Waspada Skoliosis pada Anak sejak Dini
Anak usia pertumbuhan memiliki risiko terkena skoliosis (Foto: Pexels/Bess Hamiti)
KELAINAN tulang belakang melengkung atau skoliosis bisa menyerang siapa saja. Pria maupun perempuan dewasa berisiko terkena kelainan ini. Tidak terkecuali pula bagi anak-anak, terutama mereka yang dalam masa pertumbuhan di usia 9-17 tahun. Bahkan, karena faktor keturunan, bayi pun bisa didiagnosis mengidap skoliosis.
Oleh karena itu, orangtua harus memberikan perhatian lebih kepada anak, terutama saat mereka menjalani aktivitas sehari-hari. Menurut Nistriani TP Kusaly, Sst,Ft Fisioterapis di Scoliosis Care, ada beberapa hal yang membuat anak memiliki risiko terkena skoliosis.
Salah satu faktornya yaitu gaya duduk mereka. Nistriani menegaskan orangtua harus menasehati anak bahwa posisi duduk harus selalu tegak. Selain itu, perlu diingat pula untuk memperhatikan cara anak menulis. Jangan sekali-sekali membiarkan anak menulis dengan posisi miring. "Suruh anak duduk dengan tegak," ujar Nistriani kepada Merahputih.com, Selasa (17/7), di Jakarta Pusat.
Selain itu, orangtua juga bisa mengecek punggung anak. Raba punggung mereka, anak yang menderita skoliosis akan memiliki tonjolan tulang belikat. Lebih gampang lagi, lihatlah posisi bahu sang anak. Jika posisi bahu tinggi sebelah, itu tandanya anak tersebut terkena skoliosis.
Lalu, lihat juga apakah anak sering merasa lelah. Selain merasa lelah, anak pun akan marasakan pegal di satu sisi bagian tubuh. Minimal, anak yang terkena skoliosis mengalami kondisi kurva 10 derajat. Satu derajat pun bisa dianggap terkena skoliosis walaupun dalam kategori ringan.
Skoliosis terkadang sulit dirasakan penderita karena masalah psikis. Sebagaian pasien merasa mereka tidak mengalami kelainan tulang belakang. Pasalnya, otak mereka memberikan perintah bahwa tubuh mereka tidak mengalami masalah pada tulang belakang. "Misalnya kita berdiri, tapi merasa nyaman. Padahal, orang melihat kita tidak tegak," kata Nistriani mencontohkan.
Masalah psikis wajar saja terjadi. Masalahnya, tulang merupakan penggerak pasif, sedangkan otot aktif. Namun, otot tanpa otak yang memerintah, tidak akan memberikan efek pada kondisi yang tengah dirasakan. "Otak tahunya ini posisi nyaman. Sehingga orang skoliosis kompensasi merasa diri mereka lurus," tambahnya.
Lebih jauh, Nistriani mengatakan menyembuhkan skoliosis bisa dengan olahraga secara teratur. Dalam hal ini, ia menyarankan agar anak memilih olahraga renang. Saat berada di air, bobot tubuh tidak akan terasa. Berenang juga sangat bagus untuk melatih otot. "Dengan renang, 90% berat badan akan hilang, gerakan jadi fleksibel," imbuhnya.
Gaya renang apa pun tidak masalah. Namun, akan lebih baik jika pasien skoliosis melakukan gaya punggung. Selain melatih otot belakang, gaya tersebut terbilang aman bagi mereka.
Jika kamu mulai melihat gejala skoliosis pada si kecil, lakukan pemerikasaan. Penanganan lebih cepat akan membuat tualng anak kembali ke keadaan semula. Agar lebih akurat, lakukan pemeriksaan menggunakan sinar X melalui konsultasi dengan dokter terlebih dulu.(ikh)
Baca juga: Bracing, Metode Penyembuhan Skoliosis Non Operasi
Bagikan
Berita Terkait
Karakter Film 'Jumbo' Hadirkan Warna Baru di Playlist Anak Spotify
Diamond Kids Fest 2024 Dukung Eksplorasi Cita-Cita Anak
Bank DKI Berikan Bantuan ADHIV Melalui Komisi Penanggulangan AIDS DKI
Vaksin Polio Semarakkan Hari Anak Nasional di Jakarta
Hari Anak Nasional, Jokowi: Harus Disiapkan Kepintaran, Juga Karakternya
RAN Siapkan Album untuk Sambut Hari Anak Nasional
Pj Heru Berpesan agar Anak Indonesia Bijak dalam Berinternet dan Media Sosial
Seribu Lebih Narapidana Anak Dapat Remisi saat Peringatan HAN 2023
Peringatan HAN, Jokowi: Perlindungan dan Kesempatan bagi Anak Pertaruhan Masa Depan Bangsa