Marga T, Kontribusi Penulis Keturunan Tionghoa dalam Sastra Indonesia

P Suryo RP Suryo R - Sabtu, 28 Mei 2022
Marga T, Kontribusi Penulis Keturunan Tionghoa dalam Sastra Indonesia

Novel pertamanya yang berjudul 'Karmila' menjadi begitu populer dalam waktu singkat. (Foto: Instagram@bukugpu)

Ukuran:
14
Audio:

DENGAN karier yang membentang lebih dari setengah abad, penulis Indonesia keturunan Tionghoa Marga T merupakan salah satu yang paling produktif.

Menurut laman asiaone, Marga T lahir di Jakarta dari orang tua etnis Tionghoa pada tahun 1943, ia menunjukkan bakat awal untuk menulis, dengan dua novel roman pertama yang berjudul Karmila dan Badai Pasti Berlalu menjadi begitu populer dalam waktu singkat.

Baca Juga:

Sastra Siber, Bentuk Baru Kesastraan?

sastra
Sebagai penulis, Marga mengatakan tidak terpengaruh Orla dan Orba, karena jarang menyentuh politik. (Foto: South China Morning Post)

Di antara 69 buku yang diterbitkannya, karya-karyanya meliputi genre fiksi ilmiah, kisah misteri, cerita anak-anak, dan bab-bab gelap sejarah. Genre yang terakhir misalnya, volume ketiga dari seri Sekuntum Nozomi yang menceritakan kisah perempuan Tionghoa yang diperkosa selama kerusuhan 1998 di Indonesia.

Ketenaran Marga terkenal karena kebangkitannya terjadi di bawah pemerintahan mantan presiden diktator Suharto yang menekan komunitas etnis Tionghoa selama tiga dekade pemerintahannya.

Banyak peraturan lain pada masa itu yang merepresi warga keturunan Tionghoa. Di antaranya larangan pertunjukan budaya Tionghoa dan undang-undang yang mendorong warga etnis Tionghoa untuk mengadopsi nama yang terdengar seperti Indonesia.

Ketika Suharto lengser keprabon pada 1998, menyusul aksi demonstrasi besar-besaran. Perlahan represi mengendur dan Tahun Baru Imlek menjadi salah satu hari libur nasional Indonesia.

Marga mengatakan dia 'tidak terlalu' terpengaruh sebagai penulis selama era Orde Lama Sukarno dan Orde Baru Suharto, karena karyanya jarang menyentuh politik. “Buku-buku roman remaja dianggap tidak berbahaya dan tidak mendapat perhatian pihak berwenang,” ujarnya dalam wawancara dengan This Week in Asia.

Sementara Marga adalah bagian dari komunitas penulis Indonesia-Tionghoa yang cukup besar, banyak sastrawan lain yang mendahuluinya sebelum kemerdekaan Indonesia pada 1945, tapi hanya sedikit yang terkenal.

“Dulu banyak penulis etnis Tionghoa, tapi jarang dibahas,” kata Soe Tjen Marching, penulis Indonesia-Tionghoa dari kota terbesar kedua di Surabaya.

“Banyak dari imigran Tionghoa ini tidak bisa menulis dalam (bahasa asli mereka) dengan baik. Mereka kemudian belajar bahasa Melayu dan mulai menulis beberapa cerita,” kata Soe Tjen, yang juga dosen jurusan bahasa, budaya dan linguistik di School of Oriental and African Studies University of London.

Nurni W. Wuryandari, dari Program Studi Tionghoa di jurusan Sastra Universitas Indonesia, menulis dalam makalah tahun 2015, “Penulis dan penyair Tionghoa-Indonesia telah menghasilkan karya sejak tahun 1870-an.”

“Karya-karya mereka ditulis dalam bahasa Melayu sebagai lingua franca di Nusantara, yang menyerap berbagai unsur bahasa lain seperti Belanda, Inggris, dan Mandarin. Kemudian, setelah Indonesia merdeka, unsur-unsur bahasa Indonesia baku juga dimasukkan ke dalam karya-karya pengarang tersebut,” tulisnya di makalah tersebut.

Baca Juga:

Bagaimana Generasi Milenial Memandang Sastra?

Keturunan Tionghoa

sastra
Nama Marga T muncul begitu saja di benaknya, entah dari mana. T bukan singkatan. (Foto: AsiaOne)

Marga dianggap oleh beberapa orang telah menjauhkan diri dari garis keturunannya. Dia menerbitkan buku dengan nama pena Marga T, yang menyembunyikan identitas Tionghoanya dari pembaca sampai beberapa orang mencari tahu nama keluarganya.

“Sindiran bahwa T datang dari Tjoa benar-benar menyakiti saya, seolah-olah mereka tahu hidup saya lebih baik dari saya sendiri. Ketika saya mulai menulis, nama Marga T muncul begitu saja di benak saya entah dari mana. T bukan singkatan,” katanya dalam wawancara dengan media yang sangat jarang dilakukannya.

Namun, karyanya terus bergema di antara banyak orang di Indonesia pascaorba. Badai Pasti Berlalu diadaptasi menjadi sinetron baru tahun lalu, dan Karmila saat ini sedang dikembangkan sebagai sinetron lainnya. Adaptasi sebelumnya dari kedua judul telah ditayangkan beberapa kali selama beberapa dekade terakhir.

Hetih Rusli, direktur lisensi IP dan penerbitan digital di PT Rekata Studio, anak perusahaan grup media besar Kompas Gramedia, mengatakan Marga T membuka jalan bagi penulis perempuan masa depan keturunan Tionghoa di Indonesia. Dia menunjukkan bahwa perempuan memiliki suara yang dapat disampaikan dalam karya tulis.

“Pembaca perempuannya bisa terinspirasi [oleh karakternya], ‘Kalau tokoh novel Marga T bisa jadi dokter, saya juga bisa jadi dokter'," kata Hetih yang sedang mengerjakan terjemahan If Only memoar Marga T yang ditulis dalam Bahasa Inggris.

Charlotte Setijadi, seorang antropolog yang meneliti komunitas etnis Tionghoa di Indonesia dan asisten profesor humaniora di Singapore Management University, mengatakan, “Untuk seorang perempuan etnis Tionghoa di era Orde Baru, dia mendapatkan ketenaran dan popularitas karena menulis cerita yang berhubungan dengan pembaca Indonesia, terlepas dari etnis mereka. Itu merupakan bentuk representasi penting bagi orang Tionghoa-Indonesia pada saat itu.”

Ditanya bagaimana dia ingin meninggalkan jejaknya, Marga mengatakan etnis Tionghoa tidak berbeda dari orang Indonesia lainnya dalam kegiatan dan aspirasi mereka, dan semua warga negara harus dapat menemukan cara untuk hidup berdampingan secara harmonis.

“Kita harus berusaha lebih keras untuk mengakomodasi dan membantu satu sama lain untuk membuat Indonesia menjadi negara yang sejahtera dan besar,” demikian Marga T. (aru)

Baca Juga:

Melestarikan Sastra Indonesia Ala Anak Muda

#Lipsus Mei Sastra
Bagikan
Ditulis Oleh

P Suryo R

Stay stoned on your love

Berita Terkait

Bagikan