Pandemi Tak Surutkan Perjuangan YKAI Dampingi Anak Penyintas Kanker


Pandemi tak jadi halangan YKAI berjuang membantu anak penyintas kanker. (Foto:_YKAI)
KIA terdiagnosa mengidap leukimia sejak usia dua tahun. Meski sakit, ia tak pernah kehilangan keceriaannya. Leukimia bahkan tak menghentikan polah aktifnya. Kia tetap bersemangat sebab orang tuanya selalu hadir di sisinya setiap saat, meski mereka nyaris kehilangan pekerjaan.
“Bapaknya (Kia), pernah mendapatkan dua kali surat peringatan. Jika mendapatkan surat ketiga, dia akan dipecat. Ini karena bapaknya sering mengantar Kia berobat,” Jelas Ruth Setiabudi, Wakil Ketua Yayasan Kanker Anak Indonesia (YKAI).
Baca juga:
Di usia menginjak delapan tahun Kia tetap bersemangat menjalani masa pemulihan. Impiannya tak muluk. Ingin bersekolah di sekolah terbaik. Keterbatasan ekonomi membuat Kia tak beroleh akses ke sekolah terbaik dan ramah terhadap penyintas kanker.
Lewat program homeschooling YKAI, Kia akhirnya bisa menggapai impiannya beroleh pendidikan di sekolah terbaik. YKAI sedari awal mendampingi Kia beroleh akses kesehatan terbaik, termasuk obat-obatan.
YKAI memastikan anak-anak penyitas kanker, termasuk Kia, harus beroleh akses kesehatan termasuk obat-obatan. Mereka memang tidak menyalurkan bantuan secara langsung kepada pasien melainkan melalui rumah sakit.
Donasi obat diberikan ke beberapa rumah sakit telah menjalin kerja sama. Di antaranya, di Jakarta, RS Kanker Dharmais, RS Kramat 128, RS Siloam Karawaci, RS Harapan Kita, dan RS Fatmawati, serta beberapa rumah sakit di daerah.
YKAI nan semula bernama Yayasan Sentuhan Kasih Anak Indonesia saat kali pertama lahir memang memfokuskan diri pada program bantuan dan pendampingan bagi anak-anak penyintas kanker.
Yayasan tersebut terbentuk dari keresahan Sallyana Sorongan dan beberapa teman terkait data WHO memperkirakan sekitar 300 ribu anak usia 0 hingga 19 tahun di seluruh dunia terdiagnosa kanker setiap tahunnya. Indonesia menyumbang sekitar 11 ribu anak terdiagnosa kanker tiap tahun.
Sallyana Sorongan dan teman-temannya merasa tergerak mendapati akses terhadap saran kesehatan bagi anak tidak merata, apalagi obat-obatan selain sulit didapat juga harganya tidak murah. Pada 2010, Sally Sorongan dan beberapa teman lantas membentuk wadah penangan bagi anak-anak penyintas kanker dari keluarga tidak mampu nan kemudian bernama Yayasan Kanker Anak Indonesia (YKAI).

Inisiatifnya dan beberapa teman dekatnya untuk mengumpulkan dana bagi anak-anak dari keluarga pra sejahtera terdiagnosa kanker tersebut sudah dimulai sejak tahun 2004. Gerakannya mula-mula berfokus pada bantuan pengobatan dan tindakan operasi terhadap anak-anak.
Enam tahun setelahnya, tepatnya pada 2010, Sallyana Sorongan dan beberapa temannya memutuskan untuk lebih berfokus pada penanganan anak-anak terkena kanker dari keluarga kurang mampu. Keputusan ini dilandasi fakta pengobatan kanker memakan waktu cukup panjang dan tentunya dengan biaya tidak sedikit pula.
Ia dan teman-temannya berpikir agar gerakan tersebut terus lestari dengan membuat wadah Yayasan Sentuhan Kasih Anak Indonesia. Seiring berjalannya waktu, tepatnya pada tahun 2018 Yayasan Sentuhan Kasih Anak Indonesia mengubah namanya menjadi Yayasan Kanker Anak Indonesia.
Bantuan akses dan donasi obat-obatan, selain ditujukan kepada anak-anak dari keluarga tidak mampu juga bisa disasar bagi pasien pemilik BPJS kelas tiga. Meski begitu, tak semua obat tersedia.

“Terdapat beberapa obat-obatan kami berikan, sampai saat ini belum tersedia di rumah sakit. Menteri Kesehatan sendiri mengatakan bahwa obat tersebut tersedia, namun kenyataannya nihil,” jelas Ruth.
Selain bantuan terhadap kesehatan anak, YKAI merasa perlu mengedukasi para orang tua agar tanggap terhadap kanker dan bagaimana menangani anak mereka di rumah.
YKAI juga menyedikan transportasi gratis bagi pasien anak setelah selesai kemoterapi. Kenyamanan pasien apalagi anak sangat penting setelah tenaganya terkuras habis usai kemoterapi.
“Bayangkan saja, mereka kalau habis di kemoterapi itu seperti bak di kamar mandi dikuras habis-habisan. Kondisi mereka sangat rentan. Jadi kami sangat memperhatikan kenyamanan dan kesehatan mereka,” lanjut Ruth.
Namun, YKAI memang memiliki keterbatasan armada transportasi sehingga tak semua daerah bisa beroleh transportasi. YKAI, seturut Ruth, sedang menjajaki kerjasama dengan Gojek dan Blue Bird untuk memperluas jangkauan kepada pasien anak.
Tak mudah bagi orang tua mendapati kenyataan anaknya terdiagnosa kanker. YKAI merasa penting menguatkan literasi kepada orang tua tentang kanker, dan terpenting bantuan sekuat tenaga.
“Pasti tidak mudah saat mengetahui kalau anak kita terkena kanker. Sebisa mungkin kita bisa menjadi wadah untuk mengumpulkan para orang tua menangis dan tertawa bersama,” ujat Ruth. Hati orang tua mana tidak terluka ketika harus dihadapkan kenyataan anak mereka mengidap kanker.
Dari sekian banyak keluarga pernah ditemui, Ruth tak pernah menemukan satu pun orang tua menyerah mendampingi sang anak, walaupun mereka berada di dalam situasi ekonomi sulit.
Haltersebut mendorong YKAI semakin bergerilya untuk terus mencari donasi demi membantu meringakan beban orang tua pasien. Seperti terdapat gerakan 100 ribu sehari, menjual masker, kegiatan musik amal, membuka donasi di Kiitabisa, dan masih banyak lagi.
Di tengah situasi pandemi, terkait kegiatan penggalangan dana YKAI tidak mengalami permasalahan berarti. YKAI justru lebih mengkhawatirkan proses pengiriman beberapa obat tertunda akibat penerapan PPKM dan imbas pandemi lainnya.
Pasalnya, beberapa obat dikirim langsung dari India, negara sangatt terdampak COVID-19 varian Delta, sehingga pasokan obat kanker sempat tersendat.
Tak hanya itu, situasi pandemi juga menghambat pengobatan para pasien kanker dari keluarga kurang mampu. Sebab, setiap rumah sakit kini meminta setiap pendamping pasien, perlu menunjukkan tes PCR dengan hasil negatif.
Protokol tersebut membuat para pendamping harus mengeluarkan biaya tambahan untuk melakukan tes PCR. Tak jarang, terdapat beberapa anak penyintas kanker harus menunda proses pengobatan karena terhalang hal ketiadaan dana melakukan tes PCR.
Baca juga:
Perjuangan Mahasiswa Penyintas COVID-19 Saat Harus Ujian Kenaikan Semester
Padahal, pengobatan tersebut perlu dilakukan secara teratur dan sesuai dengan jadwal telah ditetapkan. Selain itu, situasi pandemi berpengaruh terhadap perekonomian keluarga dengan meningkatnya angka PHK.
Keseluruhan program rutinitas YKAI juga terpaksa terhambat karena pandemi. Jika biasanya YKAI sering mengunjungi langsung anak-anak sedang menjalani perawatan di rumah sakit, kini kesempatan untuk melihat langsung senyum dan ekspresi mereka harus tertahan.
Meski interaksi secara langsung dinilai lebih efektif, YKAI harus beradaptasi dengan melaksanakan beberapa kegiatan secara daring. Salah satunya kelas melukis. Hal ini merupakan salah satu cara YKAI untuk menghibur anak-anak tersebut. Namun, kegiatan melukis bersama secara daring tidak dapat terbagi secara merata, sebab terdapat beberapa anak tidak didukung layanan internet maupun gawai. (Cit)
Baca juga:
Bagikan
Yudi Anugrah Nugroho
Berita Terkait
Pramono Tegaskan tak Ada Peningkatan Penyakit Campak

Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian

DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular

Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran

Prabowo Janji Bikin 500 Rumah Sakit, 66 Terbangun di Pulau Tertinggal, Terdepan dan Terluar

Prabowo Resmikan Layanan Terpadu dan Institut Neurosains Nasional di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional

Viral Anak Meninggal Dunia dengan Cacing di Otak, Kenali Tanda-Tanda Awal Kecacingan yang Sering Dikira Batuk Biasa
