Mengapa Indonesia Punya Banyak Pahlawan Nasional? Sejarah Pemberian Gelar Pahlawan dan Kontroversi Panasnya

Rabu, 11 Juni 2025 - Hendaru Tri Hanggoro

MerahPutih.com - Halo, Guys! Pernah dengar gelar Pahlawan Nasional enggak? Itu lho, gelar khusus yang diberikan oleh pemerintah kepada orang-orang yang dianggap berjasa pada bangsa dan negara.

Biasanya, nih, pemberian gelar Pahlawan Nasional diumumkan tiap November, menjelang Hari Pahlawan tanggal 10. Tiap tahun, pemerintah bisa mengumumkan dua atau tiga nama yang menerima gelar itu.

Sebelumnya, nama-nama itu telah melalui penyeleksian panjang.

Menurut laman kemensos.go.id, proses itu dimulai dari tingkat daerah oleh individu yang punya hajat atau keinginan mengajukan usulan nama, lalu nama itu diajukan ke bupati, walikota, atau gubernur.

Para pemimpin daerah kemudian mengajukannya ke instansi di bidang sosial provinsi agar dibuatkan Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD).

Kemudian TP2GD menggelar kerja-kerja ilmiah seperti penerbitan buku dan seminar untuk membuktikan nama tersebut layak diberi gelar Pahlawan Nasional.

Lalu karya-karya itu diteruskan kepada Menteri Sosial dan Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) untuk diverifikasi dari sisi administrasi kelengkapan berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang gelar tanda jasa dan tanda Kehormatan, serta PP Nomor 35 tahun 2010 pelaksanaan gelar tanda jasa dan kehormatan.

Barulah hasil itu dibawa ke Presiden sebagai rekomendasi.

Panjang banget ya?

Meski panjang, hingga hari ini masih banyak individu dan kelompok masyarakat yang mengajukan usulan nama agar ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Terbaru, nama mantan Presiden Soeharto diajukan sebagai calon Pahlawan Nasional. Karuan usul itu menuai kontroversi.

Sebab beberapa kalangan, terutama dari aktivis Hak Asasi Manusia, menganggap Soeharto bertanggung jawab terhadap sejumlah kejahatan pelanggaran HAM berat selama dia berkuasa 32 tahun.

Sebenarnya bagaimana sih gelar Pahlawan Nasional bermula? Dan mengapa gelar ini jadi penting bagi banyak orang? Lalu berapa Pahlawan Nasional yang Indonesia punya?

Nah, mari simak penjelasannya di bawah ini.

Ide Awal Gelar Pahlawan

Pemberian gelar pahlawan bermula pada dekade 1950-an. Kala itu, Presiden Sukarno kerap berpidato mengulang-ulang perlunya mengingat jasa-jasa pahlawan.

Dalam sebuah pidato peringatan Hari Pahlawan tahun 1952, Sukarno menceritakan pertemuannya dengan sejumlah orang, beberapa tahun sebelum 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.

Rombongan itu menghadap Sukarno buat meminta kesediaannya agar Negara meresmikan 10 November sebagai Hari Pahlawan. Ia langsung mengiyakannya.

"Kami yakin amal pahlawan-pahlawan 10 November ini harus dihargakan sepanjang masa," kata Sukarno dalam pidato berjudul "Selesaikan jang Ketjil, Hadapi jang Besar".

Sukarno, Hatta, dan Jenderal Soedirman di Hari Pahlawan 10 November
Presiden Sukarno menghadiri peringatan Hari Pahlawan 10 November bersama Mohammad Hatta dan Jenderal Soedirman. (Foto: Perpusnas)

Melalui pidato itu, Sukarno juga merumuskan siapa itu pahlawan.

"Pahlawan adalah orang yang dengan membelakangkan kepentingan sendiri, membela kepentingan umum. Berjuang untuk kepentingan umum, bekerja untuk kepentingan umum, menderita untuk kepentingan umum. Kalau perlu mati untuk kepentingan umum. Itulah isi jiwa pahlawan," sebut Sukarno.

Enggak cukup hanya menetapkan Hari Pahlawan, Sukarno juga kepikiran buat menetapkan siapa saja yang layak dianggap pahlawan secara resmi oleh negara.

Sukarno lalu memperkenalkan istilah Pahlawan Kemerdekaan Nasional untuk orang-orang tertentu yang dianggap berjasa menentang penjajahan. Secara formal, penjelasan dan kriteria Pahlawan Kemerdekaan Nasional tertuang dalam Keputusan Presiden No 241 Tahun 1958.

Siapa Pahlawan Itu?

"Seseorang yang masa hidupnya, karena terdorong oleh rasa cinta tanah air sangat berjasa dalam memimpin suatu kegiatan yang teratur guna menentang penjajahan di Indonesia," tulis Keppres tersebut.

"Melawan musuh dari Luar Negeri ataupun sangat berjasa baik dalam lapangan politik, ketatanegaraan, sosial ekonomi, kebudayaan, maupun dalam lapangan ilmu pengetahuan yang sangat erat hubungannya dengan perjuangan kemerdekaan dan perkembangan Indonesia."

Setahun setelah Keppres keluar, Abdul Muis (1883-1959) dinobatkan sebagai orang pertama yang menyandang gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Ia adalah penulis dan anggota terpandang Sarekat Islam.

Namun, "Tidak ada alasan jelas mengapa Abdul Muis dipilih sebagai Pahlawan Nasional yang pertama," sebut Klaus H. Schreiner dalam "Penciptaan Pahlawan-Pahlawan Nasional dari Demokrasi Terpimpin sampai Orde Baru" yang termuat di buku Outward Apperances: Trend, Identitas, Kepentingan.

Pahlawan Kemerdekaan Nasional pertama, Abdoel Moeis
Lukisan wajah Abdul Muis, orang Indonesia pertama yang ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. (Foto: Perpusnas)

Sebenarnya penetapan Pahlawan Kemerdekaan Nasional kala itu punya prosedural yang rapi, mirip prosedur hari ini.

Orang dan badan yang ikut berembug dalam penentuan gelar itu adalah warga, bupati, gubernur, Badan Pembina Pahlawan Daerah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Sosial, militer, Badan Pembina Pahlawan Pusat, dan Presiden.

Namun, kala Sukarno berkuasa selama Demokrasi Terpimpin (1959-1966), ia punya peran besar dalam menentukan pahlawan.

"Sukarno sering menggunakan hak istimewanya sebagai presiden untuk mengusulkan kandidat-kandidat pahlawan dan untuk menyatakan mereka sebagai pahlawan tanpa pertimbangan atau persetujuan sebelumnya oleh komite yang berwenang," tambah Schreiner.

Pemberian gelar pahlawan masa ini mengikuti pandangan Sukarno tentang Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom).

Orang-orang yang diberi gelar pahlawan adalah wakil dari aliran-aliran tersebut. Keputusan ini menjadi sebentuk politik merangkul orang-orang dari tiga aliran tersebut.

Meski gelar pahlawan enggak menekankan pada latar kedaerahan, kebanyakan pahlawan berasal dari Jawa. Dari 49 pahlawan yang ditetapkan, 36 pahlawan berasal dari Jawa.

Sukarno juga meluaskan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional untuk orang-orang yang berjuang sebelum abad ke-20.

Orang-orang itu hidup sebelum konsep negara-bangsa Indonesia dikemukakan, didiskusikan, dan ditegaskan. Misalnya lewat organisasi pergerakan nasional dan Ikrar Pemuda 1928.

Nama-nama yang mendapat gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional meski hidup sebelum gagasan ke-Indonesia-an berkembang adalah Si Sisingamangaraja (yang hidup pada 1849-1907), Cut Meutia (1870-1910), Cut Nyak Dien (1850-1908), dan Pakubuwono Vi (1807-1849).

Setelah kuasa Sukarno berakhir pada 1966, Presiden Soeharto mengambil-alih politik pemberian gelar Pahlawan Nasional.

Era ini ditandai dengan pemberian gelar pahlawan untuk para jenderal dan polisi korban G-30S. Mereka disebut sebagai Pahlawan Revolusi.

Gelar itu sebenarnya diberikan oleh Sukarno demi menjaga kekuasaaannya dari serangan kelompok anti-Komunis, tapi Soeharto memberikan makna baru pada gelar tersebut dengan melekatkannya pada cita-cita pemerintahan barunya yang disebut Orde Baru.

Orde Baru dan Pahlawan Versi Soeharto

Pahlawan Revolusi menjadi gambaran ideal Orde Baru tentang seperti apa seharusnya pahlawan. Ia adalah sosok yang setia pada Pancasila, antikomunis (pihak yang dianggap paling bertanggung jawab dalam G-30S menurut Soeharto), dan berkorban demi negara.

Karena itulah, Orde Baru memperkuat gagasannya tentang citra ideal Pahlawan Revolusi melalui pembangunan Monumen Kesaktian Pancasila di tempat para jenazah korban G-30S ditemukan.

Sebagai penanda era yang berbeda dari Demokrasi Terpimpin, Orde Baru mengembalikan penetapan gelar pahlawan kepada lembaga yang berwenang.

"Suharto hanya satu kali mengabaikan prosedur-prosedur formal dan secara spontan mengangkat Menteri Dalam Negeri Basuki Rachmat sebagai Pahlawan Nasional pada hari kematiannya," terang Schreiner.

Soeharto meresmikan tugu Pahlawan tak dikenal di Kalibata
Presiden Soeharto meresmikan monumen baru Indonesia untuk "Pahlawan Tak Dikenal" di permakaman Kalibata. (Foto: Nationaal Archief)

Basuki Rachmat adalah karib dekat Soeharto yang membantunya mendapat kekuasaan melalui Surat Perintah Sebelas Maret 1966. Ia wafat pada 8 Januari 1969.

Selama Orde Baru, nama Pahlawan Kemerdekaan Nasional enggak dipakai lagi, diganti jadi Pahlawan Nasional.

Perubahan lain pemberian gelar pahlawan pada masa Orde Baru menyentuh pula perluasan masa perjuangan orang yang mendapat gelar tersebut dan ketersebaran wilayahnya.

Beberapa tokoh yang hidup sebelum abad ke-20 menjadi Pahlawan Nasional. Diantaranya Sultan Hasanuddin (Sulawesi Selatan), Imam Bonjol (Sumatera Barat), Pangeran Diponegoro (Jawa Tengah), Sultan Agung (Mataram Islam), dan Kapitan Pattimura (Maluku).

"Keseluruhan sejarah hubungan antara rakyat Indonesia dan Belanda dikonseptualisasi sebagai suatu sejarah perjuangan antikolonial yang berpuncak pada kebangkitan rezim Orde Baru," ungkap Schreiner.

Kuasa Orde Baru tumbuh dan berkembang dari kendali yang kuat atas gagasan dan pikiran tokoh-tokoh yang dianggap berbahaya bagi rezim ini meskipun tokoh tersebut sudah lama mati.

Salah satu tokoh tersebut adalah Sukarno.

Sejak kekuasaannya berdiri, Soeharto mulai mengecilkan peran, pikiran, dan jasa Sukarno. Tujuannya agar pemerintahannya bisa diterima dan didukung oleh rakyat.

Setelah 16 tahun kematian Sukarno, Orde Baru mulai memperkenankan kenangan publik atas Sukarno terbuka kembali secara terbatas. Caranya dengan menganugerahkan gelar Pahlawan Proklamator kepada Sukarno dan Hatta.

Gelar Pahlawan Proklamator, bukan Pahlawan Nasional, dapat dilihat sebagai upaya Orde Baru membatasi peran historis kedua tokoh ini, terutama Sukarno, hanya pada masa perumusan naskah Proklamasi saja.

Soeharto memandang penganugerahan gelar Pahlawan Nasional sebagai bagian tak terpisahkan dari indoktrinasi gagasannya tentang negara dan masyarakat ideal menurut Orde Baru.

Indoktrinasi bahkan dilakukan kepada kelompok paling muda, yaitu anak-anak sekolah. Contohnya ritualisasi upacara dan mengheningkan cipta untuk pelajar tiap 10 November.

Bagi masyarakat yang lebih luas, indoktrinasi dilakukan melalui slogan-slogan, perlombaan, dan pembangunan Taman Makam Pahlawan di Kalibata, Jakarta, yang kelak diisi oleh acara renungan suci tiap malam 10 November.

Tradisi baru juga mulai diberlakukan. Penetapan pahlawan diumumkan tiap November.

Kenapa Soeharto Jadi Kontroversi

Meski sepanjang berkuasa Soeharto berusaha menekan banyak gagasan dan kelompok yang berlawanan terhadap rezimnya, ia tetap bisa jatuh dari kursi kuasanya pada 1998 karena gerakan Reformasi.

Soeharto pun menjadi pesakitan. Ia dianggap pemimpin brutal, otoriter, diktator, dan pelanggar HAM oleh kelompok prodemokrasi.

Namun, 10 tahun setelah Reformasi, enggak lama setelah Soeharto meninggal pada 27 Januari 2008, usulan pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional mulai muncul.

Karuan saja usulan ini mendapat tentangan keras dari pejuang Reformasi karena menilai Soeharto penuh darah.

Demo anti-Soeharto di Amsterdam tahun 1970
Demo anti-Soeharto di Amsterdam, Belanda, pada 1970-an karena Presiden Indonesia itu dianggap berkuasa di atas pembantaian orang-orang tak bersalah setelah G30S. (Foto: Nationaal Archief)

Sebaliknya, para pendukung Soeharto mendorong usulan ini agar gol lantaran menganggap Soeharto punya jasa besar untuk negeri.

Inilah kali pertama penentuan gelar Pahlawan Nasional mengundang perdebatan panas. Era sebelumnya, perdebatan nyaris sunyi-senyap saja.

"Adanya kontroversi atas pengusulan calon pahlawan atas nama Suharto ini memberi gambaran bahwa pemberian gelar ini tidak hanya melibatkan negara sebagai pemberi gelar yang dianggap mempunyai kekuasaan," tulis Emmi Destiatmi dalam tesisnya, Pahlawan Nasional dan Negosiasi Kekuasaan.

Hingga hari ini, perdebatan soal layak atau enggaknya Soeharto dapat gelar Pahlawan Nasional masih berlangsung. Sementara tiap tahun jumlah Pahlawan Nasional terus bertambah.

Tahun 2025 ini, Indonesia sudah punya lebih dari 200 Pahlawan Nasional.

Kalau zaman sekarang, siapa sih yang bisa disebut pahlawan menurut kalian? Apakah orang yang dianggap pelanggar HAM berat layak jadi pahlawan? (dru)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan