Panduan Memahami Sebutan Kain Nusantara Kala Lampau
Perempuan Jawa sedang menggunakan canting sebagai alat meletakan lilin di kain. (Foto: KITLV)
KAMU sulit memahami sebutan kain-kain di setiap daerah? Jangan pusing! Mungkin literasi tentang ragam istilah kain di masa kini sudah bertebaran di dunia maya. Bagaimana dengan kekayaan sebutan kain di masa lampau?
Baca juga:
Kain batik, seperti tercatat pada sumber berita negeri Tiongkok, telah berjalan lama menjadi hadiah. Berita tentang pemberian hadiah berupa kain tersebut telah berlangsung sejak masa dinasti Sung berkuasa (960-1279).
“Penduduk Jawa telah memelihara ulat sutera dan membuat atau menenun kain sutra halus, sutra kuning dan kain dari katun. Pada bulan keduabelas, tahun 992, Maharaja mengirimkan utusan ke Tiongkok dengan membawa persembahan berupa permata, mutiara, sutra disulam benang emas, kayu cendana, kain dari kapas beraneka warna, emas, tikar rotan berhias, dan kakak tua putih,” seperti dikutip dari laporan penelitian Edhie Wurjantoro dan Tawalinudin Haris berjudul "Kain Dalam Masyarakat Jawa Kuna".
Dalam beberapa sumber prasasti abad IX dan X, ditemukan kata wdihan merujuk pada pakaian laki-laki. Wdihan biasanya diberikan kepada kaum laki-laki sebagai pasek, atau hadiah sewaktu diadakan upacara penetapan sebuah wilayah menjadi sima atau menjadi tanah perdikan. Sedangkan sebutan pakaian untuk kaum perempuan adalah ken atau kain.
Di samping wdihan, berdasar penelitian Edie Wurjantoro, terdapat istilah wastra, sinjang, kampuh, tapih, dan kain. Semua istilah tersebut merujuk pada kain sebagai bahan sandang. Semuanya berbahan sutra atau katun. Warnanya pun beragam, ada merah, biru, hijau tua, jingga, ungu, dan kuning emas.
Di masa Jawa Kuno, juru pelihara sandang disebut pawdihan, merujuk pada si pembuat wdihan. Terdapat pula sebutan mabhasana sebagai penjual pakaian, lalu manila sebagai tukang celup terutama dengan warna biru dan mawungkudu sebagai tukang celup warna merah.
Kain sebagai bahan dasar, selain dibuat sendiri, juga didatangkan dari luar Nusantara. Terdapat kain wdihan bwat kling putih (wdihan dari Keling putih), seturut Titi Surti Nastiti dalam tesisnya berjudul Peranan Pasar di Jawa Pada Masa Mataram Kuna, diketahui dari prasasti Jurunan, 876 M, merupakan kain impor asal India.
Baca juga:
Investasi Batik Tulis Bisa Raup Keuntungan Ratusan Juta Rupiah
Kain dari Gujarat- India tersebut, berupa tenunan sutra jenis patola. Kain ini dikenal sebagai kain cindai di Sumatera dan cinde di Jawa, dan sangat disukai kalangan bangsawan di Nusantara.
Komoditi kain dari India terseabut, dan juga Tiongkok tentunya, catat Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 2, terus mengalir masuk ke Nusantara hingga abad XVIII. (*)
Baca juga:
Indonesia Sudah Cukup Mempromosikan Batik? Ini Jawaban Nonita Respati
Bagikan
Yudi Anugrah Nugroho
Berita Terkait
UNIQLO Gandeng BABYMONSTER untuk Koleksi UT Terbaru, Tampilkan Desain Edgy dan Playful
Thrifting makin Digandrungi, Industri Tekstil dalam Negeri Ketar-Ketir
Tumbler Viral, Lebih daripada Gaya Hidup Sehat tapi Fashion Statement
Panduan Thrifting Jakarta, Rekomendasi Seru dari Blok M Square hingga Pasar Santa
Ketok Harga Bikin Orang Kapok Liburan di Banten, DPRD Desak Regulasi Tarif Wisata
Wisatawan Indonesia Andalkan Fitur AI untuk Rekomendasi dan Layanan Hotel
Menenun Cerita Lintas Budaya: Kolaborasi Artistik Raja Rani dan Linying
JF3 Fashion Festival Bawa Industri Mode Indonesia ke Kancah Global, akan Tampil di Busan Fashion Week 2025
10 Rekomendasi Tempat Wisata Purwokerto Terbaik 2025, Harga Terjangkau!
Dari Sneakers Langka hingga Vinyl Kolektibel, Cek 3 Zona Paling Hits di USS 2025