LMKN Dikritik Tak Punya Arah Jelas, DPR Pertanyakan Potensi Royalti Nasional dan Nilai yang Dilaporkan

2 jam, 22 menit lalu - Angga Yudha Pratama

Merahputih.com - DPR RI mengkritik secara konstruktif Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) terkait tata kelola royalti musik di Indonesia. Kritik tersebut mencakup mandat kelembagaan, progres pembangunan Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM), hingga maraknya somasi terhadap pelaku usaha.

Dalam Rapat Kerja Baleg di Gedung Nusantara, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (27/11), Anggota Baleg DPR RI, Yanuar Arif Wibowo menegaskan bahwa LMKN belum menjalankan tugas utama yang diamanatkan dalam Peraturan Pelaksana, yaitu pembangunan SILM.

“LMKN ini tugasnya cuma tiga, yaitu memungut, menghimpun, dan mendistribusikan. Tapi tugas utama yang mandatori dalam PP, yakni pembangunan SILM, justru tidak muncul dalam paparan ini. Saya cari beberapa kali, tidak ada kata SILM sama sekali,” ujar Yanuar dalam keterangannya, Jumat (28/11).

Yanuar menegaskan, ketiadaan sistem informasi terpadu ini menjadi indikator lemahnya fondasi pengelolaan royalti dan akan terus menimbulkan kegaduhan, khususnya bagi UMKM, industri perhotelan, hingga sektor komersial yang memanfaatkan karya musik.

Baca juga:

Kisruh Royalti Lagu, Pelaku Usaha dan Seniman Desak DPRD Solo Bubarkan LMKN

Sorotan Somasi dan Mekanisme Royalti yang Tidak Relevan

Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Baleg DPR RI dengan LMKN ini digelar dalam rangka harmonisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Politisi Fraksi PKS tersebut juga secara tegas mempertanyakan dasar hukum LMKN melakukan somasi kepada pelaku usaha seperti kafe atau hotel. Ia menekankan perlunya kejelasan atribusi kewenangan lembaga, mengingat Undang-Undang Hak Cipta adalah ranah keperdataan antar pihak, jauh dari aspek pidana.

“Apa dasar LMKN melakukan somasi? Siapa yang memberikan mandat? Sementara Undang-Undang Hak Cipta itu ranahnya keperdataan antar para pihak, jauh dari aspek pidana. Pidana pun hanya untuk pembajakan,” tegasnya.

Yanuar menilai tindakan somasi tersebut berpotensi menimbulkan ketakutan bagi UMKM. Oleh karena itu, ia mendesak agar moratorium somasi yang telah disepakati harus benar-benar diimplementasikan hingga revisi UU Hak Cipta rampung.

Selain itu, ia mengkritisi mekanisme penarikan royalti yang didasarkan pada jumlah kursi (seat-based charging), yang dinilai tidak lagi relevan di era digitalisasi. Ia berpendapat bahwa SILM seharusnya menjadi alat perhitungan yang lebih presisi.

Ia juga mempertanyakan peran LMKN apabila terjadi hubungan keperdataan langsung antara pencipta dan pengguna, mencontohkan kasus pencipta yang membebaskan lagunya untuk diputar.

Usulan Pembentukan Badan Khusus Royalti di Bawah Negara

Baca juga:

Tata Kelola Aturan Royalti Musik Diperkuat, Biaya Operasional LMKN Hanya 8 Persen

Melihat kompleksitas persoalan, Yanuar mengajukan gagasan perlunya pembentukan badan khusus di bawah negara untuk mengelola royalti secara transparan, adil, dan memberikan kepastian hukum.

Ia menyebut bahwa jika pembangunan SILM membutuhkan biaya besar, negara harus turun tangan. Badan baru ini berpotensi menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mengelola pendaftaran hak cipta, proses transaksi, performa, hingga distribusi royalti.

Revisi UU Hak Cipta wajib memberikan rasa keadilan bagi semua pihak dalam ekosistem musik nasional dan mendesak LMKN untuk segera memperbaiki tata kelola internal.

“Nah ini jadi catatan kita semua. Banyak pihak mengeluh: pencipta, performer, produser. Semoga dalam perumusan lebih detail nanti kita bisa lebih tajam,” tutupnya.

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan