Menyaring Hubungan Asmara Lewat Aplikasi Kencan Daring
Minggu, 13 Februari 2022 -
THE Tinder Swindler membuat kencan daring jadi bahan pembicaraan populer di media sosial. Pembahasannya meluas dari soal penguatan literasi aplikasi kencan daring, tipu muslihat Simon Leviev, hingga perubahan perilaku berkencan di masa pandemi.
Pandemi, menurut survei Lunch Actually bertajuk Lunch Actually Annual Dating Survey 2021, mengubah cara para jomlo memulai hubungan dengan orang baru melalui sarana kencan daring. Sekira 54 persen jomlo +62 mencoba atau menjajaki kencan vitual ketika pandemi.
Baca juga:
Perempuan di 'The Tinder Swindler' Galang Dana untuk Lunasi Utang
Pengaruh pembatasan sosial membuat orang beralih membuka hubungan percintan melalui aplikasi kencan daring dari rumah masing-masing. Tak heran bila muncul seloroh mencari teman kencan serupa memesan makanan di aplikasi antar online, sama-sama tinggal swipe. Bahkan, orang jauh lebih picky memilih makanan ketimbang menggeser foto profil lawan jenis di aplikasi kencan daring.
Di tiap masa, kencan punya makna berbeda-beda. Menurut buku Encyclopedia of Gender and Society Vol.1 karya Jodi O'Brien, konsep berkencan dimulai pada pergantian abad ke-20. Makna kencan dimaksud tak sesederhana dengan pemahaman banyak orang di masa kini.

Sebelum awal 1900-an, berkencan jadi hubungan sangat pribadi. Alih-alih disebut dating, istilah paling populer tak lain courtship. Istilah courtship merujuk kepada konsep berkencan tidak bebas dan sangat dicampuri orangtua. Perempuan bahkan harus didampingi orangtuanya ketika bertemu dengan beberapa calon pasangan kemudian akan diseleksi bersama-sama berdasarkan status sosial dan keuangan.
Dikutip dari buku From Front Porch to Back Seat: Courtship in Twentieth-Century America karya Beth L. Bailey, istilah gentleman pun baru tercetus pada dekade pertama abad ke-20. Jika laki-laki tertarik dengan satu perempuan, maka ia akan melakukan protokol tepat untuk menyatakan perasaannya dengan cara mendatangi rumah keluarga sang perempuan dan berharap disambut dengan baik.
Baca juga:
Jika laki-laki tersebut sudah sesuai dengan kriteria dari keluarga perempuan, maka kegiatan pacaran bisa dilakukan namun bukan makan malam romantis berdua atau nge-room. Biasanya mereka akan bertemu di pertemuan sosial atau di rumah, tentunya dengan pengawasan ketat orang tua. Jika hubungan mereka mendapatkan restu, maka orangtua perempuan akan mengundang laki-laki untuk pertemuan berikutnya. Pada dasarnya, courtship lebih pada mencari pasangan sepadan, berharap cinta akan bersemi seiring dengan waktu.
Sekitar era 1920-an, konsep berkencan berubah. Berkencan tak perlu lagi didampingi, dan istilah courtship sudah beralih ke going out. Laki-laki dan perempuan memilih sendiri pasangan mereka. Waktu kencan pun biasanya ditentukan laki-laki karena mereka berkewajiban untuk membayar setiap tagihan ketika berkencan.

Pada 1960-an, makna kenca berubah lagi. Semangat Rock 'n' Roll mulai digandrungi anak muda. Bersamaan dengan itu muncul masa kontra perang Vietnam di AS sehingga membuat anak muda semakin rebel. Makna kencan secara sederhana berpadanan dengan kebebasan. Dari situ konsep hook up tercipta, sehingga menjadi akar dari konsep friends with benefit nan akrab dikenal di era kencan daring.
Dilansir dari eHarmony, kencan daring sebenarnya sudah ditemukan jauh sebelum internet bisa diakses semua orang. Perkencanan melalui komputer tersebut sudah ditemukan dua mahasiswa Harvard University pada 1965 dengan nama Operation Match dengan tujuan memudahkan anak muda berkencan.
Ketika internet baru bisa diakses semua orang pada 1991, tak lama kemudian lahir skema kencan daring. Masa awal kencan daring dimulai ketika match.com (1995), Craiglist (1995) sebenarnya website untuk iklan tetapi digunakan juga untuk "mengiklankan diri untuk berkencan", dan OkCupid (2004).

Sekitar 2015, generasi Z mulai menggunakan aplikasi kencan daring namun masih dilakukan di ruang tertutup. Para penggunanya masih cenderung malu menggunakannya karena dianggap aneh. Dari situ muncul pula konsep friends with benefit (FWB) meski dianggap tidak "beneficial" bagi perempuan.
Dua tahun kemudian, generasi muda sudah mulai terbuka dengan konsep perkencanan digital. Saking terbukanya pemikiran mereka dengan konsep perkencanan baru, tidak sedikit pengguna aplikasi kencan menggunakan Bio Profil sangat template seperti "i am an open-minded person". Tidak hanya Tinder, berbagai aplikasi terkenal lainnya seperti Bumble dan Coffee Meets Bagel juga marak digunakan, dan setiap pemilihan aplikasi menentukan hubungan romansa seperti apa diinginkannya.
Ada beberapa aplikasi tertentu memang lebih banyak menciptakan hubungan FWB berhasil. Ada pula aplikasi lebih ditujukan bagi mereka ingin mencari pasangan serius, serta aplikasi hanya digunakan untuk mencari teman atau koneksi saja.
Menurut laporan dari Tinder: The Future of Dating, lebih dari setengah pengguna Tinder pada 2020 dan 2021 di seluruh dunia merupakan generasi Z berusia 18 sampai 25 tahun. Tidak hanya untuk mencari pasangan atau kehangatan, aplikasi kencan daring tersebut semakin marak digunakan ketika pandemi COVID-19 melanda, meski mereka sudah memiliki pasangan.

Berbagai kematian, kehilangan, dan rasa kesepian disebabkan pandemi berhasil menciptakan new normal dalam berkencan. Kencan bukan lagi harus melalui proses panjang, tetapi lebih bergantung pada ke mana arah angin akan membawa.
Segala keinstanan dari aplikasi kencan daring tak selalu buruk. Tidak sedikit orang berhasil bertemu dengan jodohnya dan beranjak ke pelaminan. Di sisi lain, banyak juga orang ditipu karena cinta, dan tayangan dokumenter Tinder Swindler menjadi bukti nyatanya.
Hadir di tengah-tengah, ada juga kaum jomlo tetap kesulitan mendapatkan pasangan meskipun sudah menggunakan Tinder Gold.
Pada dasarnya, platform hanyalah sebuah wadah diharapkan bisa memudahkan manusia untuk bertemu dan berinteraksi. Kepribadian, keotentikan, dan chemistry masih menjadi hal terdepan dalam menentukan cocok-cocokan pasangan. Jadi, sudahkah kamu swipe kanan hari ini? (SHN)
Baca juga:
Dari Mana Sumber Cuan Raffi-Nagita The Sultans of Contens Versi Forbes Indonesia