Pengamat: Penindakan Penanggulangan Corona Masih Lemah
Selasa, 19 Mei 2020 -
MerahPutih.com - Pengamat militer Muradi menyebut, kebijakan pemerintah dalam menanggulangi pandemi COVID-19 mengalami problematika di lapangan. Khususnya terkait penegakan aturan hukum oleh aparat.
Ia menyebut, sejauh ini, masalah penindakan dalam kebijakan penanganan pandemi COVID-19 masih lemah.
Baca Juga:
"Maka secara legal formal aturannya harus diperkuat agar efektif," ujar Muradi kepada wartawan, Selasa (19/5).
Muradi mengatakan, ada kegamangan terkait aturan UU Karantina Wilayah yang dipakai dalam penanganan COVID-19. Bahkan aparat TNI/Polri serta Satpol PP di lapangan kerap tak bisa menjelaskan karena adanya pertentangan peraturan.
Ia mencontohkan, ketika Satpol PP melakukan pelarangan masyarakat suami-istri duduk berdekatan dalam kendaraan, atau pun masyarakat parkir mobil depan rumah, secara aturan hukum jelas sangat lemah dan dapat diperdebatkan. Tidak ada hukum formal yang mengaturnya.
"Kemudian misalnya aturan tidak boleh mudik, bagaimana aturan formalnya. Tidak jelas," ujar Muradi.
Dia menyebut, pertentangan lebih keras tentu akan terjadi, manakala aturan masyarakat diharuskan diam di rumah saja, tapi tidak punya uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Kalau kebutuhan terpenuhi mungkin tidak jadi masalah. Tapi kalau tidak terpenuhi, dan COVID-19 ini berkepanjangan. Tentu akan jadi masalah besar ke depannya," jelasnya.

Muradi juga mengomentari masalah kerawanan politisasi bansos jelang pilkada. Baginya, esensi penanganan masalah ini adalah pada pengawasan, dan pengawasan itu mestinya di masyarakat.
"Ekses negatif ini tak perlu terjadi kalau masyarakat mengawasi, dan sadar bahwa bansos ini bukan pemberian pejabat tapi memang hak masyarakat," jelasnya.
Soal program asimilasi, bagi Muradi, 90-96 persen berhasil, hanya 3 persen saja yang meleset. Itu pun terjadi kecil-kecil. Seperti maling motor, curi HP, dan kejahatan lainnya yang tidak memiliki daya ledak besar.
Lantas soal update data masyarakat miskin, Muradi mengakui banyak pihak baru paham bahwa updating data dilakukan daerah dan ternyata ada orang sudah meninggal dunia masih dapat jatah.
"Tapi saya melihat hal positif karena dengan adanya COVID-19 kita jadi bisa melakukan update data dengan baik. Orang yang tidak miskin mengaku miskin memang susah diverifikasi, tapi dengan adanya COVID-19 akhirnya kita bisa verifikasi," katanya.
Baca Juga:
Anies Apresiasi Bank DKI Salurkan Rp5 Miliar untuk Tangani Corona
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Indonesia Daisy Indira Yasmine mengingatkan, dampak COVID-19 tidak bisa dibilang sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.
"Dampak COVID-19 meliputi aspek struktural, kultural, dan juga aspek prososial masyarakat. Sangat kompleks dan tidak normal," ujar Daisy Indira Yasmine
Pada aspek struktural, jelas Daisy, COVID-19 membuat kesenjangan sosial makin lebar, PHK di mana-mana, kalangan miskin baru bertambah, masyarakat miskin semakin miskin, sarana produksi terhenti, sedangkan pola hidup konsumtif meningkat.
"Kemudian dalam aspek kultural juga sangat terasa. Sebab COVID-19 ini melahirkan new normal dalam kehidupan kita," papar Daisy.
Ia menyontohkan, pola interaksi masyarakat akan berubah, jarak interaksi antar orang harus 1,5 sampai 2 meter, sarana publik seperti transportasi seperti pesawat, bus, kereta api semua harus menyesuaikan.
"Kabar baiknya adalah, COVID-19 ini membuat kesadaran terhadap kebersamaan dan pola hidup bersih di masyarakat semakin meningkat," jelas Daisy.
Hanya saja, kata Daisy, terjadi pertentangan di tengah-tengah masyarakat.
Sebab secara umum, Daisy menilai masyarakat Indonesia sangat memegang kultur dan budaya.
"Misalnya kebijakan soal larangan mudik lebaran. Sangat sulit sekali melakukan ini karena berkumpul dengan keluarga di saat lebaran sangat dipegang teguh masyarakat kita," jelasnya. (Knu)
Baca Juga: