Berbohong enggak Cukup Sekali, ini Alasannya

Jumat, 05 Oktober 2018 - Dwi Astarini

MENCERITAKAN hal tak benar atau berbohong bisa menjadi seperti candu. Artinya, sekali seseorang berbohong, ia akan kembali melakukan kebohongan lainnya. Biasanya kebohongan lainnya dilakukan untuk menutupi kebohongan awal yang sudah telanjur diucapkan.

Meskipun demikian, banyak alasan lainnya yang diakui oleh sebagian besar orang sebagai alasan berbohong, seperti tidak mau menyakiti orang yang disayangi, ingin mengendalikan situasi, hingga mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri.

Apa pun alasannya, kebenaran merupakan fakta yang paling baik untuk didengar. Oleh karena itu, pikirlah berkali-kali sebelum mengucapkan kebohongan. Pasalnya, kamu mungkin akan kecanduan dan terjebak dalam pusaran kebohongan.

Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature Neuroscience membuktikan bagaimana orang berbohong tak hanya cukup sekali. Dalam penelitian itu, para ahli melihat dan menganalisis otak seseorang yang sedang berbohong. Penelitian yang hanya mengajak 80 relawan itu membuat beberapa skenario dan mengetes tingkat kebohongan dari setiap peserta.

Hasilnya, para menemukan kebiasaan berbohong tergantung dengan respons otak seseorang. Saat seseorang berbohong, bagian otak yang paling aktif dan bekerja ketika itu ialah amigdala. Amigdala merupakan area otak yang berperan penting dalam mengatur emosi, perilaku, serta motivasi seseorang.

bohong
Sekali berbohong, seseorang cenderung akan selalu berbohong. (foto: pixabay/geralt)

Pada saat berbohong pertama kalinya, amigdala akan menolak perilaku yang kamu lakukan dengan menimbulkan respons emosi. Respons emosi itu dapat berupa rasa takut yang muncul ketika berkata bohong. Namun, saat tidak terjadi hal yang buruk, padahal sudah berkata bohong, amigdala akan menerima perilaku itu dan kemudian tidak lagi mengeluarkan respons emosi. Emosi itu dapat mencegah kamu berbohong untuk ketiga kalinya.

Pada dasarnya, otakmu akan melawan ketika berbohong. Namun sayangnya, otak kemudian mulai beradaptasi setelah melakukan kebohongan. Bisa dibilang, semua orang pasti pernah berbohong, termasuk kamu.

Kebohongan sebenarnya sangat wajar dilakukan manusia. Meskipun demikian, manusia pada awalnya tidak memiliki kemampuan tersebut. Ketika berbohong, pasti berbagai fungsi tubuhmu berubah, seperti detak jantung lebih cepat, berkeringat lebih banyak, hingga gemetaran.

Itu artinya otak kamu merespons kebohongan yang kamu ucapkan sebelumnya. Kamu akan merasa takut ketahuan. Dari sanalah keadaan menjadi buruk bagi kamu. Hal itu membuat otakmu melawan dan akhirnya muncullah berbagai perubahan fungsi tubuh.

topeng
Padahal, otak manusia menolak kebohongan. (foto: Pixabay/vojta_kucer)

Di sisi lain, jika kamu melakukannya berkali-kali, apalagi ketika kebohongan pertama berhasil, otak justru beradaptasi dengan kebohongan yang kamu lakukan. Otak mengira bahwa tidak masalah berbohong satu kali, sehingga otak akan beradaptasi dan lama-kelamaan tidak ada lagi perubahan fungsi tubuh ketika kamu bohong.

Jika sudah sampai pada tahap itu, kamu enggak akan lagi punya respons emosional saat melakukan kebohongan. Akhirnya, berbohong jadi hal yang biasa. (*)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan