Belajar Hidup dari Orang Baduy
Minggu, 31 Januari 2016 -
MerahPutih Budaya - Mendengar nama 'Baduy' pasti pikiran kita tertuju pada sekelompok orang yang mengisolasi diri mereka dari peradaban zaman dan memilih tinggal dengan cara tradisional di sebuah tempat di Banten.
Tapi sebenarnya, orang Baduy sendiri tidak menyebut diri mereka sebagai Baduy, Baduy merupakan sebutan untuk mereka dari para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Orang Baduy tinggal dan bermukim secara turun temurun di wilayah kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Orang Baduy ini merupakan bagian dari suku Sunda, karena bahasa yang mereka gunakan sama, hanya saja orang Baduy masih menjungjung tinggi kepercayaan nenek moyang mereka secara bulat dengan menganut agama Sunda Wiwitan, dan menutup diri dari peradaban zaman terutama orang Baduy Dalam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu Tangtu, Panamping, dan Dangka (Permana, 2001).
Kelompok Baduy
Kelompok Tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.
data-instgrm-captioned="" data-instgrm-version="6"> > >