Dahsyatnya Tombak Pusaka Kiai Rondhan Pangeran Diponegoro

Minggu, 08 Februari 2015 - Noer Ardiansjah

MerahPutih Nasional- Ratu Juliana merupakan pemegang tahta Belanda periode 1948-1980 yang mengembalikan tombak pusaka Pangeran Diponegoro, Kiai Rondhan kepada pemerintah Indonesia. Dikembalikannya pusaka yang kini menjadi koleksi Museum Nasional ini dibawah ketentuan kesepakatan budaya Belanda-Indonesia pada 1968 silam.

Pangeran Diponogoro adalah salah satu pahlawan nasional paling terkenal. Banyak orang mengenangnya sebagai pejuang kemerdekaan yang kukuh melawan kolonialisme Belanda, dikhianti, diasingkan hingga akhirnya meninggal dunuia pada 8 Januari 1955 silam. Beberapa pusaka Pangeran Diponegoro kemudian disimpan di beberapa museum. Salah satunya adalah tombak pusaka, Kiai Rondhan.

Pusaka Sang Pangeran ini dianggap cukup sakti dan suci. Sebab, benda ini dianggap dapat memberikan perlindungan dan peringatan ketika adanya bahaya menjelang datang. Buktinya, lolosnya Sang Pengeran dari sergapan pasukan gerak cepat ke-11. Pasukan gerak cepat ini dipimpin langsung oleh Mayor A. V. Michiels saat hendak menangkap Sang Pangeran, di wilayah pegunungan Gowong, sebelah barat Kedu.

Baca Juga: Presiden SBY Anugerahi John Lie Gelar Pahlawan Nasional

Dimana saat itu, Pangeran Diponegoro hampir tertangkap dan ia berhasil lolos dari kejaran walau kakinya terluka. Namun, beberapa barang miliknya tertinggal, salah satunya adalah tombak pusaka Kiai Rondhan. Beberapa benda pusaka yang dimilikinya itu, membuat banyak orang menganggap bahwa Pangeran Diponegoro layaknya rekan keraton di zamannya.

Dengan berbagai kekurangan yang dimilikinya, pusaka tombak Kiai Rondhan akhirnya hilang. Hilangnya pusaka ini jelas mempengaruhi perjuangan Pangeran Diponegoro dan ia sendiiri menganggap hal tersebut sebagai tanda bahwa ia telah dikhianati oleh tiga pemimpin yang paling dipercayainya di Mataram.

Andai kata tidak hilang dan dirampas penjajah, pusaka tombak Kiai Rondhan ini sedianya akan diwariskan kepada putra tertuanya. Tapi sayang, pusaka ini kemudian dikirimkan kepada raja Belanda Willem I Frederik, pemegang tahta kekuasaan pada 1813-1840 itu, meski pada akhirnya dikembalikan oleh Ratu Juliana kepada pemerintah Indonesia. (hur)

Bagikan

Baca Original Artikel

Berita Terkait

Bagikan