Orang-Orang Jepang sebelum Menjajah Indonesia, Dari Jadi Tentara Bayaran VOC sampai Pedagang Kelontong
Selasa, 21 Januari 2025 -
MerahPutih.com - Halo, Guys! Kalau membahas sejarah hubungan kita dengan orang Jepang, biasanya kita ingat masa 1942-1945. Di pelajaran sejarah sekolah, periode ini disebut sebagai masa Pendudukan Jepang.
Pada masa inilah orang Jepang datang untuk menjajah kita, mengeruk sumber daya alam demi mendukung mesin militer mereka di Perang Asia Raya atau Perang Pasifik.
Sumber daya manusia Indonesia juga dieksploitasi habis-habisan buat kepentingan Jepang lewat buruh paksaan (romusha) dan pekerja seks paksaan (jugun ianfu).
Meski pendudukan Jepang di Indonesia cuma tiga tahun, dampaknya cukup besar dalam sejarah Indonesia.
Namun ada fakta yang banyak orang enggak tahu. Hubungan kita dengan orang Jepang sebenarnya jauh dimulai sebelum masa Pendudukan Jepang.
Orang Jepang sudah datang ke Indonesia sejak abad ke-17 sebagai tentara bayaran VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) pada masa perdagangan rempah.
Lompat jauh ke akhir abad ke-19, orang Jepang pernah juga jadi pekerja hiburan dan pedagang keliling. Baru pada 1942, mereka datang sebagai tentara dan menjajah.
Nah, bagamana cerita mereka sebelum menjajah Indonesia? Yuk, selami sejarahnya lebih dalam!
Baca juga:
Sejarah Awal Mula Ambisi Jepang di Asia, Perluasan Wilayah ke Selatan yang Bikin Sengsara Indonesia
Tentara Bayaran di Banda dan Maluku
Kita ke Kepulauan Banda dan Maluku pada awal abad ke-17 buat melihat awal kedatangan orang Jepang ke Indonesia. Jejak mereka tercatat dalam arsip-arsip VOC.
Sejak berdiri pada 20 Maret 1602, VOC punya hak istimewa dari pemerintah Belanda, yaitu boleh membentuk tentaranya sendiri buat memuluskan misinya mencari rempah-rempah di Nusantara.
Nah, tentara VOC enggak hanya berasal dari Belanda, tapi juga dari luar Belanda. Salah satunya Jepang.
Saat itu, dari sekian bangsa Eropa, hanya orang Belanda VOC yang punya hubungan dagang dengan Jepang. Itu pun hanya di Pulau Hirado, bagian dari Nagasaki sekarang.

Jepang kala itu berada di bawah rezim Shogun (bos besar) Tokugawa. Untuk menguatkan kekuasaannya, rezim ini membatasi kekuasaan kaisar dan menyingkirkan para tuan tanah (daimyo) yang enggak loyal padanya.
Caranya dengan memerangi mereka, mengambil tanah mereka, lalu menyerahkannya ke daimyo yang loyal pada rezim Tokugawa.
Daimyo punya anak buah yang disebut samurai. Selama daimyo menguasai tanah, samurai itu akan mengikutinya.
Namun kalau daimyo kehilangan tanah, samurai pun enggak bisa lagi bekerja untuknya.
Samurai ini kelas tertinggi dalam struktur masyarakat masa Tokugawa. Keterampilan mereka adalah berperang dan menghunus pedang.
Namun, karena kebijakan rezim Tokugawa yang menyingkirkan daimyo yang enggak loyal, banyak samurai kehilangan pekerjaan. Jumlahnya hampir seratus ribu.
"Banyaknya daimyo yang diusir dari tanahnya serta gugur dalam perang menyebabkan banyak samurai yang menjadi ronin," kata Alam Nur Ikhlas dalam penelitiannya Keterlibatan Beberapa Komunitas Jepang sebagai Tentara Bayaran VOC 1609-1623.
Ronin adalah samurai yang enggak punya tuan dan pekerjaan. Mereka sempat kesulitan cari kerja di luar pekerjaan sebelumnya.
Kalau ingin bekerja sebagai petani atau pedagang, ronin harus merelakan status sosialnya. Sebab petani dan pedagang dipandang lebih rendah daripada samurai.
Nah, para ronin inilah yang kemudian direkrut oleh VOC seizin rezim Tokugawa. Pertimbangannya, ronin punya reputasi sebagai pejuang dan pengalaman bertempur. Bayarannya juga lebih murah daripada tentara Eropa.
"Mereka bisa dihidupi dengan makanan sederhana berupa beras dan ikan asin," kata Hendrik Brouwer, Gubernur Jenderal (pemimpin) VOC dalam suratnya pada 1613, seperti dikutip Adam Clulow, sejarawan dari Columbia University.
Laksamana Pieterszoon Verhoeven yang bekerja untuk VOC, membawa para ronin untuk kali pertama ke Banda, pulau penghasil pala, rempah yang laku di pasaran Eropa, pada 1609.

"Laksamana tersebut memimpin sekurang-kurangnya seribu orang serdadu, sebagian besar orang Belanda, tetapi beberapa di antaranya serdadu bayaran bangsa Jepang," tulis Willard A. Hanna, penulis buku Kepulauan Banda.
Dari Banda, VOC membawa mereka ke Tidore, pulau di Maluku yang menghasilkan cengkeh dan pala. Di sini VOC terlibat pertempuran dengan penguasa lokal demi mendapat rempah.
"Enam puluh delapan rekrutan yang dipekerjakan oleh Brouwer pada tahun 1613 langsung dimasukkan sebagai tentara. Lima puluh dari mereka ikut dalam serangan ke Tidore," tulis Clulow dalam artikel jurnalnya "Unjust, Cruel, and Barbarous Proceedings: Japanese Mercenaries" yang termuat di Itinerario, volume 31, nomor 1, Maret 2007.
Ternyata VOC puas dengan kerja para ronin. Mereka merekrut orang Jepang lebih banyak lagi sebagai tentara bayaran.
Tentara bayaran dari Jepang kemudian terlibat perang bersama VOC menghadapi orang Banda pada 1621.
Namun, pada 1623, mereka malah membelot dari VOC. Mereka bersekongkol dengan orang Inggris EIC (East India Company) buat melawan VOC di Ambon.
Akibatnya, sembilan tentara bayaran Jepang dihukum mati oleh VOC. Sejak itu, VOC meragukan kesetiaan mereka dan mengurangi jumlahnya.
Rezim Tokugawa juga melarang penjualan orang Jepang ke bangsa asing mulai tahun 1621. Sebelumnya, mereka menerapkan politik isolasi (sokaku) dan membatasi hubungan dengan bangsa lain. Dengan begitu, tak ada lagi orang Jepang yang ke Nusantara.
Baca juga:
Perempuan Jepang di Hindia Belanda
Restorasi Meiji atau perubahan besar yang ditandai peralihan kekuasaan dari Shogun Tokugawa ke Kaisar pada 1868 mendorong kedatangan kembali orang Jepang ke Nusantara.
Di bawah rezim Meiji, Jepang membuka diri terhadap dunia luar setelah hidup di dalam tempurung selama 264 tahun.
Restorasi Meiji menyebabkan industri Jepang tumbuh pesat. Pada masa ini, cendekiawan Jepang juga bermunculan.
Cendekiawan memikirkan bagaimana caranya menjual barang hasil industri secara damai. Salah satunya dengan menjualnya ke wilayah lautan selatan (nanyoo), Hindia Belanda, nama lama Indonesia.
Selain itu, cendekiawan mengatakan wilayah selatan sebagai wilayah pengharapan. Gagasan meluaskan ekspansi Jepang ke selatan secara damai disebut nanshin-ron.
"Apabila orang-orang Jepang menghendaki keuntungan yang besar dalam perdagangan, maka disaranken untuk pergi ke daerah selatan," sebut Meta Sekar Puji Astuti dalam buku Orang-Orang Jepang di Indonesia (1868-1942).
Orang-orang Jepang yang hidup di daerah tandus seperti Semenanjung Shimabara dan Amakusa di Pulau Kyuushuu tertarik dengan gagasan ini. Mereka pun mencoba peruntungan ke luar negaranya, menuju Hindia Belanda.
Di Hindia Belanda tahun 1897, tercatat ada 125 orang Jepang yang terdiri dari 25 laki-laki dan 100 perempuan.

Jumlah ini bertambah lagi pada 1909, menjadi 614 orang yang terdiri dari 166 laki-laki dan 448 perempuan.
"Mereka terlibat dalam aktivitas pertanian, perikanan, perdagangan, dan juga dalam improper trades seperti pelacuran dan usaha rumah-rumah bordil," tulis Sri Pangastoeti dalam "Dari Kyuushuu ke Ran'in: Karayuki-San dan Prostitusi Jepang di Indonesia (1885-1920)".
Meskipun dianggap improper trades (perdagangan kurang pantas), bisnis prostitusi dianggap legal oleh pemerintah Hindia Belanda (kolonial). Salah satu pekerja di bidang ini berasal dari Jepang. Mereka disebut karayuki-san.
Menurut Sri Pangastoeti, ada empat faktor pendorong mengapa perempuan Jepang menjadi pekerja seks di Hindia Belanda.
Pertama, kemiskinan di Amakusa dan Shimabara karena faktor alam dan kebijakan Meiji. Kedua, perilaku merendahkan perempuan di Jepang. Ketiga, terpengaruh dengan kisah sukses karayuki-san. Keempat, gagasan perluasan ekspansi ke selatan.
Di Hindia Belanda, karayuki-san bekerja di Medan, Batavia, Semarang, Surabaya, Banjarmasin, dan Makassar. Selama bekerja, karayuki-san kadang mendapat perlakuan baik. Lain waktu harus menerima perlakuan buruk.
Dari pekerjaannya itu, karayuki-san memperoleh upah, lalu mengirimkannya ke keluarga di Jepang.
Upah karayuki-san cukup besar karena disamakan upah pekerja Eropa. Waktu itu, struktur Hindia Belanda dibagi tiga, yaitu orang Eropa, orang Timur Asing, dan pribumi (warga lokal).
Status orang Jepang sejajar dengan orang Eropa. Sedangkan timur asing adalah orang China dan Arab.
Baca juga:
Mengapa Indonesia Disebut Bangsa Pelaut? Ternyata Jawabannya Ada dalam Sejarah
Dari Dagang Kelontongan Bisa Buka Toko
Aktivitas karayuki-san di beberapa kota Hindia Belanda mendorong munculnya lapangan pekerjaan lain bagi orang Jepang, yaitu pedagang keliling.
Mereka awalnya menyediakan kebutuhan karayuki-san di kota besar.
"Aktivitas mereka antara lain sewa-menyewa kamar (sehubungan dengan kegiatan karayuki-san) serta membuka kedai makan yang menyediakan masakan Jepang, membuka salon rambut yang memberikan pelayanan pemasangan sanggul cara Jepang," cerita Meta.
Pedagang keliling orang Jepang ini kemudian enggak hanya di kota-kota besar yang ada karayuki-san, tapi juga sampai ke desa-desa.
Orang Jepang itu memikul pikulan kelontongan yang berisi barang dagangan seperti alat tulis, ikat pinggang, kebutuhan rumah tangga, dan obat-obatan.
Mereka mendapatkan barang-barang itu langsung dari Jepang melalui perusahaan pengimporan Jepang yang membuka cabang di kota-kota besar seperti Surabaya, Batavia, dan Semarang.
Karena tekun dan ulet, beberapa pedagang keliling Jepang berhasil untung. Dari situ, mereka mengubah cara dagangnya jadi toko.
"Pada tahun 1912, pemilikan toko merupakan jenis utama kegiatan perdagangan. Pada tahun 1914 terdapat 74 pemilik toko dan 144 pekerja toko di Jawa," catat Aliana Yusuf dalam penelitiannya Pedagang Jepang di Jawa.

Perubahan cara dagang berpengaruh pula ke perubahan barang dagangan. Toko Jepang lebih banyak menjual barang industri ringan Jepang seperti tekstil, pecah-belah, sikat gigi, makanan kaleng, sabun, paku, pot kembang, jam tangan, dan bohlam listrik.
Toko Jepang juga merekrut warga lokal sebagai pegawainya. Beberapa toko bahkan berani jual barang dengan harga lebih murah dan tanpa tawar-menawar.
Toko Jepang pakai konsep pemasaran yang menghormati pembeli dan pelanggan. Mereka juga memegang etos kaizen atau perbaikan terus-menerus.
Soal hubungannya dengan warga lokal, pemilik toko Jepang rada unik. Secara bisnis, mereka bergaul erat. Tapi di luar bisnis, mereka cenderung tertutup.
Sayangnya, toko Jepang mulai tutup menjelang tahun 1940. Pemerintah Jepang memulangkan banyak warganya akibat ketegangan hubungan Jepang dan Hindia Belanda.
Jadi, guys, siapa sangka, ya, hubungan kita dengan Jepang enggak cuma dimulai dari masa pendudukan? Dari tentara bayaran hingga pedagang klontong, jejak mereka ternyata sudah panjang.
Kalau kamu jadi warlok sebelum masa pendudukan, kira-kira bagaimana sikapmu ke orang-orang Jepang? (dru)
Baca juga: