Film Remake, Cita Rasa Klasik di Zaman Kekinian

Kamis, 26 April 2018 - P Suryo R

BEBERAPA tahun belakangan banyak film remake bermunculan. Dari Warkop Reborn, Pengabdi Setan, Benyamin Biang Kerok, hingga yang akan segera tayang di bioskop, Wiro Sableng mewarnai layar lebar Indonesia.

Selain film-film remake, ada pula beberapa film yang mengangkat suasana dan latar tempat di era 90an seperti film Dilan 1990.

Bermunculannya film-film bernuansa klasik tak terlepas dari pengaruh pasar yang didominasi generasi X, Y, dan Z. Melalui film, generasi X dan Y seolah mengenang kembali masa-masa dahulu.

mira lesmana
Mira Lesmana, membangkitkan kenangan. (Foto: MP/Ikhsan Digdo)

"Anak 90an yang saat ini sudah dewasa dan mungkin sudah berkeluarga ingin membangkitkan kembali memori yang pernah mereka alami melalui film," ucap Mira Lesmana saat ditemui di Grand Indonesia beberapa waktu yang lalu.

Hal tersebut dapat kita lihat melalui film Dilan 1990. Film yang menembus angka 6,2 juta penonton tersebut sejatinya untuk kategori remaja. Namun siapa sangka jika film tersebut juga disaksikan oleh ibu-ibu dan para pekerja kantoran.

"Saya agak kaget ketika tahu filmnya juga ditonton ibu-ibu. Mungkin mereka ingin nostalgia," ujar produser Dilan 1990, Odi Mulya.

Sementara itu, sang penulis novel Dilan 1990, Pidi Baiq tak tahu siapa saja yang menyaksikan film terlaris 2018 tersebut. Menurutnya, ia hanya perlu fokus berkarya dan memberikan yang terbaik. “Ketika kita memberikan yang terbaik, masyarakat pun akan memberi respon yang terbaik juga,” tuturnya.

Pidi
Pidi Baiq, tak memikirkan penonton. (Foto: MP/Albi)

Dengan nada jenaka, ia pun mengungkapkan tak terlalu peduli siapa yang menonton film tersebut. “Saya mah enggak mikirin film ini ditujukan untuk kategori penonton seperti apa. Yang jelas film ini ditujukan untuk manusia, hewan kalau mau nonton juga mangga,” celetuknya dengan polos di acara XYZ Days 2018, Rabu (25/4).

Selain Dilan 1990, film klasik yang juga akan muncul di tahun ini adalah Wiro Sableng 212. Wiro Sableng 212 adalah tokoh fiksi serial pencak silat karangan Bastian Tito. Sukses pada tahun 60an, novel ini diangkat ke sinetron pada tahun 80an dan kini akan diadaptasi ke layar lebar.

Mengangkat film klasik dengan sentuhan modern bukan perkara mudah. Sheila Timothy atau yang kerap disapa Lala selaku produser mengaku harus memutar otak. Dirinya ingin menyajikan film klasik dengan nuansa kekinian. Bersama dengan sang sutradara, Angga Dwimas Sasongko dan timnya, ia membahas konsep Wiro Sableng versi modern.

“Konsepnya adalah film fantasi dengan cita rasa nusantara,” ucap Angga. Lala sendiri ingin film tersebut secara visual bisa dekat dengan penonton. Lala dan timnya tetap mempertahankan beberapa detil yang menjadi ikon film Wiro Sableng seperti penggambaran karakter, pakaian, dan lain sebagainya.

“Kami ingin ceritanya sesuai root dari buku namun kekinian. Masih gondrong tetapi dengan potongan yang up to date dan bisa lebih dekat dengan milenial,” terang Lala.

Film Wiro Sableng 212 akan terasa istimewa. Selain memadukan nuansa klasik dan modern, film ini juga mendapat sentuhan Hollywood. Bagaimana tidak? Produksi film ini bekerjasama dengan Fox International Production. Kendati memiliki cita rasa Internasional, Lala tak ingin menyebut film ini film superhero.

Ia ingin mempertahankan unsur klasik dan autentikasi film tersebut dengan menyebutnya sebagai pendekar. "Kami lebih senang menyebutnya pendekar dengan root pencak silat. Dengan didukung action choreographer, Yayan Ruhiyat, Wiro Sableng 212 martial artnya fokus menggunakan pencak silat," jelas Lala. (avia)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan