Hadiah Sastra Rancage, Warisan Ajip Rosidi Rawat Sastra Daerah dari Kocek Sendiri


Para penerima Anugerah Sastra Rencage 2018 bersama Ajip Rosidi (ke-6 dari kiri). (foto: MP/Iftinavia Pradinantia)
AJIP Rosidi, sosok penyair, budayawan, akademisi, dan redaktur beberapa majalah dan penerbitan tutup usia di Magelang pada Rabu malam, 29 Juli 2020 pada usia 82 tahun. Sebuah kehilangan yang amat sangat bagi dunia sastra Indonesia, khususnya di bidang kesusastraan daerah
Pria kelahiran Jatiwangi, Jawa Barat pada 31 Januari 1938 itu terkenal mendedikasikan hidupnya untuk menumbuhkan dan melestarikan karya sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa daerah Nusantara. Sumbangan terbesar Ajip bagi sastra daerah adalah penyelenggaraan Hadiah Sastra Rancage yang sudah berlangsung sejak 1989. Sayembara ini diberikan Ajip kepada para sastrawan Sunda, Jawa, Bali, dan orang yang dianggap berjasa dalam mengembangkan sastra daerah.
Baca Juga:
Oleh-Oleh dari Osaka
Penghargaan sastra ini berawal dari minat Ajip terhadap perkembangan bahasa dan sastra Sunda pada medio awal 1980-an. Penyair yang tidak memiliki ijazah SMA itu sempat diundang Universitas Bahasa Asing Osaka Jepang dan mendapat gelar Guru Besar Tamu Sastra Indonesia pada 1981. Meski tak mengenyam bangku kuliah, Ajip sebelumnya telah diangkat sebagai dosen luar biasa pada Fakultas Sastra Universitas Padjajaran Bandung Jawa Barat sejak 1967.

Dilansir situs Badan Bahasa kemdikbud.go.id, Kamis (30/7), Ajip yang mengajar Kesusastraan Nusantara ketika tinggal di Osaka merasa prihatin terhadap nasib sastrawan yang konsisten mengarang dalam bahasa daerah meskipun honorarium yang diperoleh minim. Padahal, dilihat dari kualitas, karya sastra daerah tidak kalah dengan sastra Indonesia lainnya.
Ketika menghadapi situasi seperti itulah, Ajip ingin sedikit memberikan penghargaan kepada sastrawan daerah yang dipandang berprestasi. "Karya yang mereka hasilkan bermutu tinggi," kenang dia terkait nasib sesama sastrawan lainnya, dikutip dari laman yang sama.
Baca Juga:
Meninggal Dunia, Budayawan Ajip Rosidi Dimakamkan di Magelang
Hasrat Ajip akhirnya terealisasi dalam wujud hadiah sastra yang dinamai Hadiah Sastra Rancage. Kata 'rancage' diambil dari Bahasa Sunda yang artinya cakap, gesit dan dinamis. Ajang ini awalnya menyasar karya sastra Sunda yang dianggap terbaik yang terbit berupa buku pada tahun sebelumnya berdasarkan pilihan Ajip.
Berawal dari Kocek Ajip Rosidi
Kala pertama kali digelar pada 1989, pemenang sayembara mendapat hadiah piagam dan uang Rp1 juta dari kocek Ajip sendiri, jumlah yang cukup besar dan cukup menarik untuk para pengarang Sunda yang biasanya menerima honorarium minim kala itu. Sayembara ini diberikan rutin setiap tahun sejak 1989. Sastrawan pemenang sayembara diumumkan tepat 31 Januari setiap tahunnya, berbarengan dengan hari ulang tahun Ajip. Tak heran banyak sastrawan yang kemudian berlomba-lomba masuk 'radar' Ajip.

Setahun kemudian pada 1990 di samping karya sastra Sunda terbaik juga diberikan penghargaan kepada pengarang yang dianggap berjasa besar terhadap perkembangan sastra Sunda. Jadi, selain hadiah untuk karya juga terdapat hadiah untuk jasa. Namun, total hadiah Rp2 juta terlalu berat ditanggung kantong Ajip sendiri, sehingga dia mulai menggandeng para donatur.
Prinsipnya seorang pengarang dapat saja memperoleh Hadiah Sastra Rancage berkali-kali untuk karyanya jika tiap tahun sastrawan itu melahirkan karya-karya unggul yang diterbitkan dalam bentuk buku, seperti Godi Suwarna yang menerima hadiah 1993 dan 1996 dan Yoseph Iskandar yang menerima pada 1992 dan 1997. Namun untuk jasa, tiap pengarang hanya akan satu kali memperoleh Hadiah Sastra Rancage. Setelah Hadiah Sastra Rancage terus-menerus diberikan sejak 1989 atas nama Ajip, dipandang telah tiba saatnya untuk melembagakannya dalam bentuk yayasan. Pada 1993, Ajip dan beberapa koleganya mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancagé, sekaligus memupus kekhawatiran Hadiah Rancage akan hilang karena keterbatasan dana.
Sejak 1993, Yayasan kemudian juga memberikan Hadiah Samsudi bagi pengarang yang menerbitkan buku bacaan kanak-kanak yang berbahasa Sunda. Besar hadiahnya sama dengan Hadiah Sastra Rancage. Bahkan, setahun kemudian Hadiah Sastra Rancage diberikan juga kepada para pengarang sastra berbahasa Jawa pada 1994. Penerima hadiah juga terus berkembang bagi satrawan Bali saat 1998. Bahkan pada 2020, Sastrawan Lampung Semacca Andanant menerima Hadiah Sastra Rancange atas karya Lapah Kidah Sangu Bismilah, Bandung & Hahiwang (diterbitkan Pustaka LaBRAK), karena memasukkan unsur modern dalam bandung dan hahiwang, dua bentuk sastra lisan tradisional Lampung.
Pesan Terakhir di Momen Terakhir Rancage 2020

Tak hanya Jawa, Bali dan Lampung, daftar penerima Hadiah Sastra Rancage hingga kini tercatat ada nama sastrawan Madura Mat Toyu dengan karya Kerrong ka Omba dan sastrawan Batak Robinson Siagian untuk karya Guru Honor. Semua itu tidak lepas dari obsesi Ajip untuk memberikan apresiasi kepada satrawan yang karyanya mengangkat bahasa daerah se-nusantara.
"Semoga semangat merawat bahasa dan sastra daerah terus terjaga. Saya gembira karena dari Jatiwangi usaha itu terus mengalir. Jatiwangi untuk Indonesia demi kelestarian bahasa dan budaya Nusantara," kata Ajip ketika menyerahkan penghargaan tepat di hari ulang tahun ke-82 pada 31 Januari 2020 di desa kelahirannya itu.
Momen ini menjadi seremoni terakhir Hadiah Sastra Rancange 2020 yang dihadiri langsung penyair yang menikahi aktris senior Nani Wijaya saat sama-sama berusia kepala 7, sebelum berpulang Rabu kemarin di Magelang Jawa tengah. Sumbangsih besar Ajip terhadap Sastra Daerah dan khususnya Sunda juga terwujud dalam buku Ensiklopedi Kebudayaan Sunda yang disusun dirinya bersama sejumlah beberapa sastrawan lainnya pada 2001 silam. (New)
Baca Juga:
Bagikan
Wisnu Cipto
Berita Terkait
Karya Sastra Klasik Indonesia Mulai Diterjemahkan ke Bahasa Asing, Fadli: Ini A Little Too Late

Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, dan Denny JA Sama-Sama Berpengaruh di Mata AI
