Politisasi Agama, NU DKI Jakarta: Ini Bentuk Intimidasi
Senin, 03 April 2017 -
Dinamika politik lokal jelang pencoblosan putaran kedua Pilgub DKI Jakarta semakin menghangat. Adu gagasan dan program tidak lagi menjadi misi utama untuk menggolkan pasangan yang diusung.
Justru, serangan kampanye hitam dan politisasi agama yang makin marak dipertontonkan.
Pemanfaatan masjid sebagai ruang kampanye politik, merupakan salah satu sisi dari banyaknya dimensi wajah radikalisme agama. Untuk itu, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam moderat sangat menolak bentuk-bentuk radikalisme agama.
Hal ini dinyatakan Wakil Sekretaris PWNU DKI Jakarta Husni Mubarok Amir. Menurutnya, rentetan peristiwa politisasi masjid jelas terlihat dalam peristiwa larangan mensalatkan jenazah pendukung Ahok dan pengusiran Djarot Saiful Hidayat saat haul presiden RI ke-2 Soeharto di masjid At-Tin TMII.
"Radikalisme Agama memiliki banyak wajah, satu diantaranya adalah politisasi rumah-rumah ibadah. Nahdlatul Ulama sebagai salah satu organisasi pendiri negara ini, jelas pada komitmennya, yaitu melawan segala bentuk radikalisme agama yang membuat retak persaudaraan sesama anak bangsa." jelasnya kepada merahputih.com Senin, (3/4).
Ia menambahkan politisasi masjid di saat damai seperti ini merupakan bentuk intimidasi dan menakut-nakuti lawan politik. Padahal, kita hanya menghadapi Pilkada yang berlangsung lima tahun sekali.
"Jangan mengintimidasi, jangan membuat takut orang awam dengan mempolitisasi masjid, dan jangan sekali-kali menggelorakan semangat Jihad di suasana damai seperti saat ini. Kita hanya sedang menghadapi pilkada, bukan sedang perang." tandasnya.
Ia pun menyesalkan peristiwa yang bermuatan politisasi masjid, seperti pengusiran Djarot Saiful Hidayat saat haul Soeharto dan larangan mensalatkan jenazah bagi pendukung Ahok.
"Kita sama-sama berharap peristiwa serupa tidak terulang lagi, bahaya meretakkan persaudaraan sesama anak bangsa," pungkasnya.