Mengasah Karakter dan Tanggung Jawab Anak Lewat Pendidikan Formal

Andreas PranataltaAndreas Pranatalta - Sabtu, 31 Juli 2021
Mengasah Karakter dan Tanggung Jawab Anak Lewat Pendidikan Formal

Di sekolah, anak diajarkan untuk bertanggung jawab dan bersosialisasi. (Foto: Unsplasn/Ed Us)

Ukuran:
14
Font:
Audio:

SEORANG ibu di komplek perumahan Villa Regensi II bersikeras agar putranya bisa masuk ke salah satu sekolah negeri terbaik di Tangerang. Kalau tidak lolos, tidak masalah baginya mengeluarkan biaya lebih di sekolah swasta terbaik. Paling penting, putranya bisa menerima pendidikan dan ilmu terbaik di sekolah agar bisa diterapkan di kemudian hari.

“Bagi saya pendidikan di sekolah itu tidak hanya sekadar mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) dan memerhatikan guru menjelaskan saja, tapi juga mendidik anak saya untuk bertanggung jawab dan bersosialisasi. Ya walaupun di masa pandemi sistem belajar mengajar masih daring, setidaknya anak saya bisa masuk di sekolah terbaik,” kata Ninik.

Bagi sebagian orang, pendidikan itu penting guna membina kepribadian di masyarakat, serta mengembangkan dan meningkatkan pengetahun, kecakapan, nilai, sikap, dan pola tingkah laku. Pendidikan yang berlaku harus tetap berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional, dan terhadap tuntutan perubahan zaman.

Baca juga:

Sukses Lewat Pendidikan Non Formal? Kenapa Enggak?

Bentuk Karakter dan Tanggung Jawab Lewat Pendidikan Formal
Belajar dari organisasi di sekolah. (Foto: Unsplash/Mufid Majnun)


Mengacu pada artikel Pendidikan Formal karya Meidawati Suswandari dari Universitas Veteran Bangun Nusantara, pendidikan formal diartikan sebagai suatu satuan (unit) sosial atau lembaga sosial dibangun dengan kekhususan tugasnya untuk melaksanakan proses pendidikan.

Pendidikan formal atau sekolah mempunyai tujuan pendidikan sesuai dengan jenjang bentuk dan jenisnya. Tujuan sekolah dapat ditemukan pada kurikulum sekolah. Tujuan sekolah umumnya memberikan bekal kemampuan dan mengembangkan kehidupan peserta didik.

Selain itu, ada pula karkateristik pendidikan formal, menekankan pengembangan intelektual peserta didik bersifat homogen, pendidikan terprogram secara formal, terstruktur, waktu pendidikan terjadwal dan relatif lama,serta evaluasi pendidikan dilaksanakan secara sistematis.

Di sekolah, peserta didik tidak hanya mempelajari pengetahuan dan keterampilan, melainkan sikap, nilai-nilai, dan norma-norma berlaku di masyarakat. Sebagian besar sikap dan nilai-nilai itu dipelajari secara informal melalui situasi formal di kelas dan di sekolah. Melalui contoh pribadi guru, isi cerita buku-buku bacaan, pelajaran sejarah dan geografi, dan suasana sekolah membuat peserta didik mempelajari sikap, nilai-nilai, dan norma-norma masyarakat.

Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan formal, khususnya di Indonesia, memiliki sejarah cukup panjang. Pendidikan kita kenal sekarang atau sekolah formal tidak lepas dari peranan Belanda.

Baca juga:

Les Non-Akademik Tetap Asyik Dilakukan Meski di Rumah Saja

Bentuk Karakter dan Tanggung Jawab Lewat Pendidikan Formal
Orang tua lebih memilih anaknya membantu mencari uang. (Foto: Unsplash/Chintya Akemi Keirayuki)

Pada awalnya, sekolah-sekolah didirkan Belanda hanya diperuntukkan bagi orang-orang berasal dari golongan dan lapisan sosial tertentu. Namun, setelah pelaksanaan Politik Etis pada 1901, kemudian sekolah-sekolah untuk kaum pribumi semakin banyak didirikan.

Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2018, tercatat ada 307.655 sekolah dari jenjang SD sampai Sekolah Lanjutan Atas (SLTA), termasuk Sekolah Luar Biasa (SLB). Terdapat 169.378 sekolah negeri dan 138.277 sekolah swasta.

Sedangkan untuk jumlah peserta didik di 2018 untuk tingkat SD sebanyak 25,49 juta jiwa, SMP 10,13 jiwa, SMA 4,78 jiwa, dan SMK mencapai 4,9 juta jiwa.

Di Indonesia, beberapa orang tua mempunyai pandangan pendidikan merupakan sebuah kebutuhan sosial maupun intelejensia anak. Mereka rela berjibaku mencari sekolah tebaik bagi anak. Bahkan, orang tua tak segan kerja keras demi bisa menyekolahkan anak hingga level tertinggi.

Meski begitu, tak semua orang punya akses terhadap pendidikan formal. Ada beberapa golongan masyarakat di bawah garis kemiskinan tak tersentuh pendidikan formal.

Bentuk Karakter dan Tanggung Jawab Lewat Pendidikan Formal
Banyak yang sukses sampai pendidikan sarjana. (Foto: Unsplash/Falaq Lazuardi)

Selain faktor ekonomi, pengaruh pandangan masyarakat tentang putus sekolah tak lain pengaruh lingkungan sekitar seperti pergaulan dengan orang dewasa, merokok, sehingga memberi dampak negatif terhadap arti penting pendidikan.

Contohnya saja pada skripsi Persepsi Masyarakat Tentang Pentingnya Pendidikan Formal 12 Tahun karya Makhsus dengan studi kasus populasi warga Kampung Pejamuran, Kabupaten Tangerang.

Keluarga Bapak Sukeni, seturut Makhsus, hanya sekolah sampai di tingkat SD dengan alasan banyak orang pintar tapi tidak benar sehingga tidak usah mempertinggi pendidikan karena semakin tinggi pendidikan, maka semakin pintar, dan membuat anaknya semakin tidak benar.

Berbeda dengan keluarga Ibu Nafsiah semua anggota keluarganya bekerja tetapi tidak sampai pendidikan SMA. Ia tidak memberi pendidikan tinggi kepada anak-anaknya karena menganggap bakti anak kepada orang tua bukan menempuh jalur pendidikan setinggi-tingginya, tetapi membantu mencari uang untuk kebutuhan hidup.

Semestinya pendidikan formal bisa diakses semua anak bangsa. Pendidikan formal dilakukan agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan diperlukan dirinya di dalam masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, pemberian pengetahuan, pertimbangan, dan kebijaksanaan dalam masyarakat.

Tujuan utama dari pendidikan tidaklah sesederhana menghasilkan output berjangka pendek dan nilai plus, melainkah manfaat berjangka panjang.

Bentuk-bentuk manfaat pendidikan juga berbeda-beda, seperti keuntungan ekonomis dan non ekonomis, serta keuntungan individual dan sosial. (and)

Baca juga:

Siswa Negeri Aing Mesti Mandiri saat Live-In

#Juli Ngilmu Di Negeri Aing
Bagikan
Ditulis Oleh

Andreas Pranatalta

Stop rushing things and take a moment to appreciate how far you've come.

Berita Terkait

Bagikan