Industri Perhotelan Jakarta Rasakan Penurunan Okupansi hingga Ancaman PHK Massal
Jumat, 30 Mei 2025 -
MERAHPUTIH.COM - PERHIMPUNAN Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DK Jakarta menyampaikan kekhawatiran terhadap kondisi industri hotel dan restoran di Jakarta yang menunjukkan tren menurun, terutama pada triwulan pertama 2025.
Berdasarkan hasil survei terbaru yang dilakukan Badan Pimpinan Daerah (BPD) PHRI DKI Jakarta pada April 2025 terhadap anggotanya, ditemukan bahwa 96,7 persen hotel melaporkan terjadinya penurunan tingkat hunian. Seiring dengan itu, banyak pelaku usaha terpaksa melakukan pengurangan tenaga kerja serta menerapkan berbagai strategi efisiensi operasional.
Ketua BPD PHRI DK Jakarta Sutrisno Iwantono mengungkapkan industri ini tengah menghadapi tekanan berat dari berbagai sisi. Tingkat hunian hotel mengalami penurunan, sedangkan biaya operasional meningkat tajam dan membebani kelangsungan usaha.
BPD PHRI DK Jakarta mengidentifikasi faktor utama yang menyebabkan kondisi ini memburuk. Pertama, penurunan tingkat hunian dan pendapatan. Dari hasil survei yang dilakukan, sebanyak 66,7 persen responden menyebutkan penurunan tertinggi berasal dari segmen pasar pemerintahan, seiring dengan kebijakan pengetatan anggaran yang diterapkan pemerintah.
Baca juga:
Sektor Perhotelan Bakal Lakukan PHK, Menaker: Kita Lihat Sebagai Realitas
Penurunan dari pasar pemerintah ini semakin memperburuk ketergantungan industri hotel terhadap wisatawan domestik. Hal ini terjadi karena kontribusi wisatawan mancanegara (wisman) terhadap kunjungan ke Jakarta masih tergolong sangat kecil.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa dari 2019 hingga 2023, rata-rata persentase kunjungan wisman hanya mencapai 1,98 persen per tahun jika dibandingkan dengan wisatawan domestik. Kondisi itu mencerminkan kurang efektifnya strategi promosi dan program pemerintah dalam mendatangkan turis mancanegara, khususnya ke Jakarta.
"Ketidakseimbangan struktur pasar menunjukkan perlunya pembenahan strategi promosi dan kebijakan pariwisata yang lebih efektif untuk menjangkau pasar internasional," ujar Sutrisno Iwantono, Jumat (30/5).
Kedua, kenaikan biaya operasional. Tidak hanya dihadapkan pada berkurangnya pasar, pelaku usaha hotel juga harus menanggung peningkatan biaya operasional yang signifikan. Tarif air dari PDAM mengalami penaikan hingga 71 persen, sedangkan harga gas melonjak 20 persen.
"Beban ini diperberat dengan kenaikan tahunan upah minimum provinsi (UMP) yang tercatat meningkat hingga 9 persen tahun ini," tuturnya.
Dengan tekanan dari sisi pendapatan dan biaya yang tidak seimbang, banyak pelaku usaha mulai mengambil langkah-langkah antisipatif. Sebanyak 70 persen responden dalam survei BPD PHRI DK Jakarta menyataka, jika kondisi ini terus berlanjut tanpa adanya intervensi kebijakan yang mendukung sektor pariwisata dan perhotelan, mereka terpaksa melakukan pengurangan jumlah karyawan.
"Responden memprediksi akan melakukan pengurangan karyawan sebanyak 10 persen - 30 persen," terangnya.
Ketiga, kerumitan regulasi dan sertifikasi. Pelaku industri juga dihadapkan pada tantangan administratif berupa regulasi dan sertifikasi yang dinilai rumit dan memberatkan. Banyak jenis izin yang harus dipenuhi, seperti izin lingkungan, sertifikat laik fungsi, hingga perizinan minuman beralkohol.
Selain itu, proses birokrasi yang panjang, duplikasi dokumen antarinstansi, serta biaya yang tidak transparan juga dinilai menghambat kelangsungan usaha. Kondisi ini menjadi peringatan serius bagi para pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat maupun daerah.
"Tanpa langkah konkret dan strategi pemulihan yang tepat, industri perhotelan sebagai salah satu tulang punggung pariwisata dan penyerap tenaga kerja berpotensi mengalami krisis berkepanjangan yang dampaknya bisa meluas ke sektor lain," tutupnya.(Asp)
Baca juga:
Daya Beli Anjlok, Okupansi dan Durasi Menginap di Sejumlah Hotel saat Lebaran 2025 Menurun Drastis