PSBB Ketat di DKI Bisa Picu Kemiskinan Ekstrem


Ilustrasi - Pemandangan salah satu kawasan protokol wilayah DKI Jakarta. ANTARA/M Razi Rahman
MerahPutih.com - Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah mengkritisi keputusan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang memberlakukan kembali PSBB secara ketat.
Menurut Trubus, PSBB pasti berdampak negatif terhadap ekonomi yang saat ini kondisinya sudah terpuruk. Bukan tidak mungkin pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran bakal kembali terjadi.
"Kalau diterapkan betul, itu muncul daya beli ekonomi akan anjlok karena kegiatan ekonomi tutup semua. Kalau ditutup, karyawan mau makan apa? Kan di-PHK. Kalau PHK, pelaku usaha bangkrut, masyarakat mau makan apa?" ujar Trubus kepada wartawan di Jakarta, Jumat (11/9).
Baca Juga:
Wakapolri Klaim PSBB Total di Jakarta Masih Dalam Pembahasan
Bisa saja, ada kemungkinan menimbulkan kemiskinan ekstrem karena resesi.
"Daya beli masyarakat jeblok, enggak mampu lagi," sambungnya.
Dia juga berpendapat, penerapan PSBB tidak akan efektif membendung laju penyebaran COVID-19. Pasalnya, masyarakat telah terbiasa menjalankan aktivitas ekonomi di tengah pandemi.
Selain itu, Pemprov DKI Jakarta telah terbukti lemah dalam hal pengawasan dan penindakan terhadap para pelanggar.
"Jangankan penindakan yang sifatnya jaga jarak, yang menindak tidak pakai masker saja sulit, meskipun aturannya sudah ada," jelas Trubus.
Padahal, telah ada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2020 sebagai dasar agar pengawasan dilakukan. "Kenapa itu enggak dilaksanakan?"
Jika tetap memberlakukan PSBB, Pemprov Jakarta diyakini akan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, terutama kelas bawah dan terdampak. "Karena anggarannya juga enggak ada," tegasnya.
"Sekarang, kan, Jakarta enggak punya anggaran. APBD DKI cuma Rp87 triliun. Selama enam bulan ini sudah terpakai sekitar 53 persen. Jadi, anggarannya dari mana?" tanyanya.
Ia lantas menjelaskan PSBB ketat tidak akan efektif karena beberapa hal.
Pertama terkait mobilitas di masyarakat DKI Jakarta berasal dari wilayah penyangga sehingga diperlukan koordinasi dan diputuskan bersama.
Kedua, Pemprov DKI harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat karena Jakarta adalah ibu kota negara.
Selain itu, masyarakat kita dihadapkan dengan kebutuhan dasar sehingga perlu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup
"Sementara Pemprov sendiri kan pemberian bantuan juga tidak mencukupi. Nah, masyarakat akan beraktivitas dan keluar rumah jadi mereka engga akan mematuhi itu," jelas Trubus.

Trubus juga menyinggung belum lagi permasalahan akan terjadinya resesi ekonomi dan bisa menyebabkan kemiskinan ekstrem.
"Keputusan Anies kali ini lebih ke nuansa politik, bingung kemudian posisi serba salah dilematis juga, yang jelas tidak efektif memutus mata rantai," sambungnya.
Sementara itu, ia sempat menyebutkan terkait PSBB saat pertama kali diberlakukan. Baginya, ketika masa PSBB pertama angka kasusnya masih kecil karena minimnya pengetesan dan juga minimnya tenaga medis.
"Jadi dulu bukan itu PSBB berhasil, itu juga penularannya tinggi hanya pengawasan tidak standar WHO," kata Trubus.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan seharusnya setiap 1 juta penduduk minimal pengecekannya 10 ribu. Trubus melanjutkan Indonesia tidak memenuhi standar terkendala di anggaran yang terbatas.
Ia juga menyebutkan, jika menerapkan PSBB ketat seperti pertama kali, artinya pemerintah harus siap memberikan subsidi atau bantuan sosial (bansos).
"Jakarta pemasukan turun 53 persen dan APBD hanya Rp87 triliun, sudah tinggal enggak sampai setengah jadi enggak mungkin untuk bansos, dan kalau lockdown juga enggak efektif karena anggarannya buat Jakarta dalam sehari saja bisa Rp400 miliar. Jadi menurut saya memang pemprov tidak perlu PSBB ketat," katanya.
Baca Juga:
Jakarta Kembali PSBB, Datang ke Yogyakarta Harus Bawa Surat Bebas COVID-19
Ia lebih menyarankan untuk tetap melanjutkan PSBB transisi dengan catatan penegakan hukum yang ketat dan tegas. Disebutkan Trubus ada Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 79 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai Upaya dan Pengendalian COVID-19 dan Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019, tinggal bagaimana pemerintah menjalankannya.
Intinya, penindakan hukum yang ketat, pengawasan, monitoring dan evaluasi.
"PSBB transisi gak masalah, kalau industri ditutup orang mau makan apa malah jadi chaos. Ada 11 sektor yang masih dibuka, artinya masih ada yang beraktivitas berarti masih ada karyawan yang dari luar, naik transportasi umum, terjadi pelanggaran, penularan juga tinggi lagi," katanya. (Knu)
Baca Juga:
Bagikan
Berita Terkait
Rekayasa Lalin di TB Simatupang Bantu Urai Kemacetan, Pramono Sebut Perpanjang Diputuskan Besok

MPR Tanggapi Polemik Komeng dan Pramono soal Banjir, Sarankan Kolaborasi Selesaikan Bersama

Bus Transjakarta Kecelakaan di Cakung, 6 Orang Teluka

Jakarta masih Sering Kebakaran, Legislator PSI Pertanyakan Program 1 RT 1 APAR

F-PKS DPRD DKI Minta Transjakarta Perluas Rute Mikrotrans

Pramono Tanggapi Gerakan Publik Menolak Pejabat Pakai Strobo

Pemprov DKI Diminta Antisipasi Kebutuhan Pangan Jelang Nataru

Naik Transportasi Publik Jakarta pada 17-19 September Dikenai Tarif Rp 1

Sepanjang Agustus 2025, 4 Juta Lebih Warga Naik MRT Jakarta

Pramono Bantah Istrinya Punya Jabatan dan Terima Gaji dari Pemprov DKI
