Prabowo Mau Bayar Utang Whoosh Pakai Uang Sitaan Korupsi, Ekonom: Enggak Bakal Cukup!

Kamis, 06 November 2025 - Soffi Amira

MerahPutih.com - Ekonom Achmad Nur Hidayat menilai, kebijakan Presiden RI, Prabowo Subianto, yang akan memanfaatkan hasil sitaan korupsi untuk membayar utang Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) tak semudah membalikkan telapak tangan.

Menurut Achmad, secara kelembagaan, hal itu akan sulit dijalankan.

Ia mencontohkan, uang hasil sitaan korupsi masuk sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan penggunaannya wajib melalui mekanisme APBN. Besarannya pun fluktuatif.

Pada 2024, total setoran KPK dari uang rampasan hanya sekitar Rp 637 miliar, sedangkan kebutuhan cicilan utang Whoosh itu mencapai lebih dari Rp 1,2 triliun per tahun.

Baca juga:

Kasus Dugaan Korupsi Whoosh: KPK Jamin Penyelidikan Tetap Jalan, Tak Ada Intervensi Presiden

“Artinya, bahkan seluruh hasil sitaan pun tidak cukup menutup kewajiban tahunan proyek,” jelas Achmad kepada wartawan di Jakarta, Kamis (6/11).

Menurut Achmad, penggunaan dana sitaan hasil korupsi tanpa aturan khusus berpotensi menimbulkan persoalan tata kelola dan audit.

Ia juga mengingatkan, negara memang boleh kreatif, tetapi kreativitas fiskal tidak boleh melanggar prinsip keberlanjutan.

“Jika sumbernya tidak rutin, risiko fiskal meningkat dan kredibilitas keuangan negara bisa terganggu,” jelas Achmad.

Baca juga:

Presiden Prabowo Pastikan Utang Kereta Cepat Whoosh Dibayar dari Uang Sitaan Korupsi dan Efisiensi Anggaran

Achmad berpandangan, masalah utang Whoosh tidak bisa disembuhkan dengan aliran dana yang sporadis. Kemudian, perlu perbaikan secara menyeluruh dalam desain pembiayaan proyek.

Secara ekonomi, cara tersebut juga rawan menciptakan moral hazard. Jika proyek gagal menghasilkan pendapatan, kemudian diselamatkan dari pos sitaan, pesan yang tersampaikan adalah bahwa proyek besar tak perlu diaudit secara ketat, alias selalu ada “dana ajaib” yang menolong.

“Hal ini bisa menurunkan disiplin fiskal dan menciptakan preseden buruk bagi proyek strategis lainnya,” ujarnya.

Selain itu, Achmad melanjutkan, proyek Whoosh merupakan hasil kerja sama dengan konsorsium China melalui China Development Bank. Kontrak pinjaman bersifat multiyears selama 50 tahun dan ketat.

“Ketidakkonsistenan dalam pembayaran akan berdampak pada reputasi Indonesia di mata investor global,” ungkapnya.

Baca juga:

Pemerintah Harus Bayar Utang Whoosh Rp 1,2 Triliun per Tahun, Pengamat Sebut Bisa Jadi Bom Waktu

Achmad menilai, cara yang paling tepat untuk membayar utang Whoosh tidak lain adalah kreativitas finansial yang dilakukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), karena tanggung jawab soal kereta cepat tersebut berada di bawahnya.

“Penyelesaian terbaik utang Whoosh seharusnya tidak melalui APBN, pajak, atau PNBP sitaan korupsi, tetapi melalui financial creativity. Di sinilah peran Danantara, lembaga pengelola investasi negara (sovereign wealth fund), menjadi kunci,” kata dia.

Achmad menuturkan, Danantara memiliki fleksibilitas untuk melakukan refinancing atau debt restructuring tanpa menambah beban fiskal langsung.

Aset Danantara bahkan termasuk yang terbesar di kawasan Asia Tenggara. Dengan aset sekitar 2 triliun dolar AS, seharusnya persoalan KCJB adalah hal yang mudah.

“Skemanya bisa berupa debt-to-equity swap bersama konsorsium China, perpanjangan tenor, atau penerbitan obligasi infrastruktur berbasis aset proyek,” ujarnya.

Selain itu, monetisasi kawasan sekitar stasiun, transit-oriented development (TOD), hak guna lahan, dan bisnis komersial dapat menciptakan arus pendapatan mandiri.

Inilah bentuk kreativitas fiskal yang sejati, mengubah proyek yang semula membebani menjadi instrumen produktif.

“Bukan sekadar menambal dengan uang sitaan yang datang tak menentu,” tutup pengajar dari UPN Veteran Jakarta ini. (knu)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan