Budaya Populer Jepang, Invasi 'Kedua' Jepang di Indonesia
Kamis, 30 November 2023 -
DI sehampar lautan lepas di Tokyo, Jepang, air bergerak tenang. Angin berhembus pelan. Sebuah kapal bernama Bingo Maru berlayar santai.
Kilatan cahaya menimpa kapal. Tetiba suara ledakan terdengar dari kapal, memecah keheningan. Bingo Maru perlahan tenggelam.
Kapal penyelamat bernama Eiko Maru mendatangi Bingo Maru. Serupa Bingo Maru, kapal itu tenggelam setelah terkena sinar dari dalam laut. Para petugas pantai heran dan bertanya-tanya, “Apa gerangan penyebab kedua kapal tenggelam?”
Seorang nelayan mengatakan kepada petugas pantai bahwa itu ulah Gojira, monster misterius yang bersemayam di kedalaman laut lepas Jepang. Adegan ini tersua dalam film Gojira buatan Jepang pada 1954.
Gojira adalah film yang berisi kampanye bebas radiasi nuklir. Pembuatnya ingin mengatakan kepada dunia bahwa radiasi nuklir berdampak buruk bagi kehidupan. Seekor hewan dapat berubah jadi monster raksasa nan ganas.
Pesan itu disampaikan dalam kemasan yang ringkas, ringan, dan populer. Medium film adalah pilihannya mengingat popularitasnya. Film itu kemudian diekspor ke banyak negeri.
“Film mengenai monster merupakan bentuk budaya populer Jepang pertama yang memiliki dampak besar secara global,” ungkap Farozi Rizky Aditya dalam Perkembangan Produk the Idolmaster sebagai Budaya Populer di Jepang.
Melalui budaya populer ini, Jepang sekali lagi berusaha menaklukkan dunia. Namun, tidak dengan jalur kekerasan dan perang seperti dalam Perang Dunia II (1942—1945).
Baca juga:
Sukses dengan film layar lebar, Jepang lalu mengonsep film kartun versi mereka. Diberi nama anime, film ini sebenarnya bukan barang baru. Pada 1945, Jepang pernah membuat film animasi berjudul Momotaro Umi No Shinpei. Inilah film animasi pertama Jepang.
Meski tak laku di pasaran, film ini menunjukkan kemampuan Jepang dalam bidang animasi telah berkembang jauh sebelum era serbuan anime Jepang ke dunia pada dekade 1980-an.
Jepang mulai menumbuhkan popularitas anime pada 1960-an. Kala itu, manga (komik) karya Osamu Tezuka berjudul Tetsuwan Atom diadaptasi jadi film animasi.
“Seri tersebut merupakan awal kesuksesan dari produksi anime di Jepang dan merupakan anime pertama yang di-dubbing ke dalam bahasa Inggris untuk penonton asal Amerika,” tambah Farozi.
Soal manga, Jepang sebermula masih kalah dengan Amerika Serikat. Komik buatan Jepang pada 1950-an, belum sepopuler komik-komik adiwira (superhero) Amerika Serikat seperti Spider Man, Superman, Batman, Wonder Woman, dan sejenisnya.
Popularitas manga mulai meluas ke luar Jepang pada 1980-an. Masa ini Jepang menerbitkan sangat banyak komik (atau kemudian lebih dikenal sebagai manga) hampir 27% atau lebih dari 1,8 juta manga yang diproduksi di Negeri Matahari Terbit.
Manga ini mempunyai beragam tema: sains-fiksi, olahraga, perkelahian anak sekolah, aksi samurai, dan kisah percintaan remaja. Memasuki 1990-an, manga ini diekspor ke berbagai negeri.
Bersama itu pula, musik populer Jepang menemukan wadah tempat berkembang popularitasnya. Musik populer ini disebut J-Pop dan diperkenalkan oleh CEO J-Wave (radio FM asal Jepang) Hideo Saito.
Hideo, yang pada 1988 masih menjabat sebagai direktur perusahaan tersebut, memiliki gagasan untuk membentuk sebuah citra atau entitas yang dapat mewakili ciri khas tersendiri musik Jepang yang berbeda dari glam rock, punk rock, hip-hop, yang hampir semuanya sangat bernuansa Barat.
J-Pop berkembang setelah CD (Compact Disc) diperkenalkan sebagai media rekam digital pada 1982. Penjualan rekaman musik J-Pop melambung pada awal dekade 1990-an, bahkan rekor penjualan rekaman tertinggi Jepang mencapai 400 miliar Yen pada 1991, dan melambung lagi ke 6 triliun Yen pada 1998.
Dekade 1990-an juga menandai masuknya budaya populer Jepang ke Indonesia. Manga, anime, dan musik ibarat jadi tiga kekuatan tak terpisahkan untuk mendukung misi budaya Jepang di Indonesia.
Baca juga:

Budaya populer Jepang masuk ke Indonesia seiring perbaikan pendapatan masyarakat Indonesia. Ini tampak dari peningkatan penjualan barang-barang elektronik untuk mengisi waktu luang seperti televisi, radio, dan mesin karaoke.
Stasiun televisi swasta seperti RCTI dan Indosiar juga berandil dalam meneruskan budaya populer Jepang pada dekade 1990-an. Mereka menyiarkan anime Jepang pada pengujung pekan. Tayangan ini terus bertahan hingga dua dekade.
Perhatian besar masyarakat Indoensia terhadap budaya populer Jepang mendorong Jepang menggunakan budaya populer sebagai instrumen diplomasi. Jepang sendiri telah menganggap Indonesia sebagai rekan penting dalam ekonomi sejak 1970-an.
Jepang juga menilai budaya populer sebagai salah satu cara untuk menyebarkan pengaruh Jepang di luar negeri. Meski tetap menganut nilai-nilai budaya lama, Jepang menerima pula nilai-nilai budaya baru yang masuk akibat globalisasi.
“Jepang mengadaptasi dan mengolah kembali nilai-nilai asing tersebut menjadi nilai-nilai budaya baru yang kemudian berkembang dan dikenal sebagai budaya populer Jepang,” ungkap Aulia Amalina dalam “Budaya Populer Jepang sebagai Instrumen Diplomasi Jepang dan Pengaruhnya terhadap Komunitas-Komunitas di Indonesia” termuat di Andalas Journal of International Studies, Volume 1 Nomor 2.
Hingga hari ini, budaya populer Jepang masih merambah tiap ruang hidup masyarakat Indonesia. (waf)
Baca juga: