Legacy dalam Buku 'Faith, The Art of Sasya Tranggono'


Sasya Tranggono sedang memeragakan bukunya. (MP/Zaimul)
SEORANG ibu dengan pakaian batik cantik tampak sedang asik menuntun anak lelakinya. Di wajah keduanya terlukis kisah perjuangan hidup. Keduanya tak hidup di dunia nyata, tapi di atas sehelai kertas dalam lukisan berjudul 'My Son and I'.
Karya itu milik perupa Sasya Tranggono. Lukisan penuh makna tersebut ia pajang dalam sebuah pameran tunggal berjudul 'Faith, The Art of Sasya Tranggono'. Pameran diselenggarakan di Mandiri Private, Menara Mandiri, Jakarta.

Dalam acara yang sama, anak pertama dari pasangan Suharto Tranggono dan Retno IS Tranggono, pendiri Ristra, itu juga meluncurkan buku dengan judul yang sama. Buku itu bagi Sasya Tranggono merupakan rangkuman perjalanan 30 tahun melukis dan juga merupakan legacy.
"Termasuk di dalamnya perjuangan perempuan, cat air, dan menjadi duta bangsa," kata Sasya membuka perbincangan dengan pewarta di ruangan pameran.

Ia juga menceritakan, buku seni rupa berbahasa Ingggris yang didesain dan dipublikasikan oleh Afterhours itu disusun dalam waktu dua tahun. Beragam peristiwa di gambarkan di dalamnya.
"Buku ini juga melewati peristiwa-peristiwa yang menyedihkan, tetapi kesedihan itu juga menjadi titik balik untuk mendapatkan dan memperjuangan kekuatan dalam hidup saya. Itulah mengapa kemudian judulnya Faith," katanya sembari mengenang masa lalu.
Ia juga mengatakan, buku karyanya ini juga terinspirasi dari keluarga. Bagi Sasya Tranggono, keluarga merupakan inspirasi yang tidak kelihatan tetapi selalu mewujud dalam setiap karyanya yang bertema keluarga. Tak heran jika lukisan dengan judul 'My Son and I' di jadikan sampul buku ini.
Nama Sasya Tranggono dalam dunia seni rupa muncul pertama kali saat menggelar pameran pameran tunggal berjudul 'Focus 99' pada tahun 1999 di Cipta Merkurius Gallery, Jakarta. Pamor Sasya semakin tinggi setelah masuk sebagai finalis di CP Open Biennale 2003 lalu.
Sejak terjun ke dunia seni, Sasya Tranggono membagi karyanya dalam tiga fase. Fase pertama, digolongkan ke dalam fase wayang. Alasannya, pada tahap itu obyek lukisan yang sering dibuatnnya adalah sosok wayang golek.
Kemudian pada fase kedua, disebutnya sebagai fase bunga, karena ia sering mengeksplorasi berbagai jenis bunga. Fase ketida adalah Kupu-kupu. Baginya merupakan pembaruan budi yang terjadi dalam kehidupan manusia.

Ibu satu anak itu juga memberikan padangannya terkait dengan perkembangan-perkembangan seni rupa di Indonesia dan peluang perupa perempuan untuk berkarya.
"Perkembangan seni di Indonesia sudah cukup baik, terbukti dengan berdirinya museum pribadi seperti Museum MACAN, Akili dan masih banyak lagi. Kemudian juga banyaknya event seperi Venice Bienalle, Art Bazaar dan lain-lain," ungkapnya.
Sasaya melanjutkan bahwa peluang perupa Indonesia sebenarnya cukup besar, tetapi terkendala dengan domestic affairs (tugas perempuan sebagai istri, ibu, serta urusan dan pekerjaan rumah tangga). (zaim)
Baca Juga: Aroma Kematian dalam Pameran Titik Temu Proyek SKS
Bagikan
Berita Terkait
Dari Bali hingga Korea, Art Jakarta 2025 Hadirkan Arus Baru Seni Kontemporer

Ruang Seni Portabel Pertama Hadir di Sudirman, Buka dengan Pameran ‘Dentuman Alam’
ArtMoments Jakarta 2025 Tampilkan 600 Seniman dan 57 Galeri, Angkat Tema 'Restoration'

Menyembuhkan Luka Batin lewat Kuas dan Warna: Pelarian Artscape Hadirkan Ruang Aman untuk Gen Z Hadapi Stres

ARTSUBS 2025 Hadirkan Ragam Material dan Teknologi dalam Ruang Seni yang Lentur

Sambut SBY dan Pelukis Jerman, Pramono: Kolaborasi Melukis Ikon Jakarta

Gim ‘Candy Crush’ Rilis Buku Masak

Genre Imajinasi Nusantara, Lukisan Denny JA yang Terlahir dari Budaya Lokal hingga AI

Emte Rilis ‘Life As I Know It’, Rayakan Kesendirian lewat Pameran Tunggal
