Benang Merah KPK Geledah Rumah Bos PLN Sofyan Basir dan Suap Eni Saragih
Selasa, 17 Juli 2018 -
MerahPutih.com - KPK menelusuri skema kerja sama terkait proyek pembangunan PLTU Riau-1 yang menjadi bancakan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih untuk menerima suap dari bos Blackgold Natural Resources Limited Johanes Budisutrisno Kotjo.
Skema itu menjadi benang merah yang ditelusuri dalam penggeledahan yang dilakukan tim penyidik di sejumlah lokasi selama dua hari berturut-turut. Pada Minggu (15/7), tim penyidik menggeledah rumah Dirut PT PLN, Sofyan Basir, rumah Eni serta rumah, apartemen dan kantor Johanes, selaku pihak swasta pemberi suap.
Tim penyidik terus bergerak dan menggeledah tiga lokasi lainnya pada Senin (16/7). Ketiga lokasi itu, yakni ruang kerja Eni di DPR, kantor pusat PT PLN dan kantor PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) Indonesia Power.
Dari serangkaian penggeledahan ini, tim penyidik menyita sejumlah dokumen penting terkait kasus suap tersebut. Salah satunya, dokumen yang memaparkan skema kerja sama antara PLN dan konsorsium penggarap proyek PLTU Riau-1.

"Cukup banyak dokumen terkait PLTU Riau-1 yang kami temukan. Termasuk dokumen yang menjelaskan skema kerjasama sejumlah pihak di kasus ini," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (17/7).
Tak hanya dokumen skema kerja sama, tim penyidik juga menyita sejumlah barang bukti lainnya, di antaranya rekaman CCTV dan alat komunikasi. "Ada juga barang bukti elektronik yang diamankan, diantaranya CCTV dan alat komunikasi," ungkap Febri.
Pengembangan proyek PLTU Riau-1 ini melalui penunjukan langsung kepada anak usaha PLN, PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB) Indonesia Power. Di mana PJB diberikan kewenangan untuk mencari mitra dalam pengerjaannya dengan kepemilikan mayoritas berada di tangan PJB 51% dan 49% sisanya dimiliki konsorsium PT Samantaka Batubara yang merupakan anak perusahaan Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Co., Ltd.
"Kalau kita bicara tentang pembangunan proyek PLTU Riau-1 baik antara PLN dengan subsidair atau perusahaan yang masih terkait dengan PLN atau pun perusahaan-perusahaan lain termasuk perusahaan yang sahamnya sebagian dimiliki oleh tersangka yang sudah kita tetapkan kemarin. Ini perlu kita dalami lebih jauh sebenarnya bagaimana proses awal sampai dengan kemarin ketika tangkap tangan dilakukan," jelas Febri.

KPK menduga suap sebesar Rp 4,8 miliar yang diterima Eni secara bertahap dari Johanes erat kaitannya dengan pemulusan proyek dengan nilai investasi US$900 juta ini. Salah satunya proses penunjukan langsung konsorsium PT Samantaka Batubara dan China Huadian Engineering menjadi penggarap proyek yang merupakan bagian dari program 35.000 MW tersebut.
Dengan kepemilikan saham 51 persen, PT PJB dapat menunjuk langsung mitra kerja untuk menggarap proyek ini. "Sejauhmana suap yang kami duga diterima oleh EMS sekitar 4,8 miliar tersebut itu memang secara signifikan bisa memuluskan proses yang terjadi. Itu yang menjadi konsen KPK saat ini," pungkasnya.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan Eni dan Johanes Kotjo sebagai tersangka suap terkait kesepakatan kontrak kerjasama pembangunan PLTU Riau-1.
Sebagai pihak yang diduga penerima suap, Eni dijerat dengan Pasal 12 huruf atau huruf b atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP juncto 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan sebagai pihak yang diduga pemberi suap, Johanes dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. (Pon)