5 Fakta tentang Ki Hajar Dewantara, Sudah Tahu?

Kamis, 03 Mei 2018 - Rina Garmina

NAMA Ki Hajar Dewantara tak pernah absen disebut saat peringatan Hari Pendidikan Nasional. Jasa dan perjuangan bapak pencerdas bangsa ini dalam memajukan pendidikan memang tak boleh dilupakan generasi muda ‘zaman now’.

Ada banyak hal unik dari Ki Hajar Dewantara yang banyak tak diketahui orang-orang. Sobat Merahputih, berikut lima fakta mengenai pria bernama asli Raden Mas Soewardi Suryaningrat yang tak banyak diketahui orang, dihimpun dari berbagai sumber.

1. Melepas gelar bangsawan demi pendidikan anak Indonesia

Terlahir sebagai pria berdarah biru dengan gelar bangsawan dari Kadipaten Paku Alaman, Ki Hajar Dewantara memilih ‘keluar’ dari istana. Ia melepas peluang menjadi raja dan berbaur dengan rakyat jelata.

Di usia 40 tahun, pria bernama lengkap Raden Mas Soewardi Suryaningrat itu mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara dan tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanannya. Ki ialah panggilan untuk orangtua yang dihormati dan diteladani. Hajar berarti guru dan Antara ialah dewa penghubung bumi dengan dunia yang lebih tinggi.

Dengan nama barunya, Ki Hajar Dewantara kian aktif memajukan pendidikan bagi rakyat jelata.

2. Hoby membaca dan menulis

Ki Hajar Dewantara menamatkan pendidikan dasarnya di ELS, sekolah dasar Eropa atau Belanda khusus untuk kaum bangsawan. Ia pernah melanjutkan pendidikan ke STOVIA, sekolah dokter Bumiputera, tetapi tidak tamat.

Selama mengenyam pendidikan, dia gemar membaca buku. Ia suka sekali membaca buku-buku sastra, politik dan ekonomi.

Pengetahuannya dan pemikirannya menjadi luas dan terbuka dengan dunia luar karena sering melahap berbagai informasi. Kegemarannya membaca ini membuat ia tertarik menjadi wartawan. Tercatat ia pernah menjadi wartawan di sejumlah surat kabar, yaitu Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.

Berkat hobi membaca ini, ia dikenal sebagai wartawan andal dengan tulisan-tulisan kritis dan penuh kritikan.

Salah satu tulisan pedasnya berjudul "Seandainya Aku Seorang Belanda" berhasil membuat pejabat Hindia Belanda marah bak cacing kepanasan. Tulisan ini dimuat di harian De Express pada 13 Juli 1913. Karena tulisannya itu, ia dihukum dan diasingkan ke Belanda pada 1913.

3. Rela keluar masuk penjara demi mencerdaskan bangsa

Bukannya kapok, dalam pengasingan di Belanda Ki Hajar Dewantara malah semakin getol memajukan pendidikan kaum pribumi. Ia kembali bersekolah dan meraih ijazah Europeesche. Dia lalu mendirikan Kantor berita Indonesia (Indonesisch Pres Bureau) di Belanda pada 1913.

Ki Hajar Dewantara juga bergabung di sejumlah organisasi para pelajar asal Indonesia dan mengajak mereka kembali ke Tanah Air untuk memajukan pendidikan. Kembali dari pengasingan, ia makin berani melawan pemerintahan Belanda melalui tulisan-tulisan kritisnya. Selama berjuang memajukan pendidikan, keluar masuk penjara sudah menjadi langganan baginya.

Tercatat, ia pernah dibui di sejumlah tempat seperti Semarang dan Pekalongan. Tuduhan yang dialamatkan pun beragam. Mulai dari penghinaan kepada ratu Belanda, menghasut orang membenci penguasa dan melecehkan lembaga pengadilan serta pemerintahan Belanda.

Baju tahanannya kini dipajang di Museum Dewantara Kirti Griya Yogyakarta.

4. Mendirikan sekolah demi kemajuan bangsa

Sekembalinya dari pengasingan di Belanda, Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan Taman Siswa pada 1922. Perguruan ini didirikan sebagai wadah menyemangati anak bangsa bangkit dari kebodohan dan kemiskinan melalui pendidikan.

Sekolah juga didirikan sebagai strategi melawan penjajah. Pikirnya saat itu anak muda pribumi yang cerdas bisa mengalahkan penjajah melalui jalur pendidikan dan negosiasi ketimbang pasang badan.

Melalui sekolah Taman Siswa lahir lah tiga falsafah pendidikan Ki Hajar Dewantara, yaitu Patrap Triloka.

Tiga falsafah itu adalah "Ing ngarsa sung tuladha" atau di depan memberi teladan, "Ing madya mangun karsa" atau di tengah membangun kemauan dan "Tut wuri handayani" yang berarti dari belakang mendukung.

Atas jasa-jasa dan perjuangannya, Ki Hajar Dewantara memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada 1957.

5. Jago main musik dan lekat dengan budaya

Lahir dan besar dari keluarga keraton membuat Ki Hajar Dewantara lekat dengan kebudayaan. Sejak kecil, Ki Hajar gemar dan menguasai beragam kesenian tradisional Jawa seperti seni tari, musik dan sastra.

Menurutnya budaya merupakan ujung tombak dan hal terpenting dalam pendidikan. Tidak heran budaya menjadi hal utama yang selalu ia bawa dan tanamkan dalam pendidikan serta kehidupan sehari-hari. Di sela-sela aktivitasnya sebagai wartawan dan aktivis, ia kerap memperkenalkan tari-tarian serta tembang Jawa tradisional kepada anak-anak muda Indonesia.

Kecintaannya pada seni bisa terlihat dalam ornamen dalam rumahnya yang kini sudah menjadi Museum Dewantara Kirti Griya. Dalam museum, lukisan karya Affandi terpajang di dinding kamar sang anak.

Tak hanya pintar menulis, Ki Hajar Dewantara juga jago main alat musik. Salah satunya, piano. Sebuah piano klasik mewah miliknya tertampang rapi di Museum Dewantara Kirti Griya.

Menurut salah seorang penjaga Museum , Piano klasik berwarna coklat ini berasal dari Jerman. Ki Hajar Dewantara senang bermain piano di waktu luangnya sebagai wartawan dan aktivis. Kegiatan ini ia lakukan sebagai pelepas penat sekaligus menghibur istri dan anak-anaknya. (*)

Artikel ini dibuat berdasarkan laporan Teresia Ika, kontributor Merahputih.com wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan