Ada Apa dengan Angka 25 pada Tahun 2020?
Kamis, 02 Januari 2020 -
ANGKA 25 menjadi demikian istimewa ditahun 2020. Hari-hari besar di tahun ini berada di tanggal 25, seperti Tahun Baru Imlek (25 Januari), Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka (25 Maret), Hari Raya Idul Fitri (25 Mei) dan tentunya hari Natal (25 Desember).
Angka 25 tak hanya sekedar angka saja. Dalam lingkup budaya Jawa, angka 25 memiliki filosofi yang berhubungan dengan fase kehidupan manusia. Lebih dalam lagi angka 25 banyak dihindari orang-orang Jawa dalam pernikahan.
Baca Juga:
Urutan bilangan dalam bahasa Jawa ketika menginjak angka 20 (duapuluh) disebut rongpuluh. Namun memasuki angka 21 (duapuluh satu) tidak disebut rongpuluh siji, berganti penyebutan menjadi selikur. Imbuhan selikur ini menunjukan angka dengan kepala 2 (dua). Seperti 22 (duapuluh dua) disebut rolikur dan seterusnya.
Likur tak dipakai untuk angka 25 (duapuluh lima) namun kembali dipakai lagi pada angka 26 (duapuluh enam). Pada angka 25 penyebutan menjadi selawe. Meskipun terlihat hanya perubahan kata, namun penyebutan itu memiliki makna filosofinya.
Dalam filosofi Jawa penyebutan slawe merupakan anggapan dari ‘seneng-senenge lanang lan wadon’, diartikan sebagai masa keemasan/senang untuk para pria dan perempuan. Pada masa ini baik pria maupun perempuan memasuki fase kehidupan selanjutnya, pernikahan. Usia ini dianggap matang untuk membentuk keluarga. Pada usia ini karier atau kedudukan sudah menampakan kemapanannya.
Baca Juga:
Namun angka 25 bukanlah angka yang baik dalam melaksanakan pernikahan. Angka merupakan penjumlahan weton yang paling dihindari. Keburukan dan kesialan akan menyertakan kehidupan pernikahan orang dengan jumlah weton ini.
Biasanya bila memang sudah berjodoh, ada solusinya agar kehidupan pernikahan tentram dan aman. Pernikahan akan dilakukan pada penjumlahan weton 13 atau yang kerap disebut sebagai Satrio Wibowo. Hari berjumlah weton 13 dianggap mampu menagkal semua kesialan dari angka 25. Namun yang biasanya ikut diperhitungkan adalah hari apes orangtua. Ini biasanya dihitung bila orangtua sudah meninggal. Biasanya orang Jawa tidak akan membuat hari pernikahan anak-anaknya pada bulan Suro/Muharam. (psr)
Baca Juga: