Mengapa Indonesia Disebut Bangsa Pelaut? Ternyata Jawabannya Ada dalam Sejarah


Relief di Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-9 M menggambarkan kapal jung milik nenek moyang bangsa Indonesia. (Foto: Repro buku Warisan Bahari Nusantara karya Bambang Budi Utomo)
MerahPutih.com - Halo, Guys! Mari bernostalgia sebentar ke masa kecilmu.
Ada sebuah penggalan lagu populer yang pastinya pernah diajarkan oleh guru TK atau SD-mu. Bunyinya begini:
"Nenek moyangku seorang pelaut. Gemar mengarungi luas samudera..."
Ingat kan?
Lagu itu diturunkan terus-menerus, sambung-menyambung antargenerasi. Dari tahun 1960-an sampai ke tahun 2020-an, masanya generasimu. Tujuannya buat mengingatkan kita bahwa Indonesia adalah bangsa yang bestie-an dengan laut.
Kalau sudah bestie, laut bukan lagi jadi pemisah antarwilayah atau antarwarga, melainkan pemersatu. Karena itulah, sejak ribuan tahun lampau, nenek moyang bangsa Indonesia mulai mengarungi laut.
Dan dari mengarungi laut, nenek moyang bangsa Indonesia bisa berdagang rempah, bergaul dengan banyak suku dan bangsa. Juga menemukan tempat dan merasakan pengalaman baru.
Kayak zaman sekarang aja ya. Travelling buat nge-unlock new achievement.
Namun, pernah enggak kamu kepikiran kenapa sih bangsa Indonesia disebut pelaut? Bagaimana prosesnya dan apa saja buktinya?
Kali ini kita bakal mengarungi samudera sejarah untuk menemukan jawabannya. Yuk mulai petualangannya!
Baca juga:
Lukisan Perahu di Gua Muna
Kita mulai dari Gua Muna yang terletak di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Usia gua ini diperkirakan 4.000 tahun.
Di Gua Muna, kita bisa melihat beragam lukisan kuno yang menggambarkan manusia, hewan, benda langit, dan perahu.
Menurut arkeolog senior Bambang Budi Utomo, lukisan di Gua Muna dibuat oleh nenek moyang bangsa Indonesia yang berasal dari Formosa, Taiwan.
Mereka adalah penutur bahasa Austronesia, istilah yang dipakai oleh pakar bahasa buat menyebut rumpun bahasa yang berkembang di Taiwan antara 5.000-7.000 tahun yang lampau. Bahasa Austronesia pula lah moyang dari banyak bahasa di Indonesia.
"Lelah menyeberangi perairan Nusantara, pada akhirnya para pelaut, penutur rumpun bahasa Austronesia ini, mulai menetap. Mereka mulai mencari-cari tempat yang layak untuk hunian," kata Bambang dalam buku Warisan Bahari Nusantara.

Mengapa dan bagaimana kok mereka menyeberang jauh-jauh dari Taiwan sampai wilayah Indonesia?
Robert Dick-Read, penulis buku Para Penjelajah Bahari, mengatakan bahwa mereka punya sistem bercocok tanam dengan cara 'menebang dan membakar'.
"Praktik tersebut sangat destruktif bagi lahan, dan merupakan alasan bagi mereka untuk mencari lahan baru untuk bercocok tanam dengan cara melintasi Selat Luzon yang relatif sempit," begitu cerita Robert.
Selat Luzon adalah salah satu selat sempit yang menghubungkan Taiwan dan Filipina. Dari Taiwan, mereka sempat tinggal di Filipina. Setelah itu, mereka menuju Sulawesi.
Sebagai respons terhadap kondisi alam berupa lautan dengan ombak ganas dan ditaburi oleh pulau-pulau kecil, mereka mengembangkan kemampuan membuat perahu. Mulai yang paling sederhana sampai yang paling canggih pada zamannya.
Yang paling sederhana adalah perahu kecil menyerupai rakit atau kano berbahan bambu dan balok. Kemudian yang paling canggih adalah perahu bercadik.
Cadik itu semacam penyeimbang yang dipasang di samping perahu. Bisa satu saja atau sepasang. Fungsinya biar perahu tetap stabil dan enggak gampang terbalik, apalagi kalau lagi ada ombak.
Ketika berhasil menemukan gua di Muna, mereka enggak lupa dengan pengalamannya menyeberang. Maka terciptalah karya lukisan di dinding Gua Muna.
Hampir kayak kita sekarang. Begitu sampai tujuan, langsung update status.
Baca juga:
Perdagangan Rempah dan Teknologi Kapal Bangsa Pelaut
Keturunan para penutur bahasa Austronesia ini kemudian menyebar ke Maluku, Jawa, dan Sumatera. Kelak mereka menurunkan berbagai macam suku di sana.
Lalu mereka mengenal tanaman-tanaman ajaib yang berguna sebagai obat-obatan. Contohnya cengkih, pala, lada, dan kayumanis. Sebutan tanaman itu adalah rempah-rempah.
Yang paling sering digunakan adalah kayumanis. Tanaman ini sering disebut sebagai 'bapaknya tanaman'. Ia berguna buat obat-obatan, wewangian, dan pembalsaman mayat.
Orang-orang di wilayah Eropa, Mesopotamia, Mesir, China, dan India juga butuh rempah-rempah. Keturunan penutur bahasa Austronesia lah yang menyuplai kebutuhan mereka hingga abad ke-1 Masehi.
Menurut Robert, orang-orang itu berlayar ke pusat perdagangan di wilayah 'Horn of Africa' (wilayah Timur Afrika seperti Somalia) dengan perahu bercadik. Bawaannya, rempah dan dagangan lainnya.

"Di pelabuhan-pelabuhan tersebut, barang bawaan mereka dibeli pedagang-pedagang Arab lalu diangkut ke Laut Merah menuju Mesir, dan akhirnya ke Mediterania," sebut Robert.
Memasuki abad Masehi, pengetahuan pembuatan alat transportasi air keturunan Austronesia berkembang pesat.
Mereka sudah bisa bikin kapal besar (jung) yang mempunyai kemampuan mengangkut lebih banyak barang.
Di Jawa Tengah, bukti itu terekam dalam relief di Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-9 M.
Di Jawa Timur, Prasasti Dhimanasrama mencatat sejumlah alat transportasi air yang digunakan warga lokal (warlok) untuk berdagang.
"Penggunaan sarana transportasi air ada yang diperuntukkan bagi wilayah sungai dan laut atau lepas pantai," kata Hedwi Prihatmoko dalam artikelnya "Transportasi Air dalam Perdagangan Pada Masa Jawa Kuno di Jawa Timur" yang dimuat dalam Forum Arkeologi Volume 27, Nomor 3, November 2014.
Di wilayah lainnya pun, pengetahuan masyarakat Nusantara tentang alat transportasi air berkembang.
Ada banyak pilihan untuk berlayar. Entah dengan sampan, perahu, dan kapal besar (jung). Ada juga yang pakai arumbai, bangka, jukung, galai, gobang, lancing, lepa-lepa, londe, padewakang, pancalang, pinisi, rah soppe, dan wangkang.
Enggak semua orang di Kepulauan Nusantara mengenal alat transportasi itu. Tiap orang membuat dan mengembangkannya sesuai kebutuhan dan pengetahuannya masing-masing.
Kegunaan alat transportasi air itu juga berbeda-beda. Ada yang terbatas untuk menangkap ikan di tepi pantai kayak sampan dan jukung. Ada juga yang sanggup untuk berlayar ke negeri jauh seperti jung.
"Dengan kata lain, aneka sukubangsa di kepulauan kita telah mengembangkan kemampuan melaut yang berbeda-beda tingkatnya," kata mendiang Profesor A.B. Lapian dalam pidatonya "Sejarah Nusantara Sejarah Bahari".
Baca juga:
Ilmu Pengetahuan Bangsa Pelaut
Enggak cukup dengan teknologi pembuatan perahu, masyarakat Nusantara juga mengembangkan ilmu pengetahuan yang membantu mereka mengarungi laut.
Misalnya navigasi disertai pengetahuan geografi untuk mengenal lokasi yang dikunjungi. Ada pula pengetahuan hidrografi untuk mengetahui arus laut pada waktu tertentu dan alur pelayaran yang aman.
Lalu pengetahuan meteorologi untuk mempelajari gerak angin yang bisa dimanfaatkan.
Enggak ketinggalan pengetahuan astronomi buat memahami peredaran bulan dan bintang yang dapat menjadi pegangan dalam menentukan arah.
Ditambah lagi ilmu pengetahuan penunjang lainnya untuk membantu mengarungi laut dengan tepat.
Semua itu pada akhirnya jadi bagian dari budaya maritim orang Indonesia.
"Ilmu pengetahuan tradisional yang berkembang itu telah mampu memenuhi keperluan penyelenggaraan pelayaran dan perdagangan antar pulau di masa lalu dan memberi penjelasan atas permasalahan dan pertanyaan yang muncul sekitar penyelenggaraan pelayaran itu," sebut A.B. Lapian.

Ketika orang-orang Eropa mulai berdatangan ke Nusantara buat cari rempah pada abad ke-16, mereka bahkan menggunakan warga lokal sebagai mualim.
Mualim itu bisa dibilang sebagai pemandu dalam perjalanan di lautan. Ia bisa juga disebut pelaut.
"Dalam penjelajahan pertama di perairan kita, kapal-kapal Portugis banyak mendapat bantuan dari pelaut-pelaut setempat sehingga dalam waktu relatif singkat orang-orang Portugis telah mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai keadaan iklim dan geografi setempat," cerita A.B. Lapian dalam buku Pelayaran dan Perdagangan.
Mualim-mualim itu ternyata juga sudah paham dan terampil menggunakan peta dan kompas, lho!
Makanya mualim warlok enggak kaget pas pelaut Portugis menunjukkan peta dan kompas ke mereka.
Bahkan ada peta yang beraksara Jawa. Ini menandakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia sudah bisa bikin peta. Sayangnya, peta ini hilang ketika kapal yang membawanya tenggelam.
Baca juga:
Cerita Lucu Bangsa Pelaut
Ada cerita lucu tentang kompas. Orang Belanda yang bernama Steven van der Haghen ingin cari untung selain dari perdagangan rempah pada abad ke-17.
Haghen kepikiran mau jualan kompas. Makanya dia bawa banyak kompas dari negerinya. Ternyata setibanya di Nusantara, kompasnya enggak ada yang beli.
"Rupanya tidak ada yang memerlukannya sehingga harus dikembalikan ke negeri Belanda karena tidak laku," kata A.B. Lapian.
Kalau kompas enggak laku, berarti masyarakat Nusantara punya kemampuan dan pengetahuan lain buat mengarungi laut.
Kemampuan dan pengetahuan ini beda-beda di tiap tempat. Ada yang pakai delapan arah mata angin, ada yang empat, tapi ada juga yang cuma dua.

Buat menentukan arah dan mengetahui lokasi, ada yang pakai bentuk awan dan sinar matahari. Ada pula yang pakai warna, jenis, dan arus air. Malah ada yang dengan mencium airnya!
"Jadi, tiap-tiap suku bangsa telah mengembangkan budaya maritimnya menurut arah, selera, kebutuhan, dan daya ciptanya sendiri," sebut A.B. Lapian.
Nah, di sinilah pelayaran kita mengarungi samudera sejarah nenek moyang pelaut selesai.
Sebenarnya masih banyak banget hal yang bisa dibahas tentang betapa dekatnya bangsa Indonesia dengan laut dan berjiwa petualang. Tapi itu nanti jadi bahasan sendiri, deh. Sekarang kita berlabuh dulu. Rehat.
Oya, kedekatan dan karakter yang berhubungan dengan laut itu sampai sekarang masih berbekas dalam, lho.
Coba aja kalau kamu pas liburan. Pasti pada pengen ke pantai menikmati vitamin sea. Terus pengen nyoba tempat-tempat baru. Ya kan? (dru)
Bagikan
Hendaru Tri Hanggoro
Berita Terkait
5 September Memperingati Hari Apa? Ini Daftar Peringatan dan Peristiwa Pentingnya

4 September Memperingati Hari Apa? Ini Fakta Menarik yang Jarang Diketahui

Ketua DKJ Tegaskan Perusakan Benda dan Bangunan Bersejarah Adalah Kejahatan Serius yang Melampaui Batas Kemanusiaan

2 September Memperingati Hari Apa? Ini Fakta Uniknya

29 Agustus Memperingati Hari Apa? DPR RI Ulang Tahun!

27 Agustus Memperingati Hari Apa? Ini Deretan Kejadian Penting Dunia

25 Agustus Memperingati Hari Apa? Begini Catatan Menariknya

24 Agustus Memperingati Hari Apa? Dari Hari TV Nasional hingga Deklarasi Ukraina

23 Agustus Memperingati Hari Apa? Ini Sejarah, Tokoh, dan Peristiwa Penting Dunia

21 Agustus Memperingati Hari Apa? Ini Deretan Momen Bersejarah yang Layak Diketahui
