Kenaikan Harga Minyak Goreng Tetap Jadi Beban Petani Sawit


Ilustrasi - Kawasan perkebunan Batang Serangan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. (ANTARA FOTO/SEPTIANDA PERDANA)
MerahPutih.com - Petani sawit tak sepenuhnya menikmati naiknya harga minyak goreng (migor) yang disebabkan keputusan pemerintah mencabut kebijakan harga eceran tertinggi (HET) kemasan.
Demikian disampaikan Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih merespons naik dan melonjaknya harga minyak goreng di pasaran pasca-dicabutnya HET.
"Petani sawit juga konsumen minyak goreng. Kenaikan minyak goreng tetap menjadi beban bagi petani sawit,” kata Henry kepada wartawan, Kamis,(24/3).
Baca Juga:
Kenaikan Harga Minyak Goreng, Buruh hingga Nelayan Ancam Demo Besar-besaran
Henry mengakui, jika mengacu pada nilai tukar petani (NTP) Februari 2022, tren positif subsektor tanaman perkebunan masih terus berlanjut. Ada kenaikan sebesar 0,90 persen dibanding bulan sebelumnya.
Nilainya pun berada di 133 hampir 1,5 kali lipat dari batas impas di 100. Kenaikan ini ditopang oleh naiknya harga tandan buah segar (TBS) sawit.
"Laporan dari petani SPI di Riau TBS minimal di Rp 3.550 per kg dan maksimal di Rp 3.750 per kg, bahkan di Kabupaten Tebo, Jambi harga TBS tertinggi mencapai Rp 3.800 per kg," jelas dia.
Meski demikian, Henry melanjutkan, kenaikan harga TBS juga diikuti dengan kenaikan harga saprodi.
Harga pupuk ikut naik, seperti urea Rp 400.000 per 50 kg karung, NPK Rp 750.000, dan KCL Rp 630.000.
"Artinya ketika terjadi kenaikan harga jual sawit, pada saat yang sama biaya produksi dan penambahan biaya modal (BPPBM) dan biaya kebutuhan rumah tangga ikut naik," ujarnya.
Henry mengatakan, meroketnya harga minyak goreng ini bukanlah yang pertama, tapi sudah pernah terjadi pada tahun 2008, ketika krisis pangan dunia akibat dari penggunaan bahan pangan untuk biofuel termasuk kelapa sawit.
Pemerintah, kata dia, selama ini berpedoman pada tata niaga minyak sawit mentah (CPO) yang jadi bahan baku minyak goreng berdasarkan pasar global. Tata niaga ini mendikte jumlah, jenis produksi (B20, B30, dll), sampai harga dan pasarnya.
"Akibatnya ketika harga CPO naik, harga minyak goreng berbasis sawit secara otomatis ikut naik. Dengan tidak berdaulatnya kita atas komoditas tersebut, maka gejolak yang terjadi di tingkat global akan sangat berpengaruh ke dalam negeri," bebernya.
Lebih lanjut Henry menambahkan, di dalam negeri sendiri, tidak ada kebijakan yang berpihak kepada perkebunan sawit rakyat. Hingga saat ini, petani sawit tidak menguasai setiap aspek sawit mulai dari hulu, pengolahan pasca-panen yang mencakup pabrik kelapa sawit, penyulingan termasuk produksi minyak goreng sampai pemasaran, dan distribusinya.
Baca Juga:
Jabar Siapkan Operasi Pasar Minyak Goreng untuk Masyarakat Miskin
Henry menilai, kebijakan pangan dan pertanian nasional harus berdasarkan kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan berarti pemenuhan pangan melalui produksi lokal, mendorong produk pertanian nasional, serta mendorong pendirian dan penguatan kelembagaan ekonomi petani, yakni koperasi bukan korporasi
Melalui kedaulatan pangan, kebijakan pertanian Indonesia akan menempatkan kepentingan dan nasib petani, selaku produsen pangan, di atas kepentingan korporasi maupun tuntutan pasar.
"Distribusikan tanah-tanah yang dikuasai, dimonopoli oleh korporasi menjadi milik koperasi melalui reforma agraria sejati dan penerapan pola pertanian yang tidak monokultur, kebijakan variasi sawit dan pangan," katanya.
Menurutnya, kebun-kebun sawit yang dikuasai oleh korporasi-korporasi itu harus dijadikan objek reforma agraria. Sebab, perkebunan sawit yang dikuasai korporasi tidak mendorong pembangunan di daerah, merusak hutan dan lingkungan hidup bahkan infrastruktur yang ada.
Henry menerangkan, khusus untuk kasus naiknya harga minyak goreng ini, SPI menilai, pemerintah harus segera merumuskan kebijakan agar tidak semuanya sawit diekspor. Pemerintah harus mengalokasikan produksi sawit untuk kebutuhan di dalam negeri.
Pemerintah juga bisa mendorong dan membantu koperasi-koperasi petani untuk mampu membangun pabrik minyak goreng skala lokal. Tentunya pemerintah juga membantu proses distribusi dan pemasarannya juga.
"Koperasi perkebunan sawit rakyat, bukan korporasi, harus diperkuat agar menguasai hulu hingga hilir. Korporasi harus dibatasi. Produksi minyak goreng sangat berbahaya jika bersifat monopoli atau oligopoli," tegasnya.
Henry mengatakan, fungsi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) yang dibentuk melalui Peraturan Pemerihtah (PP) No 24 Tahun 2015 untuk membangkitkan perkebunan sawit rakyat juga harus dikembalikan sesuai fitrahnya
"Karena selama ini diduga kuat hanya menguntungkan kelompok tertentu dalam industri kelapa sawit," imbuhnya.
Henry menambahkan, minyak goreng harus kembali menjadi produksi rakyat. Sawitnya dijual ke pabrik minyak goreng lokal dengan harga yang layak, minyak gorengnya dijual ke masyarakat lokal, hingga nasional dengan harga yang tidak memberatkan konsumen.
"Kalau serius, insyaallah ini bisa kita lakukan, dan SPI siap bekerja sama dengan pemerintah untuk mewujudkannya melalui koperasi-koperasi petani SPI yang sudah tersebar di nusantara," pungkasnya. (Pon)
Baca Juga:
Protes Kelangkaan Minyak Goreng, Ganjar: Kita seperti Tikus Mati di Lumbung Padi
Bagikan
Ponco Sulaksono
Berita Terkait
Gerakan Pangan Murah di Seluruh Indonesia, Polri-Bulog Jual Beras hingga Minyak di Bawah Harga Normal

Karhutla di Riau, KLH Segel 4 Perusahaan Perkebunan dan Tutup 1 Pabrik Sawit

Pemerintah Musnahkan Tanaman Sawit 700 Hektare di Dalam Kawasan TN Tesso Nilo

Harga Minyakita Selalu Melebihi Ketentuan HET, Ini Permintaan Para Pengusaha

Minyakita Capai Rp 50 Ribu Per Liter di Papua, Pemerintah Bakal Ubah Pola Distribusi

Harga Referensi Minyak Kelapa Sawit Menguat Jadi 877,89/MT Periode Juli, Naik 2,51 Persen

Harga MinyaKita 59 Kota/Kabupaten di Bawah HET, Termurah Probolinggo

Pemerintah Butuh Tambahan Lahan Sawit Buat Implementasikan Biofuel 60, Bisa Capai 2,5 Juta Hektar

Impor BBM Hampir USD 40 Miliar Per Tahun, Prabowo Ingin Optimalkan Potensi Kelapa Sawit

Kejagung Kembali Sita Kendaraan Mewah dari Kasus Suap Putusan Minyak Goreng, Ada 2 Unit Mercedes Benz
