Sejarah Kerajaan Mataram Kuno Mengelola Sumber Pemasukan, Cerita tentang Pajak dan Penyelewengannya


Salah satu relief Candi Borobudur menggambarkan penguasa memberikan perintah pada pejabatnya. (Foto: Delpher)
MerahPutih.com - Halo, Guys! Kamu tahu enggak kalau pajak itu sebenarnya punya peran super penting dalam kehidupan sehari-hari?
Bayangkan ini: setiap kali kamu beli barang di minimarket atau pesan makanan daring, ada bagian kecil dari transaksi tersebut yang diambil buat membantu membangun jalan, sekolah, dan fasilitas umum lainnya.
Nah, itu semua berkat pajak!
Pada zaman Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah dan Jawa Timur dari abad ke-8 sampai ke-10, pajak juga punya peran yang krusial.
Pajak menjadi sumber utama pendapatan kerajaan buat mendirikan bangunan tertentu, menggaji pejabat, membiayai prajurit, merawat fasilitas umum, dan kas kerajaan.
Intinya, menjaga kesejahteraan masyarakat.
"Pajak harus dibayar dari tanah dan hasilnya, termasuk tanah rawa, tepian, bendungan, hutan, dan hasil perdagangan," begitu cerita Boechari, arkeolog legendaris Indonesia, dalam artikel ""Kerajaan Mataram Sebagaimana Terbayang dari Data Prasasti" yang dimuat di buku Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti
Selain itu, pajak berasal dari denda atas segala tindak pidana melalui pengadilan dan hasil kerajinan serta keahlian tertentu yang digunakan buat mencari nafkah seperti pesinden, pelawak, penabuh gamelan, dalang, dan sejenisnya.
Namun, seperti dua sisi mata uang, di balik manfaat besar pajak, ada juga potensi masalah yang mengintai, yaitu penyelewengan.
Para petugas pajak, atas nama raja, bertugas mengumpulkan pajak dari petani, pedagang, pengrajin, pelaku seni, dan bahkan orang asing.
Setiap kelompok punya cara dan bentuk pembayaran pajak yang berbeda. Namun, di sinilah kadang masalah muncul.
Beberapa pejabat pajak memanfaatkan posisi mereka untuk keuntungan pribadi, membuat masyarakat sering kali dirugikan.
Penasaran gimana kisah lengkapnya?
Yuk, kita selami lebih dalam bagaimana pajak dipungut dan disalahgunakan di masa Mataram Kuno, serta perjuangan masyarakat untuk mendapatkan keadilan.
Ini bukan cuma cerita lama, tapi juga pelajaran berharga untuk kita semua!
Baca juga:
Mengapa Raja Mataram Kuno Menarik Pajak dari Rakyatnya?
Kalau kamu berpikir penguasa atau raja Mataram Kuno itu bisa bertindak seenaknya kepada rakyat, kamu salah.
Ternyata penguasa Mataram Kuno punya batas-batas tertentu dalam memerintah meskipun mereka sering dianggap penjelmaan dewa. Pandangan raja sebagai penjelmaan dewa berasal dari pengaruh kebudayaan India.
Raja Mataram Kuno harus punya kualifikasi tertentu agar kekuasaannya dianggap sah. Prasasti Canggal dari abad ke-8 memuat keterangan bagaimana Raja Sanjaya melaksanakan kewajibannya.
"Menciptakan kesejahteraan dan perlindungan bagi rakyatnya," terang Supratikno Raharjo dalam buku Peradaban Jawa Dari Mataram Kuno Sampai Majapahit Akhir.

Nah, buat mencapai kesejahteraan, kerajaan butuh modal supaya bisa membangun fasilitas yang mempertinggi taraf hidup rakyat.
Kerajaan juga butuh pasukan pengamanan demi mencapai misi melindungi rakyatnya dari tindak kriminal kecil atau besar.
Buat membangun fasilitas umum perlu biaya. Begitu pula dengan perawatannya. Merekrut pasukan keamanan pun enggak luput dari biaya. Mereka bekerja dan harus digaji.
Maka Raja menarik pajak dari rakyatnya.
Karena itu, politik penerapan pajak bukanlah hasil tindak sewenang-wenang penguasa Mataram Kuno buat memperkaya dirinya sendiri.
Manfaat penarikan pajak kembali lagi ke masyarakat dalam bentuk kesejahteraan dan rasa aman.
Alasan lain Raja Mataram Kuno menarik pajak dari rakyatnya muncul dari gagasan tentang kepemimpinan yang terkandung di naskah Ramayana Kakawin.
"Dikatakan bahwa di dalam diri seorang raja berpadu 8 dewa-dewa, yaitu Indra, Yama, Suryya, Soma, Wayu, Kuwera, Waruna, dan Agni," terang Ayatrohaedi dkk. dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid II.
Masing-masing dewa itu punya karakteristik sendiri. Uniknya, ada yang berkaitan dengan pajak, yaitu Suryya.
"Sebagai dewa Suryya (=dewa Matahari), yang senantiasa menghisap air secara perlahan-lahan, raja hendaknya menarik pajak dari rakyatnya sedikit demi sedikit sehingga tidak memberatkan," lanjut Ayatrohaedi.
Karakter ini enggak hanya memberikan hak istimewa bagi raja, tapi juga kewajibannya sebagai kompensasi buat hak istimewa itu.
Baca juga:
Sejarah Indianisasi Kepulauan Nusantara, Bukan Sekadar Bollywood
Petugas Pajak, Cara Penarikan, dan Besaran
Buat kelancaran penarikan pajak, Kerajaan Mataram Kuno menyusun aturan serapi mungkin. Mulai dari petugasnya (birokrasinya), besaran, sampai waktu penyerahannya.
Beberapa ahli arkeologi menyebut petugas pajak pada masa Mataram Kuno sebagai mangilala drawya haji.
“Arti harfiahnya adalah 'mengambil milik raja' dan orang-orang yang masuk kategori ini umumnya dianggap sebagai petugas-petugas yang diberi wewenang untuk memungut pajak atas nama raja," sebut Supratikno.
Kelompok petugas ini pertama kali disebut dalam sumber prasasti pada awal abad ke-9 (Garung/Pengging, 741 Saka/819 Masehi).

Namun, Boechari punya pandangan berbeda. Prasasti zaman Mataram Kuno menyebutkan hampir 40 profesi yang termasuk mangilala drawya haji, termasuk pekerja kesenian, prajurit panahan, dan pembawa palu godam.
"Maka kurang masuk akal apabila mereka semuanya dianggap sebagai pemungut-pemungut pajak," tegas Boechari dalam artikel "Epigrafi dan Sejarah Indonesia" yang termuat di buku Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti.
Boechari menyebut tata urutan birokrasi petugas perpajakan Mataram Kuno.
Di tingkat pusat atau ibukota kerajaan (Medang), Mataram Kuno mengenal sebutan pangkur, tawan, dan tirip. Secara umum, mereka termasuk kelompok pratyaya. Tugasnya adalah mengurusi perbendaharaan kerajaan.
Di tingkat watak (wilayah yang lebih besar daripada desa/wanua dan membawahi desa/wanua), petugas pajak disebut sebagai panurang.
Sedangkan petugas yang menentukan besaran pajak di tingkat watak disebut nayaka. Mereka bisa juga disebut sebagai rakai atau pamgat pemimpin watak.
Pajak ditarik di desa oleh panurang tiap bulan Asuji dan Karttika (Oktober-November). Namun ada pula pungutan tertentu yang ditarik pada bulan Jyestha (Juni) dan Caitra (April). Pungutannya berupa bunga.
Selain panurang, para rama (pejabat tingkat desa) juga bertugas mengelola pajak (drawya haji). Dari rama, pajak diteruskan ke rakai atau pamgat.
Dari rakai atau pamgat, pajak diberikan ke raja. Dalam tiap tahap penyerahan itu, petugas yang berwenang mendapat bagiannya masing-masing.
"Sayang tidak ada data sama sekali yang dapat mengungkapkan berapa persen dari drawya haji yang menjadi bagian dari para rama dan para rakai dan pamgat," sebut Boechari dalam "Ulah Para Pemungut di Dalam Masyarakat Jawa Kuno".
Yang menarik, para petugas itu diharuskan menghadap langsung ke sri maharaja (raja Mataram Kuno tertinggi) buat menyerahkan pajaknya.

Karena itu, tiap tahun pasti ada pertemuan besar di keraton yang disebut pasowanan ageng. Sebagian penduduk menyaksikan dari alun-alun.
Penduduk yang terkena pajak disebut sebagai wargga kilalan. Mereka termasuk petani, nelayan, pedagang, pekerja kesenian, pengrajin, dan orang asing.
Dari keterangan ini, berarti Kerajaan Mataram Kuno punya komunitas asing di wilayahnya. Mereka berasal dari India (orang Keling, Aria, Pandikira, Dravida), Srilangka (Singhala), Vietnam (Campa), dan Kamboja (Kmir).
Tiap wargga kilalan punya bentuk pajak berbeda. Pajak petani berupa sebagian hasil sawah, sedangkan pajak pedagang dan orang asing bisa berupa kain, uang emas, atau perak. Besaran pajaknya juga berbeda.
Baca juga:
Serunya Kehidupan Masyarakat Masa Kerajaan Mataram Kuno, Dari Mengolah Makanan sampai Cari Hiburan
Penyelewengan Pajak Mataram Kuno
Petani paling sering jadi sasaran ulah menyeleweng mangilala drawya haji.
Alasannya?
“Milik golongan ini adalah tanah yang tidak bisa dilarikan dan hasilnya sukar disembunyikan,” tulis Onghokham, sejarawan flamboyan dari Universitas Indonesia, dalam artikel “Tahun Pajak 1980-an dalam Perspektif Sejarah,” termuat di buku Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong.
Petugas pemungut pajak di desa beberapa kali lalai menghitung luas sawah petani dan jumlah pajak yang harus dibayar. Kesalahan hitung bisa merugikan petani.
Kalau ada kesalahan hitung, petani terpaksa membayar pajak lebih tinggi. Sedangkan petugas pajak punya kemungkinan menggelapkan selisih pajak itu untuk kepentingan pribadi.
Namun, ulah mereka enggak selalu berjalan lancar.

Prasasti Luitan (901 M) menerangkan sejumlah perwakilan petani keberatan atas perhitungan petugas pajak. Nah, pada masa kerajaan pun ternyata masyarakat masih boleh protes loh.
“Mereka itu mohon agar sawah mereka diukur kembali,” tulis Boechari dalam artikel “Ulah Para Pemungut Pajak di Jawa Kuno,”
Petugas pajak sempat menghitung sawah petani seluas 1 tampah (6.750-7.860 meter persegi). Padahal sawah petani hanya seluas 2/3 tampah.
Penguasa Mataram menerima keberatan itu sehingga petani enggak harus membayar pajak lebih tinggi.
Kasus hampir serupa termaktub dalam Prasasti Palepangan (906 M). Perwakilan petani berselisih paham dengan petugas pajak.
Sebermula petugas menghitung sawah petani seluas 2 lamwit (setara dengan 40 tampah) sehingga pajak mereka sebesar 6 dharana perak.
Jelas saja petani keberatan. Mereka enggak punya perak sebanyak itu. Lagipula mereka yakin sawah mereka enggak seluas itu.
Petani mohon kepada penguasa untuk meninjau ulang keputusan petugas pajak. Penguasa pun menyuruh petugas pajak mengukur ulang luas sawah petani.
Hasilnya, sawah petani hanya seluas 1 lamwit dan 7,5 tampah. Jumlah pajak petani pun turun. Mereka cuma membayar sebesar 5 kati (1 kati=32 dharana) dan 5 dharana perak.
Boechari berkesimpulan dua kasus itu menunjukkan adanya penyelewengan dalam penetapan pajak. Sayangnya, belum ada catatan sanksi atau hukuman buat para pejabat pajak yang menyeleweng.
Begitulah cerita tentang pengelolaan pajak masa Mataram Kuno.
Mungkin dari sejarah Kerajaan Mataram Kuno ini, kamu bisa belajar agar lebih bijak dalam memahami peran pajak pada masa kini.
Apakah kamu sudah cukup adil dalam menunaikan kewajibanmu sebagai warga negara? Dan apakah negara sudah memberikan timbal balik yang cukup buat menyejahterakan kamu dan segenap rakyat? (dru)
Baca juga:
Bagikan
Hendaru Tri Hanggoro
Berita Terkait
9 September Memperingati Hari Apa? Ini Deretan Fakta Mengejutkan

7 September Memperingati Hari Apa? Munir Meregang Nyawa di Udara

6 September Memperingati Hari Apa? Ini Daftar Perayaan dan Fakta Uniknya

5 September Memperingati Hari Apa? Ini Daftar Peringatan dan Peristiwa Pentingnya

4 September Memperingati Hari Apa? Ini Fakta Menarik yang Jarang Diketahui

Ketua DKJ Tegaskan Perusakan Benda dan Bangunan Bersejarah Adalah Kejahatan Serius yang Melampaui Batas Kemanusiaan

2 September Memperingati Hari Apa? Ini Fakta Uniknya

29 Agustus Memperingati Hari Apa? DPR RI Ulang Tahun!

27 Agustus Memperingati Hari Apa? Ini Deretan Kejadian Penting Dunia

25 Agustus Memperingati Hari Apa? Begini Catatan Menariknya
