Ketika Cairan Infus Bung Karno Dilepas

Rabu, 20 Juni 2018 - Noer Ardiansjah

RABU, 4 Agustus 1965 Bung Karno terjatuh, ambruk, di kamarnya, areal Istana Merdeka, Jakarta. Seisi istana panik. Beberapa dokter ahli dihadirkan ke istana. Tak lama berselang, sejumlah kabar menyebutkan Bung Karno kena serangan stroke.

Peristiwa ambruknya Bung Karno sempat melahirkan berbagai rumor. Ada pula spekulasi mengatakan Bung Karno tidak akan mampu menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus 1965. Bung Karno lantas dibawa ke Istana Bogor untuk beroleh perawtan intensif.

Kondisi Bung Karno sebelum ambruk di Istana Negara, Jakarta. (Foto: Anefo)

Memburuknya kesehatan Bung Karno ternyata juga memperpanas konstelasi politik nasional pada saat itu. Perang dingin antara Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menginginkan segera dibentuk angkatan kelima Indonesia dan TNI Angkatan Darat. Ditambah kehadiran tim dokter dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang membantu pengobatan Bung Karno. Betapa tidak, RRT dianggap sebagai sponsor utama ide angkatan kelima yang berpolemik itu.

Di tengah suhu politik yang semakin panas, Bung Karno kembali muncul pada peringatan detik-detik proklamasi ke-20 di Istana Merdeka. Dia hadir lengkap dengan pakaian kebesaran dan tongkat komando yang seakan tak pernah lepas dari genggaman.

Namun, pada Maret 1967, Bung Karno dilengserkan. Jenderal Soeharto didapuk sebagai presiden Indonesia. Sejak itu, Bung Karno dikucilkan dan dilarang menginjakkan kaki di Jakarta. Setahun kemudian, Soeharto dilantik sebagai presiden. Awal April 1968, Bung Karno angkat kaki meninggalkan Istana Bogor.

Presiden RI Sukarno bersama Jenderal Soeharto. (Foto: Teguhtimur.com)

Bapak Proklamator Bangsa itu pun mengungsi ke Batu Tulis, Bogor. Namun, dinginnya udara Bogor kala itu membuat kesehatan Bung Karno tak kunjung membaik. Reumatik yang dialaminya kian parah. Setiap hari, Presiden pertama Indonesia itu diserang rasa sakit berlipat-lipat.

Tak tahan dengan kondisi demikian, ia mengutus Rachmawati Soekarnoputri ke Jakarta. Kehadiran Rachma untuk menyampaikan surat permohonan kepada Soeharto agar Bung Karno diperbolehkan kembali ke Jakarta. Gayung pun bersambut.

Beberapa bulan kemudian, Bung Karno kembali menginjakkan kaki di Jakarta, tepatnya di Wisma Yasso, Jalan Jenderal Gatot Subroto. Di Wisma Yasso, rumah Dewi Soekarno yang kini menjadi Museum Satria Mandala itu, Bung Karno dijaga ekstra ketat siang dan malam.

"Ada satu periode di mana kami, anak-anaknya, tak boleh bertemu dengan beliau. Begitu juga dengan kerabat keluarga yang lain. Tetapi ada satu periode di mana saya bisa menjenguk Bapak tiga hingga empat kali dalam seminggu," kata Rachma seperti yang dikutip dari Rakyat Merdeka, 12 Mei 1996.

Rachmawati Soekarnoputri. (Foto: Eramuslim.com)

Tanggal 6 Juni 1970, bertepatan dengan hari ulang tahun Bung Karno yang ke-69, Rachma dan Guruh menjenguk Bung Karno di Wisma Yasso. Rachma masih ingat, saat itu Bung Karno tengah berbaring di sofa. Sekujur tubuhnya bengkak. Suaranya sudah tak jelas lagi. Begitu juga dengan pandangan matanya.

"Sakit ginjal yang diderita Bapak tak pernah diobati secara layak," kata Rachma. Dalam kunjungan itu, Rachma memotret Bung Karno. Foto itu kemudian diberikan Rachma kepada seorang jurnalis kenalannya. Foto itu pula yang akhirnya membuat Rachma mesti berurusan dengan Corps Polisi Militer (CPM).

"Mengapa saya tak boleh memotret BK. Memang status BK apa," kata Rachma ketika diinterogasi. Tak disangka, jawaban sang pejabat CPM begitu menyakitkan Rachma. Kata pejabat CPM, seperti yang dituturkan Rachma, Bung Karno seorang tahanan.

Beberapa hari setelah kunjungan Rachma dan Guntur, Bung Karno dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Nahas, kesehatannya semakin memburuk.

Minggu, 21 Juni 1970, sekitar pukul 04.30 WIB, pihak RSPAD menghubungi Rachma. Dia diminta segera ke RSPAD menemui Bung Karno. Sekitar pukul 07.00 WIB, Rachma dan saudara-saudaranya dipersilakan memasuki ruang rawat Bung Karno.

Peti jenazah Bung Karno. (Foto: suciptoardi.wordpress.com)

Alat bantu pernapasan dan cairan infus telah dilepas. Bung Karno semakin lemah. Matanya tertutup rapat, napasnya tersengal. Tak lama, malaikat maut menjemput sang proklamator itu. Indonesia pun berduka. Gemuruh kesedihan golongan Marhaen menggema di setiap sudut Indonesia.

Bagikan

Baca Original Artikel

Berita Terkait

Bagikan