Kehidupan Ekonomi Masa Demokrasi Terpimpin, Rakyat Antre Berjam-Jam Demi Dapat Barang Pokok

Kamis, 06 Februari 2025 - Hendaru Tri Hanggoro

MerahPutih.com Halo, Guys! Pernah merasakan antre berjam-jam lamanya cuma buat memperoleh barang atau jasa yang kamu butuhkan?

Misalnya yang terjadi pada awal Februari 2025 ini. Kamu diminta membeli gas LPG 3 kilogram. Tapi gas itu langka dan hanya tersedia di sedikit tempat.

Atau bayangkan situasi saat kamu harus mengantre berobat di rumah sakit dan terdaftar sebagai pasien BPJS.

Kamu datang sedari pagi, tapi baru dapat giliran dilayani dokter menjelang siang. Untung badanmu enggak tambah semaput.

Situasi ini mungkin terasa sangat familiar dan enggak enak, kan?

Nah, tahu enggak sih bahwa masalah-masalah kayak begini kerap berulang di beragam zaman dan berkaitan dengan kelangkaan barang atau jasa, yang sumbernya dari kekacauan tata kelola ekonomi negara.

Antrean mendapatkan barang atau jasa kebutuhan pokok pernah pula terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966).

"Orang-orang mulai mengantre untuk mendapatkan kebutuhan hidup mereka sehari-hari, seperti minyak tanah, minyak goreng, beras, gula dan sebagainya di toko-toko--dikenal dengan toko sandang pangan--yang dijatah pemerintah," kenang Firman Lubis, seorang yang mengalami masa itu, dalam buku Jakarta 1950-1970-an.

Nah, antrean itu adalah indikator dari kekacauan ekonomi. Kenapa ya bisa kacau? Yuk kita telusuri lebih jauh.

Baca juga:

Menelusuri Sejarah Demokrasi Terpimpin dan Dampaknya bagi Indonesia, Dari Pembangunan Jakarta Sampai Keterlibatan Militer dalam Politik

Apa Itu Ekonomi Terpimpin?

Enggak lama setelah mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Sukarno merumuskan cita-cita revolusi Indonesia. Tujuannya mencapai masyarakat yang adil dan makmur.

Sukarno yakin tujuan itu bisa tercapai kalau Indonesia menerapkan Ekonomi Terpimpin.

Sebenarnya Sukarno pernah bilang dirinya enggak mengerti apa-apa tentang ekonomi. Itu dikatakan Sukarno kepada Profesor Jan Tinbergen dari Belanda yang beberapa kali bertandang ke Indonesia buat memberikan saran kepada pejabat yang mengurusi ekonomi.

Namun, Frans Seda, mantan Menteri Perkebunan 1963—1964, dalam “Bung Karno dan Sistem Ekonomi Nasional”, mengatakan bahwa Sukarno punya gagasan berbobot tentang ekonomi.

Sukarno merumuskan gagasan Ekonomi Terpimpin
Sukarno berceramah tentang Demokrasi Terpimpin di Istana Negara, 5 April 1959. (Foto: ANRI)

“Pengetahuan Bung Karno tentang ekonomi seperti yang terbaca dalam tulisan-tulisan, pidato-pidato, pledoi baik dalam polemik masyarakat maupun di depan pengadilan kolonial adalah berbobot,” cerita Frans Seda.

Dalam pidatonya pada 17 Agustus 1959 yang berjudul "Penemuan Kembali Revolusi Kita", Sukarno menggagas konsep Ekonomi Terpimpin.

Gagasan Ekonomi Terpimpin keluar bareng dengan gagasan kembali ke UUD 1945, Sosialisme a la Indonesia, Demokrasi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional.

Kelima gagasan itu dikenal dengan USDEK.

Sesuai dengan gagasan Demokrasi Terpimpin yang diarahkan oleh Sukarno, maka ekonomi pun harus sesuai dengan keinginannya.

Secara ringkas, ekonomi terpimpin meletakkan negara sebagai pelaku utama produksi, distribusi, konsumsi, dan akumulasi modal. Ekonomi Terpimpin juga mensyaratkan perencanaan ekonomi.

Ekonomi Terpimpin versi Sukarno, yang disebut juga sosialisme ala Indonesia, mempunyai sejumlah kekhasan.

“Ia bersendikan pada kepribadian Indonesia. Kepribadian Indonesia itu adalah gotong royong yang merupakan hasil dari perahan sila-sila Pancasila yang dijalankan secara musyawarah dan mufakat untuk mencapai kesejahteraan bersama,” tulis Amirudin dalam Ekonomi Berdikari Sukarno

Kekhasan lain Ekonomi Terpimpin berupa semangat antiimperialisme dan antifeodalisme (penekanan berlebihan pada atasan dan kelompok tertentu).

Imperialisme dan feodalisme adalah dua hal yang menopang berdirinya ekonomi kolonial ketika Indonesia masih dijajah Belanda.

Dalam sistem ekonomi kolonial, sektor perkebunan mendominasi ekonomi Indonesia dengan menggunakan tenaga kerja murah demi keuntungan besar yang mengalir keluar negeri. Ingat kan masa Tanam Paksa?

Ekonomi kolonial bergantung pada pasar ekspor komoditas yang sedikit dan pada pasang-surutnya pasar dunia. Selama bergantung pada dua tersebut, sepanjang itulah ekonomi Indonesia enggak pernah bisa mandiri dan teguh

Sukarno melihat bahwa Indonesia harus keluar dari jeratan ekonomi kolonial tersebut. Dia ingin Ekonomi Terpimpin menjadi sistem ekonomi nasional, menggantikan ekonomi kolonial, membuat Indonesia jadi bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri atau berdikari.

Baca juga:

Kehidupan Sosial-Budaya Masa Demokrasi Terpimpin, Pers Dikekang dan Budaya Barat Dilarang

Langkah-Langkah Ekonomi Terpimpin

Dari tingkat konsep, Sukarno lalu menurunkannya ke beberapa langkah praktis. Sebab waktu itu Indonesia mengalami berbagai tekanan ekonomi.

Mulai dari inflasi, kekurangan barang, kemerosotan ekspor, hingga defisit anggaran yang terus membengkak. Masalah lainnya, pertambahan penduduk tinggi, tapi pendapatan negara terus merosot.

Negara itu kayak rumah tangga, sedangkan rakyatnya itu ibarat orang-orang di rumah tangga itu. Maka negara juga perlu belanja.

Nah, bagaimana negara bisa belanja kebutuhan rakyatnya kalau pendapatannya sedikit?

Pidato Sukarno 28 Maret 1963 tentang Deklarasi Ekonomi
Presiden Sukarno berpidato di Istana Negara tentang langkah-langkah Ekonomi Terpimpin pada 28 Maret 1963. (Foto: Repro buku 30 Tahun Indonesia Merdeka 1950-1964)

Buat memperoleh pendapatan, negara mesti memproduksi barang, lalu dijual. Masalahnya, saat itu modal buat produksi barang juga seret.

Karena itulah, Sukarno berusaha membenahinya dengan menyusun ulang perekonomian lewat serangkaian rencana.

Misalnya Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang dirancang oleh Depernas. Target delapan tahun: tiga tahun untuk riset dan lima tahun untuk implementasi.

Fokus pembangunan terletak pada sektor pertanian dengan industri pendukung seperti pupuk, kimia, dan baja sebagai pilar penguatnya.

Sukarno yakin bahwa pertanian adalah dasar, sedangkan industri jadi tulang punggungnya. Modal pembangunan sebisa mungkin berasal dari kekayaan alam Indonesia. Rakyat enggak bakal ditarik pajak.

Pembangunan Nasional Semesta Berencana juga mengatur bagaimana modal dari luar negeri bisa diterima, tapi hanya dalam bentuk bagi hasil atau pinjaman yang enggak mengikat.

Sukarno menolak investasi asing yang permanen di sektor pertanian dan industri.

Sebagai gantinya, Sukarno menasionalisasi perusahaan asing. Artinya, perusahaan itu diambil alih dan dijadikan perusahaan negara demi memutus ketergantungan ekonomi Indonesia pada perusahaan luar negeri.

Sukarno percaya nasionalisasi bakal menciptakan pengelolaan yang lebih adil melalui kepemilikan kolektif yang melibatkan para pekerja dan manajer profesional.

“Ikut sertakan seluruh pekerja dalam memikul tanggung jawab dalam produksi dan alat-alat produksi. Jangan ndoro-ndoroan! Pengikutsertaan ini akan melancarkan dan memperbesar hasil produksi,” kata Sukarno pada 17 Agustus 1961.

Ndoro-ndoroan itu artinya tuan-tuanan alias mengutamakan orang-orang berpengaruh saja. Disebut juga feodalisme.

Sukarno juga menjanjikan landreform atau reformasi agraria supaya petani bisa punya tanah dan mendapatkan pendapatan lebih. Dari pendapatan itu, petani bisa beli barang dan jasa. Ekonomi pun bergerak.

Namun, para ekonom seperti Thee Kian Wie menilai bahwa rencana-rencana Sukarno terlalu ambisius dan enggak realistis. Dia juga menganggap Sukarno terlalu mengutamakan politik ketimbang ekonomi.

Ini terlihat dari slogan Sukarno bahwa 'Politik adalah Panglima'.

“Tujuan-tujuan ekonomi, sering kali dicampuradukan dengan tujuan-tujuan politik kebudayaan,” terang Thee Kian Wie dalam “Krisis Ekonomi di Indonesia Pada Pertengahan 1960-an dan Akhir 1990-an Suatu Perbandingan”, yang dimuat dalam buku Dari Krisis ke Krisis.

Baca juga:

Jakarta dalam Visi Sukarno Masa Demokrasi Terpimpin, Kota Mercusuar Modern Negara Asia-Afrika

Tantangan Ekonomi Terpimpin dan Deklarasi Ekonomi (Dekon)

Penerapan Ekonomi Terpimpin ternyata enggak berhasil. Depernas gagal mengeksekusi rencana di bidang pertanian dan industri pendukungnya. Penerimaan negara enggak begitu banyak.

Sementara pemerintah justru lebih banyak mengeluarkan sumber daya buat politik 'mercusuar', konfrontasi dengan Belanda di Papua, dan konfrontasi dengan Malaysia dan Inggris.

Politik 'mercusuar' berupa pembangunan infrastruktur Asian Games 1962, gedung-gedung bertingkat, dan monumen di Jakarta memakan banyak penerimaan ganti rugi (pampasan) pendudukan Jepang.

Sementara buat membayar gaji pegawai, pemerintah menerapkan cara lain.

Demo Mengganyang Malaysia
Demonstrasi Ganyang Malaysia di Kedutaan Besar Malaya (Malaysia) 16 September 1963. (Foto: ANRI)

"Dan pemerintah tidak ragu-ragu mencetak uang baru kalau ia kekurangan uang tunai untuk membayar pegawai-pegawai dan berbagai usaha pemerintah," kata Sjafruddin Prawiranegara, mantan Menteri Keuangan, dalam artikel "Membangun Kembali Ekonomi Indonesia" yang dimuat dalam buku Ekonomi dan Keuangan.

Akibat pencetakan uang lewat bank sentral atau Bank Indonesia itu, jumlah uang beredar semakin besar. Maka terjadilah inflasi berupa kenaikan harga barang dan jasa secara umum yang mengurangi daya beli uang.

Selain itu, Indonesia berutang besar kepada Uni Soviet dan negara Eropa Timur (Blok Sosialis) demi membeli peralatan tempur buat persiapan perang dengan Belanda dan Inggris.

Karena penerimaan terbatas, negara enggak mampu meningkatkan produksi barang kebutuhan warga seperti pangan dan sandang. Termasuk pula untuk mengimpornya.

Menghadapi situasi sulit itu, Sukarno, yang dibantu sejumlah ekonom, mengeluarkan politik ekonomi jangka pendek di Istana Negara pada 28 Maret 1963. Politik ekonomi itu disebut sebagai Deklarasi Ekonomi (Dekon).

Inti Dekon adalah meningkatkan produksi demi menambah penghasilan negara lewat perbaikan penyediaan pangan dan sandang.

"Di dalam kebijaksanaan jangka pendek ini, soal memenuhi keperluan pangan harus mendapat prioritas utama, karena rakyat yang diharuskan ikut serta di dalam gerakan produksi sehebat-hebatnya itu, harus ada jaminan pangan, khususnya 'beras'," kata Sukarno.

Dekon juga memuat poin reformasi manajemen perusahaan negara, penyederhanaan aturan buat efisiensi pengeluaran, perbaikan lembaga keuangan, penguatan kualitas tenaga kerja, dan penyempurnaan koordinasi kegiatan ekonomi keuangan.

Namun, Dekon pun enggak mampu mengatasi kesulitan ekonomi masyarakat.

Barang kebutuhan pokok tetap langka sehingga harganya melejit. Para pekerja harus mencari penghasilan tambahan demi menebus barang kebutuhan pokok.

Kesulitan masyarakat bertambah karena harga air, gas, listrik, ongkos transportasi (bus, tram, dan kereta api) ikut naik.

Rakyat berjubelan menaiki tram di Jakarta
Pemandangan keseharian penderitaan rakyat di Jakarta pada masa Demokrasi Terpimpin. (Foto: Repro buku Djakarta Djaja Sepandjang Masa).

Baca juga:

Sejarah Program Makan Bergizi Zaman Sukarno, Menggugah Kesadaran Gizi Anak Sekolah

Kritik Bung Hatta buat Sukarno

Ketika masyarakat antre berjam-jam demi mendapat kebutuhan dasar, Mohammad Hatta juga ikut merasakan kepedihannya. Waktu itu, ia enggak punya jabatan apa-apa di pemerintahan. Ia hanya seorang pensiunan.

Bung Hatta kecewa melihat ekonomi masyarakat terus memburuk. Ia pun terkena dampak kenaikan harga.

Gaji pensiunan Bung Hatta dialokasikan sebesar 70 persen buat membayar tagihan listriknya. Bukan karena Bung Hatta boros, melainkan kenaikan listrik gila-gilaan. Sedangkan besar gaji pensiunan tetap.

Sebagai kewajiban moralnya, Bung Hatta bersurat kepada Sukarno. Isi suratnya kritik terhadap langkah yang ditempuh Sukarno dan saran perbaikan ekonomi.

"Kemerosotan penghidupan rakyat, yang belum ada taranya dalam sejarah Indonesia, lebih dashyat daripada masa kolonial Belanda dan Jepang," kata Bung Hatta dalam suratnya pada 17 Juni 1963, seperti termuat dalam buku Hati Nurani Melawan Kezaliman.

Menurut Bung Hatta, kenaikan harga kebutuhan pokok seperti beras yang berlipat-lipat dalam jangka pendek adalah bukti nyata bahwa pidato-pidato pemerintah tentang sosialisme ala Indonesia cuma omong kosong.

"Tindakan-tindakan yang diambil pemerintah bertentangan dengan itu. Pendapatan rakyat makin ditekan, apalagi dengan politik inflasi yang dipercepat, tetapi beban rakyat makin diperbesar," lanjut Bung Hatta.

Bung Hatta mengingatkan bahwa sosialisme itu seharusnya memurahkan ongkos hidup masyarakat dan memudahkan mereka memperoleh kebutuhan hidupnya.

Bung Hatta dijenguk Bung Karno pada 1963
Bung Karno menjenguk Bung Hatta dan berbicara soal ekonomi bangsa di RSUP Jakarta, 12 Juli 1963. (Foto: Repro buku Hati Nurani Melawan Kezaliman)

Namun, bagi Bung Hatta, yang terjadi justru kebijakan pemerintah menguntungkan sebagian kecil orang saja. Hingga berakibat kesenjangan sosial makin jelas. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.

"Pertentangan kaya dan miskin sangat menyolok mata, belum pernah setajam sekarang ini," tambah Bung Hatta.

Sebagai seorang teman baik dan mantan wakil presiden yang mengerti ekonomi, Bung Hatta menyarankan tiga hal pada Sukarno: menghemat pengeluaran negara, menambah produksi, dan menjaga peredaran barang.

Selain itu, Bung Hatta meminta Sukarno memerangi inflasi agar harga-harga stabil. Bila Sukarno enggak tahu caranya, jangan ragu menghubungi para ekonom dari universitas dan lembaga pemerintah.

"Diberi mereka tugas untuk merundingkan secara bebas, cara bagaimana menghadapi masalah ekonomi sekarang ini yang merusak moril dan moral manusia," tulis Bung Hatta dalam suratnya, 1 Desember 1965.

Saran Bung Hatta enggak sempat dilakukan oleh Sukarno.

Thee Kian Wie mencatat Sukarno enggan meminta nasehat dari para ahli ekonomi Indonesia guna mengatasi persoalan-persoalan ekonomi negara.

Pada akhirnya, Sukarno lebih dulu jatuh dari kekuasaannya sebelum bisa memperbaiki ekonomi negara.

Nah, begitulah kehidupan masyarakat pada masa Demokrasi Terpimpin. Penuh dengan kepedihan dan kesulitan.

Kalau kamu hidup pada masa itu, apa yang bakal kamu lakukan buat bertahan hidup? (dru)

Baca juga:

Mengenal Tritura, Suara Rakyat di Tengah Krisis Ekonomi dan Politik

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan