Indonesia Jadi Pemasok Terbesar Tuna di Dunia, Orang Kita hanya Kebagian Tongkol

Rabu, 27 Maret 2019 - Dwi Astarini

USAHA Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti memberantas pencurian ikan berbuah manis. Indonesia kini memegang 16% pasar tuna dunia. Indonesia jadi pemasok untuk beberapa negara besar, seperti Jepang, Amerika, Uni Eropa, Korea, dan Hong Kong.

Namun, kabar baik tersebut tidak berbanding lurus dengan perkembangan kebudayaan maritim di dalam negeri, khususnya dalam hal kuliner. Hal tersebut terungkap saat sesi Cook and Talk dalam acara International Forum on Spice Route (IFSR) 2019 yang digelar di Museum Nasional, Sabtu (23/3).

1. Budaya Makan Maritim yang Mulai Hilang

IFSR 2019
Harry Nazruddin (paling kiri) dan Lidia Tanod (ketiga dari kiri) memaparkan kekayaan kuliner pesisir. (foto: MP/Dwi Astarini)


Harry Nazruddin dari komunitas Jalan Sutra menyebut bahwa budaya makan Indonesia kini justru terlihat kurang maritim. Salah satu bentuknya ialah kebiasaan mengonsumsi ikan laut yang amat berkurang. "Orang Indonesia ini kan kayaknya kebanyakan makan ayam. Kalau dalam budaya maritim, makananannya justru banyak ikan," jelasnya.

Ia lalu bercerita bahwa Komunitas Jalan Sutra bersama almarhum Pak Bondan, yang juga penggagas komunitas itu, menggarap buku tentang kuliner pantai utara (pantura) Jawa sejak tahun lalu. Namun sayang, Pak Bondan keburu wafat. "Jadi kami yang meneruskan penulisan buku itu," ujarnya.

Bersama Lidia Tanod, rekan di Jalan Sutra, turun ke pantura Jawa untuk melakukan survei. Perjalanan kuliner mereka lakukan sesuai dengan panduan yang telah diberikan almarhum Pak Bondan. Harnaz, panggilan Harry Nazruddin, berkisah bahwa banyak hal menarik yang ia dan Lidia temukan dalam petualangan rasa tersebut. "Kami menemukan banyak kuliner unik yang berhubungan dengan ikan, seperti mangut ikan," ujarnya.

Menurutnya, budaya kuliner maritim perlu dibangkitkan di Indonesia. "Kita tuh kebanyakan makan. Padahal, Bu Susi sudah mengingatkan untuk makan ikan. Pak Bondan juga mempromosikan makan ikan. Terus terang, sebagai negara maritim, budaya agraris kita lebih menonjol," ujar Harnaz.

2. Kuliner Maritim yang Kaya Rempah

blakutak
Blakutak, salah satu kuliner maritim khas Cirebon. (foto: Instagram @cookingbymami)


Untuk mempromosikan makan ikan, Harnaz memberikan beberapa contoh kuliner maritim yang unik dan kaya rempah. "Kami sempat mampir ke Kota Tuban dan mencicipi garang asem ikan dan kari rajungan. Nah, menu garang asem ikan ini memang enggak ada di menu. Namun, karena kami bilang Pak Bondan, mereka pun mau membuatkan. Rupanya, menu garang asem ikan dihilangkan dari menu karena sepi peminat. Padahal ini sajiannya enak," cerita Harnaz.

Lebih jauh, Lidia Tanod, yang juga hadir di ajang yang sama, menambahkan bahwa keunggulan kuliner maritim di daerah pesisir ialah bahannya yang segar. "Biasanya nih, kita kalau makan ikan pasti cuma yang bakar atau goreng. Kalau ikan berkuah kurang diminati. Karena ini bahannya segar, ditambah tomat, kemangi, dan belimbing wuluh, mennu ini nikmat," ujar Lidia.

Di restoran lain, Harnaz dan Lidia menceritakan pengalaman mereka menyantap kari rajungan yang super pedas. "Menu restoran ini hanya satu. Kari rajungan aja. Pede banget deh," ujar Lidia diikuti tawa.

Meskipun restoran itu hanya punya satu menu, Lidia menyebut kari yang disajikan memang enak. "Lagi-lagi karena bahannnya segar. Ditambah rempah-rempah, seperti merica dan cabai, rasanya jadi pedas. Saya aja nih, sampai enggak berani nyocol kuahnya saking pedasnya," kenang Lidia.

Lidia mengakui kekuatan makanan pesisir terletak pada bahan segar dan penggunaan rempah. Hal itu membuat makanan pesisir jadi lebih vibrant. "Rempah-rempah dalam masakan pesisir ini membuat spektrum rasa yang dihasilkan lebih luas ketimbang kuliner pedalaman atau pengunungan, seperti Yogya atau Solo misalnya," jelas Lidia.

Kuliner maritim lain yang dikenalkan ialah blakutak. Makanan khas Cirebon tersebut berupa cumi yang dimasak bersama tintanya. Akibatnya, warna sajian blakutak hitam.

Lidia juga bercerita bagaimana citarasa berganti seiring dengan perubahan lokasi geografi. Daerah-daerah pesisir cenderung punya citarasa asin, sedangkan daerah-daerah tengah punya citarasa yang lebih manis. Demikian juga dalam spektrum rasa dan penggunaan rempah pada makanan.


3. Kuliner Maritim di Pesisir Harusnya Dibawa ke Tengah

tuna
Agar kuliner maritim bisa dinikmati hingga ke tengah, Indonesia harus menerapkan proses refrigerasi yang modern. (foto: pixabay/srigel)


Selain punya rasa yang nikmat, kuliner pesisir yang berbudaya maritim juga kaya akan nutrisi. Salah satunya, Harnaz mencontohkan ikan kembung. "Saya pernah baca sebuah penelitian yang menyebut ikan kembung lebih kaya nutrisi ketimbang salmon. Padahal, kita tahu harganya jauh berbeda," jelasnya.

Untuk itu, ia menyarankan agar kuliner maritim bisa dibawa dan dikenalkan ke daerah tengah, seperti pedalaman dan pegunungan. Namun, untuk bisa melakukan hal itu, Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Lidia menyebut tantangan terbesarnya ialah menjaga kesegaran ikan hingga ke tengah. "Kita perlu orang lebih banyak makan ikan. Ini cara paling progresif untuk membangun budaya maritim Indonesia," ujarnya.

Namun, tak mudah mewujudkan hal tersebut, ada banyak tantangan yang dihadapi, semisal menjaga kesegaran ikan. Harnaz menyebut dalam menjaga kesegaran ikan, penggunaan formalin yang banyak dilakukan justru membahayakan konsumen dan merusak kualitas ikan itu sendiri.

Selain itu, teknik refrigerasi ikan di Tanah Air masih tradisional. "Produksi ikan kita banyak. Iya benar, tapi karena belum bisa mengemas, ikannya enggak sampai ke tengah. Banyak busuk di pelabuhan aja," ujar Harnaz.

Lebih jauh ia menyebut membawa ikan ke daerah tengah bukannya enggak mungkin dilakukan. Dengan teknik pengemasan frozen yang benar, refrigerasi yang modern, dan distribusi yang lancar, masyarakat bisa lebih banyak menikmati ikan segar. "Kalau banyak makan ikan, gizi masyarakat jadi meningkat. Kita akan jadi lebih progresif, makin maju," jelasnya.

Ia juga menyinggung kapal pencuri ikan yang ternyata punya teknologi lebih canggih dalam refrigerasi. "Iya dulu ikan kita banyak dicuri terus dijual ke luar negeri. Itu karena kapal pencuri punya teknologi yang lebih canggih," ujar Harnaz.

Senada, Lidia juga menunjuk bahwa ikan segar, seperti tuna, dari Indonesia bisa bernilai tinggi di Jepang. "Ikan tuna segar saja bisa sampai ke Jepang. Masak sampai ke Yogya enggak bisa?," tanya Lidia. Ia bahkan menyebut tuna favorit di dunia ternyata berasal dari laut Indonesia. "Iya, tapi kita hanya kebagian tongkolnya," imbuh Harnaz diikuti tawa.


4. Enggak cuma Tuna, Indonesia Punya Sidat

semur sidat
Semur sidat. Selain tuna, sidat dari Indonesia juga punya nilai ekonomis tinggi. (foto: MP/Dwi Astarini)

Selain potensi maritim seperti tuna, ternyata perikanan Indonesia juga menyimpan jagoan lain, yakni sidat. Di Jepang, sidat yang dikenal dengan unagi sudah enggak boleh lagi ditangkap. "Di Jepang, unagi ini sudah jadi hewan yang dilindungi. Jadi semua unagi yang dimasak di Jepang berasal dari ekspor. Salah satunya dari Indonesia," kata Reyza Ramadhan dari komunitas Masak Akhir Pekan, pada acara yang sama.

Reyza yang juga bekerja untuk FAO itu pun mengatakan bahwa saat ini, lembaga PBB di bidang pangan itu tengah mengembangkan budi daya sidat di Cilacap. "Nilai ekonomis sidat ini cukup tinggi. Per kilogram bisa mencapai Rp350 ribu. Hampir sama harga salmon," jelas Reyza.

Meskipun demikian, sajian sidat belum umum dinikmati di seluruh Indonesia. Padahal, nilai gizi sidat lebih tinggi ketimbang salmon. "Vitamin A dan protein sidat lebih tinggi daripada salmon," jelasnya.

Di kesempatan itu, Reyza membawakan semur sidat yang dimasak bersama rempah khas Tanah Air. Rasanya nikmat. Daging sidat tak amis, justru terasa manis. Berpadu pas dengan sedikit kecap dan rempah khas semur.

Yuk, mulai biasakan makan ikan.(dwi)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan