Jangan Salah Kaprah, Ini Penjelasan tentang Tumpeng yang Harus Kamu Tahu


Nasi tumpeng. (Foto: Pixabay/mufidpwt)
TUMPENG merupakan penyajian nasi dan lauk pauk khas Indonesia, terutama oleh masyarakat di Pulau Jawa dan Bali. Penyajian ini dahulu sangat erat kaitannya dengan kegiatan tradisi maupun keagamaan.
Kini masih bertahan meski dengan kegiatan tak melulu tradisional. Penyajian nasi tumpeng juga lebih beragam soal lauk pauk dan beragam hisannya.
Namun, tahukah kamu bahwa tumpeng tak hanya sekadar penyajian? Di dalamnya banyak sekali simbol yang bisa dibaca tentang kepercayaan dan perilaku masyarakat.
Bagi para gastronom, makanan yang disajikan merupakan hasil dari adaptasi manusia terhadap lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan tingkat pendidikan. Dari situ, generasi selanjutnya dapat belajar bagaimana hubungan makanan dalam kehidupan para orang tua dahulu.
1. Nasi Tumpang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan

Presiden dari Indonesia Gastronomy Association (IGA) Ria Musiawan tumpeng merupakan simbol atau lambang permohonan makhluk hidup kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dapat juga diartikan dengan simbol hubungan antara pemimpin dengan rakyatnya.
Baca juga berita lainnya dalam artikel:
Durian Ternyata enggak Mengandung Kolesterol? Ini Penjelasan Spesialis Nutrisi Resort
2. Tumpeng menyimpan harapan terhadap kesejahteraan

Filosofi tumpeng adalah lambang gunungan yang bersifat awal dan akhir. Tumpeng juga mencerminkan manifestasi simbol sifat alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan.
Ria Musiawan juga menjelaskan bahwa tumpeng yang menjulang ke atas itu menggambarkan tangan manusia merapat dan menyatu menyembah Tuhan. Tumpeng juga menyimpan harapan agar kesejahteraan maupun kesuksesan semakin meningkat.
3. Mengucapkan doa sebelum tumpeng dimakan

Tumpeng ketika akan disantap hanya boleh dikeruk sisi samping dari bawah, kemudian orang yang mengeruk tersebut mengucapkan doa dalam hati.
Ria Musiawan mengatakan, pada zaman dahulu, para tokoh yang memimpin doa akan menjelaskan dulu makna tumpeng sebelum disantap.
4. Masih sering terjadi salah kaprah tentang tumpeng

Saat ini masih terjadi salah kaprah mengenai tumpeng terutama pemotongan puncak tumpeng. Kebiasaan memotong tumpeng harus diperbaiki karena berpotensi merusak nilai filosofis dalam tradisi tumpengan.
Dengan memotong tumpeng dapat diartikan memotong hubungan tersebut. Jadi seharusnya, tumpeng tersebut tidak dipotong akan tetapi dikeruk.
"Jadi kalau dipotong, maka seolah-olah itu memotong hubungan kita dengan Tuhan, karena puncak tumpeng itu melambangkan tempat bersemayam Sang Pencipta," kata Ria, seperti dikutip Antara. (*)
Baca juga berita lainnya dalam artikel: Resort Ini Sajikan Sensasi Penginapan Mewah dan Interaksi dengan Gajah
Bagikan
Berita Terkait
Menu Jadul Es Pleret, Manis dan Nikmat untuk Berbuka Puasa

Klepon, Jajanan Sarat Makna Filosofis saat Perayaan Isra Mi'raj

Menilik Bahan-Bahan Dasar Pembuatan Minuman Tradisional 'Sopi' Asal Maluku

Kemenparekraf Dukung Ekspansi Restoran Indonesia ke Luar Negeri
