Sie Hwie Djan: Dokumen 3 Klenteng Lasem Hilang Pasca Pecah G 30 S / PKI

Widi HatmokoWidi Hatmoko - Sabtu, 04 Februari 2017
Sie Hwie Djan: Dokumen 3 Klenteng Lasem Hilang Pasca Pecah G 30 S / PKI
Sie Hwie Djan atau Pak Gandor/berkaos merah. (MP/Widi Hatmoko)

Sejarang 3 klenteng di Lasem, yaitu Klenteng Cu An Kiong, Gie Yong Bio dan Poo An Bio sampai saat ini masih samar. Dokumen 3 klenteng Lasem ini disebut-sebut hilang dibawa oleh tentara berseragam loreng, mengenakan baret merah dengan tulisan RKPAD, sekitar bulan Februari 1966. Hal ini diungkapkan oleh Sie Hwie Djan alias Pak Gandor (67), salah seorang pengelola 3 kelenteng di Lasem, Rembang, Jawa Tengah.

"RPKAD, baretnya merah, doreng (yang membawa dokumen-red). Padahal, itu dokumen pendirian klenteng ada di situ, resep obat ada di situ. Klenteng itu kan ada lidi yang dimintain pada Kong Co atau Ma Co, seseorang yang sakit enggak sembuh-sembuh, yang sudah dibawa ke dokter enggak sembuh-sembuh biasanya dimintain resep di klenteng. Nanti, lidi itu kalau yang sudah terpilih, ada tulisannya Cina memang. Tulisannya Cina itu nanti nomor berapa, nanti diambilkan secarik kertas semacam resep. Itu nanti dibawa ke toko obat diresepkan, obatnya obat rempah-rempah itu. Diambil semua," ungkap Sie Hwie Djan kepada merahputih.com.

Klenteng Cu An Kiong di Jalan Dasun, Lasem, Rembang, Jawa Tengah. (MP/Widi Hatmoko)

Selain dokumen pendirian 3 klenteng, catatan tentang resep obat, dokumen yang dibawa oleh RPKAD tersebut, kata Sie Hwie Djan, adalah sejarah tentang perjuangan Raden Panji Margono, Adipati Lasem Widyaningrat (Oey Eng Kiat) dan Tan Kei Wie.

"Catatan sejarah tentang kepahlawanan 3 pahlawan, yaitu Kanjeng Panembahan Raden Mas Panji Margono, Adipati Widyanubgrat nama Tionghoanya Oey Eng Kiat dan satu pendekar Kung Fu, itu sepertinya ada. Namun karena dibawa semua, ngurusnya di mana, sampai sekarang, sampai detik ini, kalau ada yang tanya itu saya pasti cerita. Eh, mbok menowo (sedandainya-red), getok tular (dari mulut-ke mulut), ada yang tahu catetan-catetan 3 klenteng, masih tersimpan dengan baik, segera dikembalikan ke sini. Karena itu merupakan catatan sejarah 3 klenteng Lasem. Itu bukan catetan orang-orang yang terlibat dengan PKI, bukan," paparnya.

Sie Hwie Djan juga mengungkapkan, saat pengambilan dokumen 3 klenteng ini, ia berada di klenteng Cu An Kiong, Jalan Dasun No 19 Lasem, Rembang tempat disimpannya 3 dokumen klenteng tersebut. Namun demikian, Sie Hwie Djan mengaku tidak bisa berkutik. Karena, para anggota tentara berseragam RPKAD ini membawa senjata lengkap, dan sempat melakukan pemukulan terhadap salah seorang petugas yang berjaga di klenteng tersebut.

"RPKAD, baretnya merah, pokoknya RPKAD, saya tahu. Yang jaga kan bilang, itu jangan dibawa pak, itu catetan. Karena, orang kuno enggak bisa bilang dokumen, itu enggak bisa. Bisanya bilang catetan-catetan, tapi enggak dijawab sama tentaranya. Itu kan udah tua (penjaga klenteng-red), namanya Om panggilannya Lip, gitu lo, Chiang Lip. Orangnya bindeng, mungkin tentaranya emosi atau gimana, dipukul pakai popor bedil. Saya ada di sana itu," tandasnya.

Klenteng Gie Yong Bio di Desa Babagan (Mbagan), Lasem, Rembang Jawa Tengah. (MP/Widi Hatmoko)

Namun demikian, berdasarkan hasil temuan beberapa orang Tionghoa Lasem yang pernah berkunjung ke Belanda, tepatnya di salah satu museum di Kota Leiden, kata Sie Whie Djan, pernah melihat sebuah peta tentang Lasem, dimana dalam peta yang, tertulis, dibuat pada tahun 1411 M tersebut terdapat nama Klenteng Cu Ang Kiong di Jalan Dasun No 19 Lasem.

Semantara, sejarawan Lasem, Edi Winarno berpendapat, Klenteng Cung An Kiong diyakini berdiri bukan tahun tahun 1411, namun setelah tahun 1413, saat ekspedisi Cheng Ho masuk ke wilayah Lasem. Karena, menurutnya, Klenteng Cu An Kiong sebelumnya diyakini bekas masjidnya orang-orang Cheng Ho. Karena pada waktu itu terjadi pergeseran budaya, tepatnya ketika eksodus imigran dari Tionghoa masuk ke Lasem sekitar 1600-an, yang membawa faham konfusionisme. Sehingga masjid tersebut berubah menjadi klenteng.

Klenteng Poo An Bio di Desa Karang Turi, Lasem, Rembang, Jawa Tengah. (MP/Widi Hatmoko)

"Ini telah terjadi pergeseran budaya. Pada saat Cheng Ho, komunitas Cina itu muslim, bikin masjid. Kemudian, imigran berikutnya berkeyakinan konfusionisme akhirnya masjid itu difungsikan menjadi klenteng. Itu sekitar tahun 1600-an," katanya.

Edi Winarno juga menuturkan, pada tahun 1970, semua arsip-arsip yang berada di kantor-kantos kearsipan di daerah ditarik ke pusat. Sehingga tidak ada satupun arsip yang tertinggal di daerah. Hal ini menyusul dicabutnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1961, yang kemudian digantikan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan. Ditariknya arsip ini juga, menurut Edi, menjadi salah satu kendala untuk mengungkap kebenaran sejarah pada masa lalu, yang saat itu tersimpan di dalam kantor arsip tersebut.

Untuk mengikuti berita tentang Lasem lainnya, baca juga: Menguak Jejak Penyelundupan Opium di Lasem

#Wisata Lasem #Rumah Merah Tiongkok Kecil Heritage #Lawang Ombo #Batik Tulis Lasem
Bagikan
Ditulis Oleh

Widi Hatmoko

Menjadi “sesuatu” itu tidak pernah ditentukan dari apa yang Kita sandang saat ini, tetapi diputuskan oleh seberapa banyak Kita berbuat untuk diri Kita dan orang-orang di sekitar Kita.
Bagikan