Dari Lima Terpidana Mati, Lahirlah Wayang Potehi


Salah satu adegan pada pementasan Wayang Potehi. (Foto Yusuf R, Wayang Potehi, Seni Pertunjukan Peranakan Tionghoa di Indonesia)
KETIDAKSENGAJAAN terkadang berbuah manis. Hal itu mungkin terasa begitu nyata bagi kelima terpidana mati, di Tiongkok Selatan pada masa Dinasti Tang (617-918).
Sembari menunggu hari eksekusi, lima terpidana pun mencoba membunuh rasa sepi dengan memainkan selehai kain berbentuk empat persegi panjang. “Tangan mereka masuk ke dalam kantong dan telunjuk masuk ke dalam ikatan, seperti kepala. Jadilah satu tokoh boneka,” ungkap Dwi Woro Retno Mastuti, peneliti budaya Tionghoa-Jawa.
Mereka kemudian membuat tokoh-tokoh boneka, menggerakannya, sekaligus mengisi dialog. Tak lupa, agar semarak, alat-alat makan dan masak di dekat mereka pun dipukul seakan menjadi musik pengiring.
Terbentuklah sebuah pertunjukan sederhana dari kelima terpidana. “Ya, enggak sengaja. Lima orang terpidana itu cuma kepingin menghilangkan rasa penat menuju hari eksekusi,” ungkap Woro Mastuti.
Pertunjukan kecil-kecilan tersebut sampai ke telinga raja. Mereka pun diminta menghadap untuk memainkan boneka kantung kreasi mereka di hadapan sang raja. “Ternyata raja suka dan mereka pun akhirnya terbebas dari hukuman, karena ketidaksengajaan,” jelas Woro Mastuti.
Boneka kantong tersebut kemudian menjalar hingga ke luar istana menjadi kesenian rakyat. Pada abad 17, boneka kantong atau lumrah disebut Wayang Potehi kemudian menyebar hingga wilayah Timur Tiongkok, Hongkong, Taiwan, kemudian Asia Tenggara, hingga Nusantara, lebih khusus Jawa.
Potehi, menurut Woro Mastuti, berasal dari bahasa mandarin lafal Hokkian terdiri dari kata poo (kain), tay (kantong), dan hie (wayang), lantas bermakna menjadi boneka kantong. “Potehi merupakan bentuk mini Opera Peking,” tegasnya.
Pendapat tersebut bersandar dari tata rias muka tokoh-tokoh jendral dan panglima perang Potehi, berkecenderungan mengikuti pola Lianpu atau rias muka karakter pada Opera Pekking; tata rias pemain laki-laki berjuluk Sheng, kemudian perempuan Dan, lalu aktor lain Jing, serta badut Chou.
Semula pertunjukan Potehi untuk sebatas mengisi waktu senggang. Pada perkembangan selanjutnya, Potehi memasukan lakon-lakon cerita kepahlawanan, sejarah kerajaan, dan peri kehidupan dewa-dewa, sehingga fungsi Potehi berubah menjadi ritual.
“Orang Tionghoa beranggapan bahwa pertunjukan Wayang Potehi merupakan saran paling tepat menyampaikan puji-pujian kepada para dewa,” ungkapnya. “Mereka juga meyakini bila melakukan pementasa Potehi di halaman klenteng bisa mendatangkan berkah dan rejeki”. (*)
Bagikan
Yudi Anugrah Nugroho
Berita Terkait
Mengenal Wayang Garing, Kesenian asal Banten yang Terancam Punah

Menikmati Sanggar Wayang Golek Gending Pusaka Putra Kota Bandung

Peringatan 70 Tahun Srimulat: Dari Pameran Wayang Golek hingga Launching Buku

Temui Komunitas Dalang di Sukoharjo, Anies Ngaku Hanya Silaturahmi dan Tukar Pikiran

Mengenang Gregory Churchill, Ahli Hukum Asal Amerika Serikat Pencinta Wayang Nusantara

Produk UMKM Wayang Asal Sukoharjo Jadi Souvenir G20 di Bali
