Program E-kad Terakhir, DPR: Kedubes Harus Lindungi TKI
Petugas bea cukai memeriksa barang tenaga kerja Indonesia (TKI) dengan menggunakan anjing pelacak. (ANTARA FOTO/M Rusman)
Menyusul berakhirnya E-kad atau program pemutihan status buruh migran tak berizin dan mahalnya kebijakan pulang sukarela di Kedutaan Besar RI (KBRI) di Malaysia, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tidak berdokumen di negeri jiran kini dalam posisi dilematis.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua DPR Fadli Zon meminta KBRI di Malaysia menjadi garda terdepan dalam melindungi buruh migran di Malaysia.
"Mau salah, mau benar, harus dibela. Karena, itu perlindungan terhadap warga negara," ujarnya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (3/6).
Menurut Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini, kedubes harus berupaya mencari jalan tengah, ketika ditemui ada TKI yang bersalah.
"Supaya sanksi atas kesalahannya itu tidak menjadi besar," tegasnya.
"Jadi, mereka bukan sekadar pelayanan visa, tapi di ujung itu, melayani warga negara Indonesia yang ada di Malaysia," sambung Fadli.
Migrant Care sebelumnya menganggap, program E-kad yang berlangsung sejak 15 Februari-30 Juni 2017 gagal memenuhi target 600 ribu tenaga kerja asing ilegal di Malaysia.
Pasalnya, hingga 1 Juli lalu, jumlah peserta yang mengikuti E-kad cuma 155.680 orang (23 persen). 22 ribu di antaranya, sebagaimana keterangan aktivis Migrant Care Malaysia Alex Ong, merupakan TKI.
Artinya, ada ratusan ribu buruh migran Indonesia tak berdokumen yang berada di Malaysia akan menjadi sasaran razia otoritas Malaysia.
Sayangnya, proses razia terhadap tenaga kerja tak berizin atau Opnyah yang melibatkan imigrasi, polisi, dan milisi RELA (paramiliter) Malaysia, cenderung disertai tindakan represif dan koersif.
Razia sering kali didasarkan pada tendensi rasisme, xenophobia, diskriminatif, dan kerap merampas kebebasan individu. Sehingga, seringkali terjadi pelanggaran HAM.
Oleh karena itu, Migrant Care menyerukan kepada pemerintah Malaysia tidak memberlakukan razia kepada buruh migran yang tidak berdokumen dengan cara-cara yang koersif dan represif.
Pemerintah Indonesia, khususnya KBRI Kuala Lumpur dan KJRI di setiap negara bagian Malaysia, juga diminta membuka crisis centre dan melakukan monitoring langsung ke basis-basis buruh migran Indonesia yang tidak berdokumen.
Malaysia dan RI pun harus memastikan kelancaran proses pemutihan, tanpa pembebanan biaya. Kalau ada oknum petugas yang menarik iuran, diminta ditindak tegas. (Pon)
Bagikan
Berita Terkait
Polisi Malaysia Selamatkan 49 WNI Perempuan dari Perdagangan Orang, Ada Yang Sudah 13 Tahun Dipekerjakan
Malaysia Turunkan Harga BBM RON 95 Jadi Sekitar Rp Rp 7.864 Per Liter, Di Indonesia Pertamax Rp 12.200 Per Liter
Muhammadiyah Resmika Rumah Hamka di Malaysia, Aset Dibeli Sejak 2024
[HOAKS atau FAKTA] : Takut Terjadi Perang, Malaysia Minta Maaf dan Kembalikan Blok Ambalat ke Indonesia
[HOAKS atau FAKTA]: Prabowo Pindahkan 150 Ribu TKI dari Malaysia untuk Bekerja di Jepang
[HOAKS atau FAKTA]: Perdana Menteri Malaysia Tantang Indonesia Perang di Laut Ambalat
[HOAKS atau FAKTA]: Pemerintah Bagikan Uang Sitaan Korupsi Impor Gula Rp 565 Miliar untuk TKI
Blok Ambalat Kembali Menghangat, Negosiasi Pengelolaan Bersama Masih Dibahas
Wilfrida Beri Nama Anak 'Merah Prima Bowo', Penghormatan untuk Prabowo yang Membebaskannya dari Hukuman Mati
PMI Jadi Korban Kekerasan di Malaysia, PKB Bantu Proses Pemulangan