjo, hingga Tuti Indra Malaon.
Namun, film pertama tidak berjalan mulus. Gagal dari segi bisnis karena kurang diminati masyarakat, sedangkan kekuatan visual belum menggaet Festival Film Indonesia (FFI) pada 1972. Namun, kritikus film dan media memuji karya pertama sutradara domisili Banten ini. Karena gayanya berbeda dengan sutradara umumnya saat itu.
Hal itu terjadi karena Teguh pernah menulis skenario untuk film semi dokumenter guna setoran ke Perusahaan Film Negara (PFN). Saat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), dirinya menyaksikan pekerjaan sutradara seperti Djadoeg Djajakusuma, Nya Abbas Akup, Misbach Yusa Biran, hingga Wim Umboh.
Kegagalan film pertama tidak menyurutkan niat Teguh menyajikan film-film terbaru. Lalu, gapaian dirinya mendapat Anugerah Seni Indonesia oleh pemerintah pada 1969 menjadi motivasi dirinya. Selanjutnya, dia merilis film Cinta Pertama (1973), Kawin Lari (1974), Ranjang Pengantin (1974), Perkawinan Dalam Semusim (1976), Badai Pasti Berlalu (1977), dan judul-judul yang belum dituliskan.
Teguh meraih enam piala kategori sutradara terbaik Festival Film Indonesia aka Piala Citra. Enam judulnya adalah Cinta Pertama (1973), Ranjang Pengantin (1974), November 1828 (1979), Di Belakang Kelabu (1983), Ibunda (1986), dan Pacar Ketertinggalan Kereta (1989).
Di luar enam piala citra, sepuh teater juga memiliki tiga nominasi sutradara terbaik lewat film Usia 18 (1980), Secangkir Kopi Pahit (1985), dan Doea Tanda Mata (1985). Prestasi yang diraih Teguh karena filmnya memberikan detail pada akting, setting, cerita, unsur drama, dan mengambil masalah kehidupan sehari-hari saat itu.
Namun, prestasi terbaik yang dihasilkan Teguh Karya adalah menyediakan tontonan sinetron untuk masyarakat Indonesia. Mulai dari sinetron Pulang (1987), Arak-Arakan (1992), Pakaian & Kepalsuan (1994), serta Indonesia Berbisik (1995) sebagai film televisi.

Pacar Ketertinggalan Kereta adalah karya terakhir Teguh Karya di bagian film, tapi Indonesia Berbisik (1995) menjadi karya penutupnya sebelum sakit menggempurnya. Akhir dari kisah sang sutradara legenda diturunkan kepada pewarisnya. Tentunya, bukan pada anaknya, melainkan aktor dan aktris didikan Teguh.
Warisan Teguh adalah Teater Populer dan artis didikannya. Slamet Rahardjo, Alex Komang, Christine Hakim, Roy Marten, Ayu Azhari, Eros Djarot, Ria Irawan, Yessy Gusman, Henky Sulaiman, Niniek L Karim, banyak belajar dari Teguh karya.
Para artis didikannya juga berprestasi. Salah satunya Christine Hakim meraih piala citra sebagai artis pemeran utama. Meskipun disalip Putri Marino, aktris pemeran film Posesif (2017), Christine mengukuhkan piala citra yang kesembilan pada Desember 2020.
Meskipun menghasilkan dua warisan untuk negeri ini, ada satu warisan Teguh karya yang terlupakan. Yaitu formula alur sinetron karya Teguh Karya. Seperti hal filmnya, sinetronnya memiliki nilai tersendiri di hati penonton.
Oleh karena itu, ada baiknya sinetron tanah air mementingkan alur penceritaan dan mengambil cerita sehari-hari di luar isu internal. Karena cepat atau lambat sinetron tanah air akan mati, dan terlupakan. Berbeda dengan Teguh Karya yang dikenang memori sampai sekarang. (bed)
Baca juga: