Bivitri Susanti: Hak Angket Bukan untuk Memakzulkan atau Menjegal

Senin, 04 Maret 2024 - Hendaru Tri Hanggoro

MerahPutih.com - Wacana hak angket mengemuka dari sejumlah tokoh parpol pascaPemilu 2024. Menanggapi usulan itu, Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara, ikut berpendapat dalam siniar (podcast) Speak Up, Minggu (3/3) yang dipandu Abraham Samad, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Bivitri menekankan bahwa tujuan hak angket bukan untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), bukan pula untuk menjegal Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, melainkan untuk mencegah terjadinya kecurangan-kecurangan pada pemilu berikutnya.

Bivitri mengatakan, dugaan kecurangan terstruktur, sistemik, dan masif (TSM) pascapemilu telah muncul dalam pemilu masa Orde Baru, tetapi belum pernah terbukti.

Baca juga:

Bivitri Susanti: Hak Angket Bisa Putuskan Pemilu Diulang

Bobot dugaan kecurangan pemilu pada tahun ini luar biasa besar, dibandingkan kecurangan pada pemilu-pemilu sebelumnya.

Hal ini, kata dia, terlihat dari pembusukan MK yang dilakukan orang dalam yang memegang kekuasaan.

“Kita bukan mau menjegal paslon tertentu, tetapi untuk mengoreksi presiden sebagai pemegang kekuasaan tetinggi di negeri ini, seakan-akan bisa saja presiden melakukan politik gentong babi, bagi-bagi bansos. Ini merusak demorasi, maka hak angket harus dilaksanakan untuk membuat terang TSM,” bebernya.

Dia mengingatkan, jangan sampai budaya feodal dilestarikan, menganggap presiden seperti seorang raja dan dikultuskan serta bisa melakukan abuse of power yang pada akhirnya akan memunculkan otokratisme.

Dosen pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera ini mengatakan, otokratisme berlangsung pada masa pemerintahan Jokowi karena pemimpin tidak bisa dicek atau diawasi. Padahal, demokrasi yang baik mensyaratkan oposisi di pemerintahan.

“Hak angket bisa saja tidak sampai ke pengadilan, tapi proses politik harus ada, kekuasaan itu harus bisa diawasi, ini poin penting dalam demokrasi,” ujarnya.

Lebih lanjut, Bivitri menuturkan, presiden bisa dibawa ke persidangan bila diduga melakukan penyuapan, korupsi, dan perbuatan tercela, sehingga tidak ada impunitas. (Pon)

Baca juga:

Bivitri Susanti Sebut Intelektual Diam Pertanda Demokrasi dalam Bahaya

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan