Sastrawan-sastrawan ini Harum di Luar Indonesia


Sastrawan-sastrawan ini memiliki kemampuan untuk membawa nama Indonesia ke kancah internasional. (Foto: IDWriters)
BEBERAPA karya sastra Indonesia telah mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Beberapa penulis masuk dalam daftar penghargaan bergengsi, dan ada yang mendapatkan penghargaan berupa dana untuk penerjemahan. Meskipun tidak banyak, sastrawan-sastrawan ini memiliki kemampuan untuk membawa nama Indonesia ke kancah internasional dan membuka pintu lebih lebar untuk penerus mereka memperkenalkan kekayaan dunia penulisan Indonesia.
Persamaan dari mereka bertiga adalah karya-karyanya diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan diterbitkan di sana. Mereka juga beruntung mendapatkan penerjemah yang memiliki kemampuan penerjemahan yang berkualitas dan diakui.
Baca Juga:
Norman Erikson Pasaribu

Buku terjemahan Cerita-cerita Bahagia, hampir seluruhnya masuk dalam daftar panjang atau longlist dari International Booker Prize 2022. Penghargaan ini setingkat di bawah penghargaan Nobel Sastra.
Buku kumpulan cerita yang berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Tiffany Tsao dengan judul Happy Stories, Mostly ini resmi hadir pada Desember 2021 lalu, diterbitkan oleh Titled Axis Press. Tiffany Tsao juga dikenal sebagai penerjemah untuk buku Orang-orang Bloomington (People from Bloomington) karya Budi Darma dan Perahu Kertas (Paper Boats) karya Dee Lestari.
Dari 135 karya yang diseleksi juri, kumpulan dari Norman ini jadi salah satu dari 13 daftar panjang yang telah diumumkan pada 10 Maret 2022 lalu. Dari 13 buku tersebut, 11 di antaranya adalah buku yang diterjemahkan ke bahasa Inggris dan berasal dari 12 negara yang tersebar di empat benua.
The International Booker Prize adalah ajang penghargaan literasi dari Inggris yang telah berjalan sejak tahun 2005. Tak hanya untuk buku dari Inggris saja, tapi penghargaan ini diberikan untuk karya fiksi dari negara mana pun yang berbahasa atau diterjemahkan ke bahasa Inggris, serta diterbitkan di Inggris maupun di Irlandia.
Tak hanya tembus International Booker Prize, karya Norman ini juga masuk dalam shortlist The Republic of Consciousness Prize 2022, penghargaan tahunan bergengsi lainnya untuk buku yang terbit dari penerbit kecil di Inggris dan Irlandia.
The Booker Prizes menuliskan pada situsnya, bahwa Happy Stories, Mostly mampu masuk daftar panjang. Karena buku ini memiliki perpaduan kuat antara fiksi ilmiah, absurdisme, dan realisme historis alternatif yang bertujuan untuk mengacaukan dunia heteronormatif dan mengekspos kebusukan yang mendasarinya. Absurdisme adalah aliran yang berdasar pada kepercayaan bahwa manusia secara umum tidak berarti dan tidak masuk akal.
Norman tak hanya menulis kumcer, tapi juga prosa dan puisi. Penulis kelahiran tahun 1990 ini pertama kali menuliskan kumcer pada bukunya yang berjudul Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu pada 2014. Buku ini masuk nominasi Penghargaan Sastra Khatulistiwa untuk kategori puisi di tahun 2014.
Manuskrip dari buku kumpulan puisinya yang berjudul Sergius Mencari Bacchus yang hadir di tahun 2016, berhasil memenangkan Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta tahun 2015. Selain itu, buku ini pun terpilih dalam penghargaan Sastra Khatulistiwa kategori Puisi di tahun 2016. Buku ini juga diterjemahkan ke bahasa Inggris, Sergius Seeks Bacchus, pada tahun 2019 oleh Tiffany Tsao dan berhasil menerima PEN Translates Award dari English PEN di London.
Eka Kurniawan

Novelis Indonesia Eka Kurniawan masuk ke dalam salah satu tokoh yang mendapat penghargaan Prince Claus Award 2018 yang diselenggarakan oleh Kerajaan Belanda. Eka Kurniawan dikenal dengan karyanya Cantik Itu Luka yang dirilis tahun 2002. Sastrawan ini mulai banyak dibicarakan di dunia kesusastraan internasional sejak diterbitkannya novel Man Tiger dan Beauty Is a Wound masing-masing oleh Verso Books dan New Directions.
Pihak Prince Claus Awards dalam rilis persnya menyampaikan bahwa Belanda memberikan penghormatan terhadap individu serta organisasi yang secara progresif mengembangkan budaya di negaranya. “Penghargaan diberikan setiap tahun kepada individu, kelompok dan organisasi yang tindakan budayanya memiliki dampak positif pada perkembangan masyarakat,” tulisnya.
Mereka menilai Eka Kurniawan telah berhasil mengeksplorasi kompleknya sejarah Indonesia dalam fiksi yang menarik. "Dia [Eka Kurniawan] mampu menggabungkan berbagai bentuk narasi serta pengaruh sastra. Ia mampu meramu cerita rakyat setempat, tradisi, sejarah lisan, teater wayang, seni bela diri Indonesia hingga komik horor, dengan gaya realisme magis, untuk menggambarkan pengalaman nyata dari multi-lapisan masyarakat," jelasnya.
Mereka juga menilai Karya Eka Kurniawan berhasil menggambarkan kemanusiaan orang-orang yang terpinggirkan yang selama ini dieksploitasi dalam karya-karyanya. Novel besarnya Beauty Is a Wound (2002) adalah satir yang lucu sekaligus kisah keluarga yang tragis," tuturnya.
Prince Claus Awards berlangsung sejak 2007 dan memberikan penghormatan terhadap individu serta organisasi yang secara progresif mengembangkan budaya di negaranya. Penghargaan tersebut diberikan kepada individu, kelompok dan organisasi, terutama mereka yang berbasis di Afrika, Asia, Amerika Latin dan Karibia.
Eka Kurniawan berkali-kali dibahas di media-media besar dan berpengaruh seperti The Economist, New York Times, Le Monde, dan Publishers Weekly. Eka juga berkesempatan menyampaikan gagasan-gagasan dan pengalaman membacanya, serta memberikan informasi tentang sastra Indonesia kepada Electronic Literature, BOMB Magazine, dan sejumlah media lain dalam sejumlah wawancara.
Laki-laki kelahiran Tasikmalaya, 28 November 1975 ini juga terpilih sebagai salah satu Global Thinkers of 2015 dari jurnal Foreign Policy. Sebelum Norman, Eka menjadi penulis Indonesia pertama yang masuk daftar panjang Booker Prize (pada 2016 penghargaan itu masih disebut Man Booker International Prize). Jika Norman mendapatkan PEN/Heim Translation Award Fund Grants di Inggris, pada 2013, Annie Tucker, penerjemah novel Beauty Is A Wound karya Eka, diganjar penghargaan oleh PEN America. Novel Cantik itu Luka diterjemahkan lebih dari 40 bahasa di seluruh dunia.
Baca Juga:
Intan Paramaditha

Intan Pramaditha dengan novel Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu mendapatkan dua penghargaan dari PEN Translates Award dari English PEN dan PEN/Heim Translation Fund Grant dari PEN America pada 2019. Kedua penghargaan itu bertujuan untuk mendukung proses penerjemahan Gentayangan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Wandering.
Gentayangan merupakan novel bertema perjalanan dan ketercerabutan di dunia global memungkinkan pembaca memilih sendiri jalan ceritanya. Buku ini diterbitkan pertama kali pada 2017 oleh Gramedia Pustaka Utama dan terpilih sebagai Buku Sastra Prosa Terbaik Majalah Tempo.
PEN/Heim Translation Fund Grant diberikan kepada penerjemah novel tersebut, Stephen J. Epstein, yang juga menerjemahkan kumpulan cerpen Intan, Apple and Knife. Di Inggris, Gentayangan diterbitkan penerbit Harvill Secker/Penguin Random House pada 2020.
Terjemahan karya Intan Paramaditha yang terbit dalam bahasa Inggris sebelumnya adalah Apple and Knife, kumpulan cerpen yang mengolah dongeng dan horor dengan perspektif feminis. Diterbitkan pertama kali di Australia oleh Brow Books (2018), buku ini baru terbit di Inggris lewat penerbit Harvill Secker pada bulan Desember 2018.
Apple and Knife mendapat perhatian media internasional, festival sastra seperti Hong Kong International Literary Festival, dan Singapore Writers Festival. Baru-baru ini masuk ke dalam daftar The White Review Books of the Year 2018 dan 2018 Bram Stoker Awards Preliminary Ballot.
Intan Paramaditha juga merupakan salah satu dari 12 penulis yang tampil di London Book Fair pada bulan Maret 2019. Di London, ia akan tampil di beberapa acara LBF, termasuk English PEN Literary Salon, dan Essex Book Festival.
Intan yang kini menetap di Australia merupakan dosen di Department of Media, Music, Communication and Cultural Studies di Macquarie University, Sydney. Gelar doktornya diperoleh dari New York University.
Ayu Utami

Justina Ayu Utami atau hanya Ayu Utami merupakan penerima Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund pertama dari Indonesia dan yang termuda dari semua penerima penghargaan. Lahir pada 21 November 1968, Ayu menerima penghargaan dari Kerajaan Belanda tersebut pada usia 32 tahun.
Ayu yang merupakan aktivis, jurnalis, dan sastrawan berkebangsaan Indonesia itu mendapatkan penghargaan berkat novelnya yang pertama, Saman. Novel ini mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia.
Ayu besar di Jakarta dan menamatkan kuliah bahasa Rusia di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia pernah menjadi wartawan di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo, Editor, dan Detik pada masa Orde Baru, ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan. Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu.
Saman juga memenangi sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 1998 dan dalam waktu tiga tahun Saman terjual 55 ribu eksemplar. Novel yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada bulan April 1998 ini berkisah tentang seorang mantan pastur bernama Saman dan empat perempuan yang bersahabat dari kelas enam SD sampai mereka dewasa, yaitu Yasmin Moningka, Shakuntala, Cokorda, dan Laila. Novel Saman pada awalnya direncanakan sebagai fragmen dari novel pertama Ayu Utami, Laila Tak Mampir di New York namun kemudian karya tersebut diterbitkan menjadi dwilogi Saman dan Larung.
Tiga tahun sejak diterbitkan, karya ini kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda dengan penerbit de Geuss pada 2001. Dua tahun kemudian ke dalam bahasa Inggris oleh Pamela Allen dengan penerbit Equinox Publishing, Singapore pada 2005. (aru)
Baca Juga: