Dhea Chandra, Kartini Muda Kenalkan ABK kepada Dunia

Sabtu, 21 April 2018 - Dwi Astarini

CEDERA kepala yang memengaruhi lobus temporalis mengubah kehidupan Dhea Chandra. Segudang aktivitas yang biasa ia jalani mendadak hilang dari agenda hariannya. Ia terpaksa cuti dari perkuliahan dan vakum dari dunia musik.

Namun, seperti keyakinannya, bahwa pasti ada hikmah yang disiapkan untuknya di balik semua peristiwa, perubahan drastis itu malah menuntunnya ke sebuah dunia baru, menulis.

Meski mengaku sempat merasakan kecewa, ia ingat untuk selalu bersyukur atas apa saja yang diberikan Allah. Ia pun percaya bahwa ada makna di balik musibah yang menimpanya. Dalam hal ini, ia menyebut merelakan berhenti dari kegiatan-kegiatan rutin bisa membuatnya jadi orang yang lebih baik. Benar saja, ilham itu datang ketika ia tengah menjalani pengobatan.

"Saat menulis novel ini, saya melibatkan perasaan sehingga bisa self healing dan terapi untuk psikis saya," ujarnya saat dihubungi Merahputih.com.

Gadis 23 tahun ini memang hobi menulis. Kegemaran itu ia akrabi lagi saat tengah menghadapi keterbatasan yang ia alami akibat sebuah kecelakaan beberapa tahun sebelumnya. Bukan hal mudah baginya untuk menerima kenyataan bahwa hidup yang tadinya berjalan biasa, tiba-tiba harus dibatasi kekurangan. Namun, Dhea tak mau menyerah.

"Bisa menuntaskan novel ini bisa dikatakan suatu hal yang luar biasa. Itu membuat saya percaya pasti di masa depan akan diberi hal-hal baik oleh Allah jika saya mampu merasa bersyukur," ujarnya.

Novel Senja di Mata Bintang mengetengahkan kisah cinta yang tak biasa. Kisah Gemma yang jatuh cita pada pria yang tak biasa bernama Bintang. Ya, karakter dalam novel karya Dhea memang terinspirasi dari kisah nyata para anak berkebutuhan khusus. Ia yang merupakan putri dari Tisna Chandra, psikolog yang juga pegiat dan pemerhati anak berkebutuhan khusus, memang telah mengakrabi anak berkebutuhan khusus sejak berusia belia.

"Saya sejak kecil hidup dengan anak berkebutuhan khsus (ABK). Saya bahkan berkawan dekat dengan mereka," ujarnya.

Karakter Bintang dalam novelnya mewakili para ABK yang kerap disangka sebagai individu yang gagal dalam interaksi sosial. Lewat Bintang, Dhea ingin menyampaikan kepada dunia bahwa ABK juga bisa punya kisah cinta. Itulah mengapa, dengan berani Dhea membuka novelnya dengan sebuah pertanyaan mendasar, 'apa salahnya mencintai seseorang?'.

Bagi Dhea, para ABK ialah individu dengan sejuta warna. Berinteraksi dengan mereka bisa membawanya ke dimensi lain kehidupan. Lewat kacamata, cara pandang ABK, ia pun bisa memaknai apa arti hidup sebenarnya.

"Believe me, the sight is beautiful," ujarnya.

Sejuta ekspresi ABK memang sulit untuk dipahami, tapi jika dunia luar mau mencoba memahami mereka, yang ada ialah anak-anak dengan orisinalitas dari segala dimensi. ABK pun punya kreativitas, perasaan, dan kemampuan yang melekat pada diri mereka.

"Lewat novel ini, saya ingin dunia tahu. Sayang jika masyarakat luas tidak melihat siapa sebenarnya para ABK ini," tegasnya.

Tekad kuat memperkenalkan dunia anak berkebutuhan khusus itulah yang menguatkan Dhea untuk menuliskan kisah Gemma dan Bintang. Selama 3 bulan, ia berkutat menulis. Melakukan riset hingga menekuni kembali dunia ABK. Hal itu tentunya tak mudah, terlebih ketika ia sendiri terbatas pada kondisi fisik yang tak boleh terlampau lelah. Meskipun demikian, hal itu hanya membuatnya makin memahami betapa beratnya menjadi orang dengan keterbatasan yang harus berjuang untuk diterima dunia luar.

dea chandra
Mengenalkan ABK lewat novel. (foto: Instagram Dhea Chandra)

Dalam proses kreatif menulis novel, Dhea mencoba melukiskan sedetail mungkin kondisi Jalan Braga, Bandung, yang jadi latar tempat. Ia menyebut Gemma dan Bintang mengawali kisah mereka dari sebuah atap ruko tak berpenghuni di jalan tersebut. Bahkan itu menjadi tempat favorit mereka. Agar bisa menggambarkan dengan mendetail, Dhea melakukan riset, banyak membaca, hingga ia bisa memahami bagaimana dinginnya udara di atas atap ruko juga menuliskan secara tepat pukul berapa matahari terbenam di daerah tersebut.

Lebih jauh, demi novelnya, Dhea mempelajari tentang sindrom asperger, aktivitas ABK, juga melakukan banyak survei dan riset. Mewawancari dokter, psikiater, dan psikolog juga ia jabani. Menurutnya, ia harus bisa mengetahui bagaimana para ABK berinteraksi, menyampaikan emosi, hingga gerak-gerik mereka.

"Terkadang susah menempatkan diri di posisi orang lain. Itu butuh empati yang mendalam. Sehingga akhirnya apa yang saya tuliskan bisa memengaruhi perasaan pembaca," jelasnya.

Tak berhenti di sana, gadis yang juga jago bermusik ini menuliskan dua soundtrack untuk novel tersebut. Ia menyebut lagu itu membantu membentuk atmosfer selama ia menulis. "Bahkan saya juga hanyut dalam cerita," ujarnya.

Sebagai seorang perempuan, gadis manis ini punya pandangan sendiri tentang Kartini masa kini. Menurutnya, Kartini masa kini ialah para perempuan yang menyuarakan aspirasi untuk emansipasi. Mereka berprestasi, mampu membuat gebrakan, dan membawa perubahan ke arah lebih baik. Perubahan itu, meskipun tak massif, punya pengaruh bagi sesama perempuan.

"Yang terpenting jadi sosok perempuan pendidik dalam keluarga maupun lingkungan sekitar dan bangsa," jelasnya.

Tetap bersyukur di tengah keterbatasan. (foto: Instagram Dhea Chandra)

Hal itulah yang coba dilakukan Dhea lewat sebuah novel yang menginspirasi, mengedukasi dunia luar tentang kehidupan ABK yang selama ini masih kerap dianggap minus bahkan disalahartrikan. Kegigihannya dalam menulis meski harus melawan lelah dan keterbatasan kondisi fisik menjadi cermin kekuatan seorang perempuan, layaknya Kartini.

"Tadinya saya hampir menyerah. Menuliskan novel ini memberikan saya kekuatan. Tidak sibuk mengasihani diri, karena di luar sana kawan-kawan ABK seperti Bintang yang juga punya keterbatasan dalam hidupnya," ujarnya mantap.

Memanglah dalam menuliskan kisah ABK, Dhea punya harapan besar bahwa novel ini dapat membawa pengaruh baik bagi para pembaca dan bagi semua orang. Agar dunia luar paham bahwa ABK juga bisa menjalin suatu hubungan, bisa merasakan cinta, berhak dicintai, dan mereka berhak mencintai siapa pun. Ia punya keinginan dan impian bahwa novel ini akan tersebar luas baik dalam negeri maupun di luar negeri mengingat jumlah ABK yang sangat banyak, bukan hanya di Indonesia.

"Masih banyak orang di luar sana yang perlu diinformasikan tentang ABK agar semua dapat saling bantu mendukung, memahami, dan mencintai ABK," ujarnya tulus.

Tak hanya hobi menulis, Dhea juga piawai bermusik. (foto: Instagram Dhea Chandra)

Kini, Dhea mulai melangkah pelan kembali ke kesehariannya. Tak bisa langsung sibuk, katanya. Meskipun demikian, ia kini aktif terlibat di Sekolah Anak Berkebutuhan Khsusus Spektrum, mengisi scoring di Impro Visual Storyteller, juga bersiap untuk novel berikutnya.

Tanpa ragu ia pun berbagi tentang dua novel baru yang tengah ia siapkan. Yang pertama ialah Separuh yang bercerita tentang seorang gadis buta sebelah mata. Satunya lagi, Lagu Untuk Bulan tentang gadis pesisir pantai yang tunarungu.

"Ya, kedua-duanya masih seputar orang-orang yang memiliki keterbatasan. Tapi ini fiksi ya," tutupnya.(dwi)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan