Usaha Usmar Ismail Menangkap Kekikukan Kehidupan Bekas Pejuang Setelah Kemerdekaan


Usmar Ismail pojok kanan bersama tim. (perpusnas.go.idSinematek Indonesia)
ISKANDAR (AN Alcaff), eks pejuang revolusi, tampak kikuk di hari perdana bekerja di kantor gubernuran. Di saat rekan kerja seruang tenggelam di dalam pekerjaan masing-masing, ia cuma sibuk membolak-balik kertas, kadang bengong, melamun, lalu akhirnya tak sengaja menumpahkan tinta. Iskandar kontan jadi pusat perhatian.
Penyelia sontak menyambangi, dan makin kesal karena tak satu pun kerjaan anak baru beres, sehingga amarah membuncah. "Biar bekas pejuang, biar bakal mantu tuan kepala, biar setan sekali pun, kalau kerjaan begini saja sudah,.."
Baca Juga:
"Praaakk," tangan Iskandar mendarat tepat di pipi penyelia nan belum selesai mengomel. Rekan kerja lain mengeroyok si anak baru tersebut hingga akhirnya atasan tiba melerai. Iskandar, mantan pejuang, langsung undur diri di hari pertama bekerja.
Iskandar ditampilkan Usmar Ismail di dalam film Lewat Djam Malam (1954) sebagai sosok sentral gambaran kebingungan seorang eks pejuang revolusi menghadapi hari-hari setelah Indonesia merdeka, persis problema sosial khas di daerah urban tahun 1950-an.

Situasi baru setelah revolusi, menurut Muhammad Fauzi pada tesis bertajuk "Jagoan Jakarta dan Penguasaan di Perkotaan: 1950-1966", tentu berpengaruh terhadap para pejuang ketika kembali ke masyarkat lantaran kenyataan sehari-hari tampak berbeda jauh dari impian mereka saat berjuang dulu. "Lain di front, lain di kota," begitu ungkapan khas para pejuang merepson situasi baru setelah merdeka.
Film Lewat Djam Malam, menurut Sastrawan Sitor Situmorang, dikutip Krishna Sen pada Kuasa Dalam Sinema Indonesia: Negara, Masyarakat & Sinema Orde Baru, merupakan film drama psikologi modern dan bukan film berkisah tentang mantan pejuang, sebab kisah tersebut hanya dijadikan latar saja.
Baca Juga:
Nostalgia Nonton Bioskop Sebelum Pandemi, Sampai Rela Bolos!
Film hasil kerjasama Perfini dan Persari (Perseroan Artis Indonesia) dipimpin Djamaluddin Malik, lanjut Sitor, mampu menangkap bentuk filmis berbeda dari kebanyakan film pada saat itu, terutam dalam menjelajahi aspek-aspek psikologis dan perasaan-perasaan terkini manusia.
Penilaian Sitor bukan tanpa alasan karena Lewat Djam Malam mengetengahkan sisi psikologis eks pejuang saat kesusahan beradaptasi saat harus berbaur dengan masyarakat karena di masa sebelumnya begitu akrab dengan perang, angkat senjata, dan posisi biner; musuh atau teman seperjuang. Iskandar di dalam film jadi gambaran utuh betapa sudut pandang orang terhadap mantan pejuang terbelah, ada orang simpati tetapi sebaliknya ada pula sinis.
Di dalam film, banyak orang sinis kepada mantan pejuang lantaran tidak bisa bekerja dan terkadang, karena terbuang akibat tidak terserap di arena kerja, tak sedikit memilih bertahan di dunia hitam ibukota.

Potret perjuang eks pejuang dalam mencari kerja, beradaptasi dengan lingkungan sosial, tampak jelas pada sosok Iskandar. Ia susah payah mencari bekerja setelah keluar dari gubernuran, lalu menemui bekas rekan seperjuangan, namun justru menemui fakta baru tentang masa lalu juga keadaan terkini para temannya.
"Aneh! Aku mulai sanksi. Apakah orang-orang kubunuh benar-benar bersalah?" kata Iskandar menelusur kisahnya di dalam perjuangan. Jawaban atas pertanyaanya baru terjawab ketika Iskandar menemui Pudja, rekan seperjuangan nan kini menjadi centeng.
Baca juga:
Di Belakang Layar Film Dokumenter Eksperimental Kantata Takwa
Dari Pudja dan Gafar, Iskandar beroleh cerita kalau Gunawan, pimpinannya di palagan, bisa jadi pengusaha seperti sekarang setelah berhasil mencuri harta keluarga nan mati dibunuh olehnya.
"Baik, aku sendiri akan memberi hukuman," tegas Iskandar. "Kau rasa pikiranku bisa sentausa selama Gunawan masih bebas melakukan kejahatan kian kemari".
Melalui Lewat Djam Malam, menurut Sofian Purnama pada tesis berjudul "Usmar Ismail dan Tiga Film Tentang Revolusi Indonesia (1950-1954)", Usmar Ismail melihat masa setelah revolusi fisik bukan era bagi kaum pejuang revolusi karena era baru membutuhkan manusia baru, manusia nan mampu mengisinya dengan pembangunan fisik dan cara pandang baru. "Negara tidak memiliki waktu untuk mengurusi persoalan dialami Iskandar dan Gunawan," tulis Sofian.

Lewat Djam Malam memang bukan sembarang film revolusi. Bahkan, di dalam diskusi daring dalam rangka 100 Rahun Usmar Ismail bertajuk Usmar dan Cerita-Cerita dalam Filmnya diadakan Rumata Artspace, jurnalis film JB Kristanto menilai film tersebut bukan sekadar film melodrama biasa karena keistimewaan film terletak pada pemikiran dalam skenario maupun penyampaiannya kepada penonton.
“Dari film Lewat Djam Malam, kita melihat sikap seseorang, filosofi, pemikiran. Ia juga mengalami apa difilmkan, ia tahu benar situasinya. Masalah-masalah meliputi kejiwaan maupun ekonomi saat itu, dialami tentara sampai sekarang juga masih kita lihat rantai akibatnya. Apa ada sutradara maupun produser mengulik soal ini pada masa itu? Tidak sama sekai. Maka itu saya pakai istilah disrupsi untuk ketokohan Usmar dalam estetika film Indonesia,” tambah Kristanto.
Melalui karya tersebut, lanjut Kristanto, secara tidak sadar Usmar Ismail telah lebih visioner atau mendahului para sineas mancanegara, terutama soal teori Auteur atau teori penyampaian gagasan pribadi sutradara. Hal tersebut disematkan Usmar pada film Lewat Djam Malam, dengan gagasan cerita tentang sikap dasar perwira militer merasa berperang dan paling berjasa dalam meraih kedaulatan negara.
“Teori Auteur dirumuskan pada akhir 1950-an Andre Bazin. Usmar sudah melakukan itu, film adalah gagasan sutradara. Ada disrupsi soal gagasan, ia memperlakukan film sebagai pernyataan sikap dan pikirannya. Ia tidak meneruskan cara bercerita dongeng pada film-film sebelumnya. Usmar melabrak itu semua". (Far)
Baca Juga:
Bagikan
Berita Terkait
Daftar Pemenang Piala Citra FFI 2024, 'Jatuh Cinta Seperti di Film-Film' Borong Kategori Bergengsi

5 Duta FFI 2024 Diumumkan

Daftar Lengkap Peraih Piala Citra Festival Film Indonesia 2023

Kolaborasi Bioskop Online dan FFI Siap Dukung Perfilman Indonesia

Lebih dari 400 Film Berpartisipasi dalam FF1 2022
