Seberapa Riskan Melakukan Pinjaman di Masa Sulit Imbas COVID-19?

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Rabu, 06 Mei 2020
Seberapa Riskan Melakukan Pinjaman di Masa Sulit Imbas COVID-19?

Ilustrasi pengelolaan keuangan. (Pixabay/natanan)

Ukuran:
14
Audio:

KAMAR Dagang dan Industri (KADIN) menyebut angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dampak COVID-19 di Indonesia mencapai 15 juta jiwa. Angka itu bahkan akan terus bertambah bila pandemi tak kunjung usai.

Baca juga: Cara Mempersiapkan Dana Darurat Selama COVID-19 Menurut Perencana Keuangan

Bagi masyarakat terdampak apalagi di kondisi tak memungkinkan untuk pulang kampung, bertahan hidup di Ibukota tanpa pemasukan rutin bulanan bukan perkara mudah. Jangankan harus membayar sewa kontrakan atau indekos, memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari pun sulit minta ampun.

Di tengah himpitan persoalan itu, beberapa orang mencoba mencari pinjaman untuk menambal biaya sehari-hari sambil berharap pandemi cepat berlalu dan beroleh pekerjaan agar kembali memiliki pemasukan bulanan.

pinjaman
Perhitungkan risiko gagal bayar. (Pixabay/Stevepb)

Pinjaman dari lembaga keuangan, baik berbasis daring (fintech) terpercaya dan perbankan, atau perorangan di kondisi sulit imbas pandemi, menurut Rizki Marman Saputra, Financial Planner pemegang sertifikasi Certified Financial Planner, masih dimungkinkan sepanjang bersifat produktif atau menaikan nilai keuangan si peminjam.

"Jangan malah pinjaman untuk kebutuhan life style dan hobby, atau kebutuhan pokok saja sehingga membebani keuangan karena peningkatan dana liabilitas dan setiap bulan harus mencicil tanpa ada dana tambahan masuk," kata Rizky.

Pinjaman bersifat produktif, lanjut Rizky, bukan sekadar modal untuk memulai usaha saja namun juga berfungsi untuk penghematan, semisal pinjaman berupa kredit kendaraan bermotor untuk menghemat biaya transportasi sekaligus sarana menjalankan usaha baru karena sebelumnya menggunakan transportasi massal.

pinjaman
Ilustrasi pinjaman. (Pixabay/Niekverlaan)

Meski begitu, Rizky mengingatkan faktor risiko gagal bayar akan menjadi beban baru bila peminjam tidak cermat mengelola keuangan. Sebaiknya, perhitungkan pemasukan tiap bulannya, lalu buat skala prioritas, dan terapkan skema 40 30 20 10, atau 40% biaya kebutuhan hidup bulanan, 30% liabilitas (cicilan), 20% investasi, dan 10% untuk membeli asuransi, dan membayar zakat.

Baca juga: 3 Sektor Ekonomi di Dunia yang Paling Parah Terpengaruh COVID-19

"Jika nilai besaran cicilan keseluruhan mencapai lebih dari 30 persen penghasilan bulanan, sebaiknya menunggu hingga salah satu cicilan lunas," kata manajer di salah satu lembaga keuangan milik BUMN tersebut.

Saat mengalami gagal bayar, segera lakukan restrukturisasi utang, negoisasi dengan lembaga keuangan untuk memperpanjang periode utang, sehingga nilai cicilan kredit menjadi lebih rendah dari sebelumnya. "Stop pinjaman tidak bersifat produktif di masa pandemi," pungkas Rizky. (*)

Bijaklah mengatur keuangan di saat sulit imbas COVID-19 biar kamu meinang.

Baca juga: 4 Hal ini Bikin Kantong Milenial dan Gen Z Jebol!

#MEInang
Bagikan

Berita Terkait

Bagikan