Mengintip Ragam Gaya Busana Jago Revolusi Indonesia


Tentara India dari Pasukan Inggris menangkap empat pemuda asal Bekasi. (Foto Nationaal Archief)
EMPAT pemuda memegang senjata berada di tengah serdadu India, Pasukan Inggris, Sekutu, di sekitar Bekasi, Desember 1945. Mereka masih sangat muda, bertelanjang kaki, tak berseragam.
Keempatnya mengenakan celana pendek berbeda warna, ikat pinggang, dua orang berkemeja lengan pendek, dua lagi kemeja lengan panjang. Penutup kepala pun beda-beda. Satu orang tanpa penutup kepala berambut potongan belah tengah, di sebelahnya berpeci, sampingnya memakai topi pet, lalu terakhir menggunakan fedora.
Baca juga:
Mereka, sesuai keterangan pada foto Imperial War Museum di Nationaal Archief, diduga sebagai pemuda Indonesia ikut andil atas tewasnya dua orang Inggris kru pilot dan penumpang pesawat RAF milik Sekutu, di Rawa Gatel, Cakung, Bekasi.
Tiga setelah kejadian tersebut, Letnan Jendeal Philip Christison, Panglima Sekutu di Indonesia, mengirim konvoi pasukan dalam jumlah besar.
Moncong tank memuntahkan motir tertuju permukiman. Tentara Inggris, menurut Richard McMillan pada The British Occupation of Indonesia, 1945-1946, membakar sekira 600 rumah penduduk dan gedung tangsi polisi.

Penumpang pesawat RAF (Dakota) Inggris, lanjut McMillan, bukan tentara melainkan Laskar Banteng Hitam. Bentrok antara pasukan Sekutu dengan laskar acap terjadi di Karawang dan Bekasi.
Setelah Sutan Sjahrir meminta pengosongan Jakarta, para pejuang memindahkan markas perjuangan di Karawang dan Bekasi. Di masa revolusi peran laskar, kebanyakan berisi para pemuda serta orang-orang dari 'dunia hitam' seperti perampok, jago, dan santri memainkan peran penting.
Mereka tak pernah takut menghadapi serangan pasukan NICA atau Sekutu, meski dengan sumber daya amunisi, logistik, bahkan sandang begitu terbatas. Tak heran bila pasa laskar tak berseragam. "Bajunya, apa adanya mereka punya," kata Wenri Wanhar, penulis buku penulis buku Gedoran Depok, Revolusi Sosial di Tepi Jakarta 1945-1955, kepada Merahputih.com.
Baca juga:
Para jago di kelaskaran tersebut, lanjut Wenri, sehari-hari biasa bercelana pangsi akronim 'Pangeusi Numpang Ka Sisi', lalu dipadukan dengan pakaian hasil rampasan dari lawannya, baik pasukan NICA maupun Sekutu, seperti Austerity jaket dan battledress milik pasukan Eropa atau seragam milik tentara Jepang, dan tak lupa beberapa mengenakan lars.
"Mereka ambil sepatunya. Mereka pakai. Jadi bayangkan celana pangsi sepatunya sepatu lars. Kadang pakaiannya kedodoran," ungkap Wanhar sambil tertawa.

Di antara anek ragam pakain jago di badan kelaskara, lanjut Wenri, ada satu pakaian milik musuh selalu jadi incara untuk digunakan. Barang tersebut tampak bukan benda asing di antara mereka.
"Umumnya, laskar-laskar itu, jadi kalau berhasil lawan musuh semuanya, enggak semua kostum musuhnya dipakai. Hanya beberapa bagian diambil. Jadi umumnya para pemimpin laskar itu pakai topi Capio (Capyo). Disebutnya topi Capio, memang ternyata mereknya Yo jadi Cap Yo," jelas Wenri.
Capio atau Capyo merupakan topi bertungkai pendek mengitari kepala. Sekilas bentuknya mirip peci namun agak lebar. "Ada sebuah kebanggan fesyen. Jadi Capio tuh fesyen menempati kasarnya, kalngan atas. Dianggap paling keren lah," lanjutnya.
Penampilan urakan para pemuda dan jago di masa revolusi selain memang selam perang mengenakan sandang sedanya, ternyata juga bentuk perlawanan terhadap tatanan kolonial.

"Orang-orang muda memilih membiarkan rambutnya memanjang sampai akhirnya kemerdekaan dapat diraih, meski tidak semuanya bersikap demikian," tulis William H. Fredercik dalam 'The Appearance of The Revolution: Cloth, Uniforms, and the Pemuda Style in East Java, 1945-1949' di buku 'Outward Apperances" Dressing State and Society in Indonesia'.
Ada pula jago masih kental unsur tradisi Betawi. Dalam tata cara berpakaian, menurut Muhammad Fauzi pada "Jagoan Jakarta dan Penguasaan di Perkotaan, 1950-1966," Tesis Sejarah FIB-UI, biasanya menggunakan celana panjang berwarna kuning atau krem, atasannya jas tutup warna putih dengan bersarung ujung serong, berpeci hitam atau destar serta kaki berterompah.
"Fungsi pakaian melekat pada tubuh jagoan ini bukan hanya sebagai penghubung tubuh dengan dunia sosial, melainkan juga untuk memisahkan keduanya, tulis Fauzi.
Tampilan urakan para jago-jago revolusi menjadi nadi perjuangan merebut hingga mempertahankan kemerdekaan. "Pemuda-pemuda rambut panjang, pejuang-pejuang bersenjata tak kenal nama-namanya itu, dengan tingkah laku serba-serampangan, merupakan kekuatan revolusi," tulis Ali Sastroamidjojo dalam biografinya berjudul Tonggal-Tonggak di Perjalananku. (Sam)
Baca juga:
Bagikan
Berita Terkait
Giorgio Armani Meninggal Dunia, Selebritas Kenang sang Ikon Fesyen sebagai Legenda

Desainer Legendaris Italia Giorgio Armani Meninggal Dunia

Chloe Malle Resmi Diumumkan sebagai Pengganti Anna Wintour Pimpin Vogue

Moscow Fashion Week Perkuat Relasi dengan Indonesia

Sepatu Nyaman Jadi Tren, Bisa Dipakai di Segala Acara

ASICS Gel Cumulus 16 Dukung Gerak Aktif dalam Balutan Gaya, Dilengkapi Teknologi Terkini untuk Kenyamanan Pengguna

The Best Jeans For Every Body: Koleksi Denim Terbaru UNIQLO Hadir Lebih Lengkap

Tampil di BRICS+ Fashion Summit in Moscow, Indonesia Soroti Industri Manufaktur Berkelanjutan

Adidas Indonesia Rayakan Keberagaman Lewat FW25 Island Series Indonesia Graphic Tees, Bawa Semangat ‘Satu Nusa Satu Bangsa’

Plaza Indonesia Fashion Week 2025: Surat Cinta untuk Mode Lokal
