Gaji Hakim Naik, Korupsi Disebabkan oleh Keserakahan Belum Tentu Hilang, Tapi Korupsi Karena Kebutuhan Bisa Menurun


Ilustrasi Suasana ruang sidang. (foto: Dinas LH DKI).
MerahPutih.com - Presiden Prabowo Subianto saat menghadiri pengukuhan 1.451 hakim pengadilan tingkat pertama di Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (12/6), mengumumkan kenaikan gaji hakim hingga 280 persen dari gaji saat ini.
"18 tahun hakim tidak menerima kenaikan, 3 persen pun tidak, 5 persen pun tidak. Hari ini, Presiden Prabowo Subianto ambil keputusan naik, yang paling junior 280 persen," kata Presiden dalam sambutannya.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman mengatakan, kebijakan pemerintah menaikkan gaji hakim dapat menekan korupsi peradilan yang disebabkan masalah kebutuhan (corruption by need).
"Peningkatan kesejahteraan dari hakim itu dapat menekan korupsi karena masalah kebutuhan atau biasanya disebut sebagai corruption by need," kata Zaenur saat dihubungi dari Jakarta, Jumat.
Baca juga:
Pemerintah Naikkan Gaji Hakim 280 Persen, Hasil Putusan Harus Berikan Jaminan Keadilan
Zaenur mencontohkan kondisi kehidupan hakim yang bertugas di daerah terpencil. Gaji yang sepadan akan memenuhi kebutuhan hidup yang cenderung lebih tinggi dibanding daerah lainnya.
"Misalnya, gaji hakim terbatas, tetapi hakimnya tinggal di area remote (terpencil) yang memiliki tingkat kemahalan harga yang jauh lebih tinggi sehingga ada kebutuhan nyata untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” tuturnya.
Ia menegaskan, gajinya masih terbatas maka risiko untuk menerima godaan suap atau gratifikasi itu jauh lebih tinggi.
"Dengan dinaikkannya gaji hakim maka risiko untuk corruption by need itu dapat menjadi lebih rendah,” sambung dia.
Keputusan menaikkan kesejahteraan hakim merupakan langkah tepat. Terlebih, gaji hakim di Indonesia tidak mengalami kenaikan signifikan dalam periode yang lama.
Namun, dalam konteks rasuah, terdapat pula korupsi yang disebabkan oleh keserakahan (corruption by greed).
Korupsi jenis itu dinilai tidak bisa diberantas hanya dengan meningkatkan kesejahteraan.
Contohnya, hakim-hakim yang terkena operasi tangkap tangan oleh aparat penegak hukum lantaran diduga terlibat tindak pidana korupsi. (*)
Bagikan
Alwan Ridha Ramdani
Berita Terkait
Ketua Baleg DPR Pastikan RUU Perampasan Aset Dibahas Tahun ini, Tekankan Transparansi Publik

Pakar Hukum UNAIR Soroti Pasal Kontroversial RUU Perampasan Aset, Dinilai Bisa Jadi Pedang Bermata Dua

5 Pasal Kontroversial dalam RUU Perampasan Aset yang Perlu Direvisi, Pakar UNM Ungkap Risiko Kriminalisasi dan Kehilangan Kepercayaan Publik

KPK Buka Peluang Panggil Ketum PBNU Terkait Korupsi Kuota Haji

Hotman Klaim Kasus Nadiem Mirip Tom Lembong, Kejagung: Itu Kan Pendapat Pengacara

Apartemen Nadiem Makarim Digeledah, Kejagung Temukan Barang Bukti Penting

Kakak-Adik Bos Sritex Jadi Tersangka Kasus Pencucian Uang, Negara Rugi Rp 1 Triliun!

Presiden Nepal Yakinkan Semua Pihak, Tuntutan Pengunjuk Rasa Akan Dipenuhi

KPK Menggali Keterangan Khalid Basalamah Terkait Perolehan Kuota Haji Khusus

Kejagung Akui Kepala Desa yang Terlibat Kasus Korupsi Meroket Hingga 100 Persen
