Dari Menganggap Remeh Corona Hingga 'Lockdown', Cerita Mahasiswa Indonesia di Italia


Situasi Italia saat corona merebak (Sumber: Yogi Pratama)
BERMULA di Tiongkok, secara mengejutkan COVID-19 menyeruak hingga ke benua biru, Eropa. Jumlah pasien virus Corona di Italia menjadi yang terbanyak setelah Tiongkok. Per 16 Maret 2020, Italia berada di peringkat kedua dengan jumlah 27.980 kasus pasien positif Corona dan 2158 kematian karena corona. Tingkat kematian akibat COVID-19 mencapai 7,71%.
Italia bahkan menjad negara Eropa pertama yang memberlakukan lockdown secara nasional. Tentu saja ini menjadi lockdown terbesar dalam sejarah Eropa. Lebih mengejutkannya lagi, semua terjadi dalam kurun waktu kurang dari 30 hari.
Baca juga:

"Tiga minggu yang lalu, saya tidak pernah berpikir bahwa negara seperti Italia, yang melakukan pengawasan ketat terhadap COVID-19 sejak Januari, yang memiliki salah satu akses kesehatan universal terbaik yang telah melakukan 60.761 tes dalam waktu kurang dari 30 hari akan berada pada kondisi lockdown dan mempertaruhkan stabilias ekonomi, kemungkinan resesi demi keselamatan penduduknya," tutur mahasiswa Indonesia yang bermukim di Trieste, Italia, Yogi Pratama.
Yogi mengatakan kemunculan virus COVID-19 tersebut pertama kali di kota Codogno, Lombardia. Seorang pasien yang memiliki riwayat bepergian ke Tiongkok pada 21 Januari 2020 mengeluhkan gejala pernapasan. Awalnya ia hanya didagnosa flu biasa sebelum akhirnya diagnosa berkembang menjadi virus Corona.
Menjadi saksi dari bagaimana virus mematikan tersebut menyebar secara cepat dan masif di Italia, serta melihat secara langsung bagaimana reaksi masyarakat setempat sejak awal munculnya COVID-19 hingga menempatkan Italia pada posisi lockdown. Pria yang menempuh pendidikan kedokteran itu berbagi cerita pada merahputih.com. "Ketika muncul 76 kasus baru ke region lain diluar Lombardia, beberapa warga menyalahkan warga yang bereaksi kalau mereka overreacting," ujarnya.
Baca juga:
Dokter Wuhan Ungkapkan Hal Ini Picu Kematian Pada Pasien Corona

Ketika jumlah pasien COVID-19 melonjak ke angka 227, masyarakat dihinggapi reaksi panik. Kepanikan tersebut menimbulkan fenomena panic buying, semua orang berbondong-bondong memberi barang kebutuhan harian dalam jumlah besar.
Meski begitu, mereka masih coba menghibur diri bahwa penyakit tersebut hanya menyerang usia lansia. "Banyak orang yang menanggapi santai dan berpikir, COVID-19 tidak lethal (mematikan) untuk usia dewasa muda," ucapnya.
Ketika jumlah pasien Corona mulai melonjak ke angka 445, sekolah dan kampus mulai diliburkan. Meski berada pada situasi genting, banyak orang yang memanfaatkan momen tersebut untuk berlibur alih-alih untuk mengisolasi diri. "Semakin banyak warga yang berlibur dan nongkrong di kafe, bar, dan public places," tutur Yogi.

Bahkan ketika jumlah pasien semakin melonjak hingga ribuan, tepatnya 5883 kasus dan semakin banyak lockdown diberlakukan di kota-kota dengan kasus outbreak tertinggi. Masih ada masyarakat yang menjalani aktivitasnya dengan santai. "Bar, restoran, kafe, gim, dan beberapa tempat umum berjalan seperti biasa. Ketika cuaca mulai bagus, semakin banyak orang yang beraktivitas di luar," ungkapnya.
Setelah kasus positif Corona sudah mencapai 9172, rumah sakit mulai kelebihan kapasitas. Dokter yang sudah pensiun diaktifkan kembali untuk turun karena keterbatasan jumlah tenaga medis. Perdana Menteri Italia, Gluseppe Conte mengeluarkan dekrit untuk mengimplementasikan lockdown di seluruh Italia pada 10 Maret 2020.
Pada 11 Maret 2020 lockdown diperketat. Tidak boleh ada aktivitas bisnis yang berjalan selain swalayan dan apotek. Seluruh aktivitas kerja ditiadakan. Mereka yang ingin keluar rumahpun wajib membawa surat resmi yang menuliskan identitas mereka dan alasan mereka keluar rumah. Mobil-mobil polisi berpatroli. "Tanpa alasan yang jelas, seseorang yang keluar rumah akan didenda sebesar 200 euro atau penjara tiga bulan," beber Yogi.

"Tiga minggu yang lalu, saya masih berpikir bahwa virus ini tidak mematikan. Tetapi ini semua bukan tentang itu. Ini tentang konsekuensi yang lebih fatal dari virus. You know hey said in hospital life, ketika seorang dokter sudah dihadapkan pada situasi dimana mereka harus memilih pasien mana yang harus diselamatkan. It's silent destructor for a healthcare system, for economy and for social life," urainya.
Yogi mengingatkan masyarakat akan situasi yang terjadi saat ini di Indonesia mirip dengan Italia beberapa waktu lalu. "Kondisi saat ini di Indonesia adalah Italia beberapa minggu lalu. Jangan biarkan terulang, now you know, learn the lesson," tukasnya memperingatkan. (Avi)
Baca juga:
Pandemi Corona, Mengapa 'Social Distancing' Perlu Dilakukan?
Bagikan
Berita Terkait
Ilmuwan China Temukan Virus Corona Kelelawar Baru yang Sama dengan COVID-19, Disebut Dapat Menular ke Manusia Lewat

COVID-19 di Tiongkok Meninggi, 164 Orang Meninggal dalam Sebulan

Biaya Pasien COVID-19 Masih Ditanggung Pemerintah Meski PPKM Dicabut
