Freeport Ala Cita-Cita Bung Karno

Angga Yudha PratamaAngga Yudha Pratama - Jumat, 27 Desember 2019
Freeport Ala Cita-Cita Bung Karno

Sejumlah haul truck dioperasikan di area tambang PT Freeport Indonesia. (Antara Foto/Muhammad Adimaja)

Ukuran:
14
Audio:

PT. Freeport Mc.Moran Indonesia (PT. FMI) adalah salah satu penyumbang PDB terbesar sebagai sebuah single entity company yaitu ±0,6 dari total PDB Indonesia dan kontribusi pajak sebesar ±0,25% dari total APBN Nasional. Tambang emas di Grasberg Papua merupakan tambang emas dengan deposit emas terbanyak kedua di dunia setealh tambang emas di Muruntau Uzbekistan. Hanya bedanya di Uzbekistan tambang emas dimiliki 100% oleh BUMN Uzbekistan Navoi Mining & Metallurgy Combinat (NMMC).

Penemuan harta karun di bumi Papua dimulai dari petualangan penjelajah Belanda, Jean Jacques Dozy pada 1936. Dozy melakukan pendakian di gunung Papua untuk mencari ladang baru eksplorasi minyak saat bergabung dengan perusahaan minyak, Nederlandsch Nieuw Guinee Petroleum Maatschappij (NNGPM). Laporan penemuan tambang ini kemudian terbengkalai di perpustakaan Belanda selama perang dunia ke II, dan dilaporkan hingga berdebu. Saat itu kondisi dunia tidak mendukung, menjelang berkecamuknya Perang Dunia II yang melibatkan banyak negara, termasuk Belanda.

Sempat tak terdengar kabar, pada Agustus 1959, berlangsung pertemuan antara Forbes Wilson, direktur dan pakar ahli pertambangan Freeport dengan Jan van Fruisen, Direktur Pelaksana East Borneo Company. Dalam rapat itu, Jan van Fruisen bercerita kepada Wilson isi buku Dozy ditemukan dalam kondisi berdebu. Wilson kemudian tertarik dengan laporan Dozy soal gunung tembaga itu. Berbekal buku tulisan Dozy, Wilson dan rombongannya pada Februari 1960 mengunjungi lokasi tambang Papua. Rombongan ekspedisi ini dibantu oleh suku setempat untuk menjelajahi wilayah pegunungan itu. Hasil penelusuran dituangkan dalam buku "Conquest of Copper Mountain".

Baca Juga

PT Freeport Beberkan Potensi Cadangan Tembaga, Hasilnya Diluar Dugaan

Persis seperti yang ditulis oleh Dozy, Wilson menuliskan kekagumannya akan hamparan mineral tidak pernah dia lihat sebelumnya. Saat mencapai Erstberg, dia terperanjat dengan hamparan bijih tembaga di atas permukaan tanah.Wilson menyebut wilayah itu sebagai tempat terjadinya mineralisasi tidak lazim di atas ketinggian 2.000 meter dari permukaan laut.

Berselang beberapa waktu kemudian, Wilson melaporkan lewat kabel temuan itu kepada Presiden Freeport Bob Hills di New York, Amerika Serikat. Setelah menganalisis laporan Wilson, konsultan tambang Freeport memperkirakan akan mendapat 13 juta ton di atas permukaan dan 14 ton di bawah tanah dengan kedalaman seratus meter. Perlu sekitar USD 60 juta dolar untuk mengeksplorasi kawasan itu. Dengan begitu, Freeport menilai bahwa modal investasi akan balik dalam tiga tahun. Laporan ini kini tersimpan di National Archieve, Washington DC, Amerika Serikat.

Kondisi pertambangan PT Freeport di Papua
Sejumlah haul truck dioperasikan di area tambang PT Freeport Indonesia. (Antara Foto/Muhammad Adimaja)

Akhir 1961, Presiden Soekarno memerintahkan pendaratan pasukan di wilayah Papua yang membuat pihak Freeport tidak senang. Freeport pun kian jengkel dengan sikap Presiden John Fitgerald Kennedy saat itu karena lebih memihak Indonesia. Belum lagi dengan sikap Amerika menghentikan bantuan pemulihan ekonomi Eropa setelah Perang Dunia Kedua untuk Belanda. Freeport sebenarnya lebih cemas kepada Soekarno yang gencar dengan prinsip nasionalisme dan antikolonialisme. Singkat kata, Soekarno tumbang oleh Amerika Serikat dan CIA atas prinsipnya yang kuat soal antikolonialisme.

Di era orde baru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selanjutnya turun tangan dan akhirnya memutuskan membentuk pemerintahan transisi di Irian Barat. Kemudian diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969, untuk memutuskan apakah rakyat Papua akan memilih bergabung dengan Indonesia atau Belanda. Dua tahun sebelum Pepera sesaat setelah Presiden Soeharto berkuasa, Freeport sudah mendapat Kontrak Karya Pertama pada 50 April 1967. Perjanjian bisnis ini berlaku 30 tahun dan bisa diperpanjang. Laporan juga menemukan Freeport melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan izin dan perpanjangan kontrak karyanya. Sejak 1967 hingga kini Freeport masih menggangsir bumi Papua, menambang emas, perak, dan tembaga. Selama hampir setengah abad itu telah muncul pelbagai masalah, terutama menyangkut jatah penerimaan negara karena kurang optimal. Hal ini disebabkan maraknya praktik korupsi dan kolusi atas perpanjangan kontrak karya PT.FMI dengan pemerintahan era Presiden Soeharto.

Freeport di Era Presiden Jokowi

Isu divestasi saham PT Freeport Mc.MoRan Indonesia (PT. FMI) kini memasuki babak perdebatan baru. Dengan kuatnya dimensi politik yang terkandung di belakangnya ketika Pilpres 2019, pencapaian pengambilalihan 51 persen saham perusahaan tersebut masih menyisakan tanda tanya. Dugaan kerugian akibat dampak lingkungan yang menyentuh angka Rp 185 triliun, hingga masih banyaknya pihak yang tak terima pencapaian tersebut diklaim sepihak sebagai kesuksesan pemerintahan Jokowi saja, menjadi warna lainnya. Tidak sedikit pula yang menyebut hal ini punya pertalian dengan strategi pemenangan di Pilpres 2019. Tanggal 21 Desember 2018 Presiden Joko Widodo mengumumkan secara resmi “kembalinya” PT. FMI ke pangkuan ibu pertiwi. Demikianlah bahasa yang digunakan Jokowi di akun-akun media sosialnya saat itu. Pencapian tersebut merupakan lanjutan dari penandatanganan pengambilalihan saham PT.FMI – lewat pembelian hak partisipasi milik perusahaan tambang asal Inggris-Australia, Rio Tinto – oleh perusahaan pelat merah, PT Inalum pada September 2018 lalu.

Baca Juga

Luhut Ungkap Adanya 'Deal' Jokowi-Freeport

Menariknya, proses tersebut kemudian mendatangkan perdebatan dan pro kontra. Isu yang mencuat adalah terkait harga yang cukup mahal yang harus dibayarkan oleh Inalum untuk saham tersebut, yang totalnya mencapai Rp 56 triliun. Pembayarannya pun didapat dari pinjaman luar negeri (global bond). Argumentasi yang muncul – utamanya dari kubu yang berseberangan dengan Jokowi – umumnya mempertanyakan mengapa pemerintah harus membeli saham tersebut karena jika kontrak tersebut berakhir pada 2021, menurut kelompok tersebut, kepemilikan akan otomatis jatuh ke tangan Indonesia. Yang lain mempertanyakan secara spesifik tentang mengapa Inalum harus berutang dari luar negeri untuk membayar saham tersebut. Klausul lain yang sangat tidak nasionalisme adalah kontrak menyebutkan bahwa sekalipun 51 persen saham PTFI sudah dikuasai oleh Indonesia, namun Freeport McMoran sebagai induk perusahaan masih memegang kendali menunjuk dewan direksi dan komisaris.

Manipulasi Informasi Pemberitan PT.FMI

Penerbitan global bond tersebut dilakukan oleh Inalum tercatat tanggal kamis 8 November 2018 di New York. Hebatnya, dalam kurun kurang lebih 1 bulan, Inalum berhasil mendapatkan global bond tersebut senilai 4 miliar USD dengan cukup mudah. Dalam sebuah pasar obligasi, mencari dana segar sebesar 4 miliar USD bukanlah suatu hal yang mudah, tapi dalam kasus Inalum, semua Nampak sangat mudah seakan investornya telah terkondisi. Hingga saat ini, PT. Inalum belum mau me-release siapa pembeli Global Bond tersebut, bahkan untuk membuka siapa perusahaan penjamin security-nya sepertinya mereka enggan. Dalam aturan global bond, apabila MacMoran ingin membeli global bond Inalum, maka tidak boleh dilarang. Hal ini memungkinkan PTFI dapat dikuasai kembali oleh MacMoran melalui tangan global bond Inalum. Skema global bond menjadikan Inalum hanya digunakan sebagai cangkang formal (Financial Security Vehicles) yang dapat digunakan kekuatan modal diluar nasional Indonesia untuk menguasai PTFI seperti MacMoran dan afiliasi turunannya.

Skenario SDA Ala Demokrasi Terpimpin

Eksploitasi SDA secara masif berawal sejak naiknya rezim Orde Baru pada tahun 1966-1967. Paradigma pembangunan dan kemajuan ekonomi pada saat itu diwujudkan dengan potensi hutan, minyak bumi, gas dan mineral yang dieskploitasi secara berlebihan. Pada tahun pertama saja, terdapat tiga Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan pengelolaan SDA. Yang pertama adalah UU Nomor 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing yang memberikan kemudahan masuknya modal asing di Indonesia beserta dengan kemudahan insentif pajak untuk perusahaan asing. Kedua adalah UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang menyatakan bahwa seluruh wilayah hutan dikuasai oleh Negara. Produk hukum ketiga adalah UU Nomor 11 tahun 1967 tentang Pertambangan yang membuat semua lahan di wilayah Indonesia dapat dipergunakan untuk pertambangan. Dengan ditebitkannya ketiga UU tersebut maka era neo-kolonialisme (Nekolim) di Indonesia kembali dimulai, 22 tahun setelah Indonesia merdeka.

Kondisi tambang PT Freeport
Kondisi tambang PT Freeport di Tembagapura (ANTARA FOTO)

Pada masa Pemerintahan Soekarno, terdapat beberapa praktik Nekolim yang pernah terjadi, misalnya Nekolim melalui bantuan ekonomi yang mampu mengakibatkan ekonomi nasional menjadi bergantung pada negara pemberi bantuan tersebut, ataupun melalaui kerjasama kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang mampu mengakibatkan kebudayaan dan ilmu pengetahuan nasional menjadi tidak berkembang. Namun, dalam menyikapi hal tersebut Presiden Soekarno langsung mengambil tindakan tegas untuk menentang Nekolim dengan mengusung gerakan "Berdikari" (Berdiri di atas kaki sendiri) dan menyuarakan prinsip "Kepribadian Nasional". Kemudian pada masa Pemerintahan Soeharto, praktik Nekolim ini kembali muncul dan bahkan lebih terang-terangan dilakukan oleh kaum Nekolim. Berbeda dengan Soekarno yang pada dasarnya memang Anti-kolonialisme dan anti imperialism. Soeharto pada masanya justru sangat Pro dengan Amerika Serikat dan bangsa Eropa. Dengan alasan keterpurukan ekonomi di Indonesia saat itu, Soeharto berkenan untuk menerima pinjaman dari IMF dan Bank Dunia.

Baca Juga

Freeport Segera Operasikan Kereta Tambang Bawah Tanah

Sehingga mulailah terjadi kesepakatan politik bilateral untuk bangsa Amerika dan Eropa dalam menguasai sumber daya alam Indonesia dengan membentuk GATT yang sekarang berganti nama menjadi WTO. Bentuk konkrit dari sistem Nekolim di Indonesia yang lain adalah banyaknya permodalan asing yang masuk dan beredar dalam bentuk perusahaan-perusahaan asing ataupun perusahan dalam negeri yang telah diprivatisasi. Dengan munculnya perusahaan-perusahaan tersebut mengajarkan "pandangan" bagi bangsa Indonesia mengenai prinsip "Imperialisme" yang mana pihak-pihak yang memiliki modal besar akan menggeser pihak-pihak yang memiliki modal lebih kecil. Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Derasnya pihak asing yang masuk mengelola Sumber Daya Alam Indonesia, baik di pertambangan, perkebunan, perikanan dan kehutanan membuat bangsa kita menjadi pemakan hidangang pinggir dari jamuan makan khalayak ramai.

Andai Bung Karno tidak tumbang saat itu maka ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dapat sempurna di aplikasikan di bumi pertiwi. Maka betapa bahagianya warga negeri ini, ketika ikan dan udang menghampiri bukan dicari, ketika minyak dan batubara menjadi pijakan kita sehari-hari, maka negara ini bukan negara lautan tetapi negara kolam susu seperti kata Koes Plus.

Penulis :Irwan Tongari

Tentang Penulis: Irwan Tongari adalah praktisi trading komoditas perminyakan dan hasil bumi yang banyak berhubungan dagang dengan negara-negara Timur Tengah khususnya Iran. Masih tercatat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal PPK KOSGORO, Wakil Ketua DPD Banteng Muda Indoneisa Provinsi Sumatera Utara dan Ketua DPP Komunitas Banteng Muda. Penulis juga adalah mahasiswa Pasca Sarjana Ketahanan Nasional Universitas Indonesia; tulisan ini dipublikasi sebagai nilai ujian akhir semester mata kuliah Kajian Strategik Dan Global dengan Dosen pengampu Dr. Adis Imam Munandar, S.Si, MM.

Bagikan
Bagikan