Politik Luar Negeri Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin, Dari Konfrontasi dengan Blok Barat sampai Keluar PBB


Presiden Sukarno berpidato menyerukan politik konfrontasi di Istora Senayan, Jakarta, pada 28 Juli 1963 (Foto: ANRI)
MerahPutih.com - Halo, Guys! Pernah enggak sih kamu merasa bingung dengan pilihan masa depan setelah lulus SMA?
Di satu sisi, kamu harus fokus belajar untuk ujian akhir. Di sisi lain, kamu juga harus memikirkan langkah selanjutnya: kuliah, kerja, atau mungkin gap year?
Nah, di tengah kebingungan itu, kita sering dihadapkan pada berbagai tantangan. Mulai dari memilih jurusan yang tepat hingga memikirkan bagaimana caranya mencapai cita-cita.
Rasanya kayak harus menentukan arah di tengah persimpangan jalan yang ramai, kan?
Situasi ini mirip dengan apa yang dihadapi Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) di bawah Presiden Sukarno.
Di tengah dunia yang terbelah antara Blok Barat dan Blok Timur, Indonesia harus menentukan arah politik luar negerinya.
Seperti anak-anak muda yang masih mencari jati diri, negara Indonesia yang masih berusia 14 tahun itu pun berusaha menemukan posisinya di tengah perubahan global yang cepat.
Yuk, kita telusuri bagaimana Indonesia, dengan segala tantangannya, berani mengambil sikap di panggung internasional.
Dari kecenderungan ke negara-negara Blok Kiri (Uni Soviet, Eropa Timur, dan Republik Rakyat China),berkonfrontasi dengan Belanda demi Irian Barat dan perang menghadapi Inggris di Malaysia, serta keluar dari Persatuan Bangsa-bangsa (PBB).
Semua ini menjadi bagian dari upaya mencari jati diri bangsa. Siap untuk menyelami kisah ini? Ayo kita mulai!
Baca juga:
Kehidupan Ekonomi Masa Demokrasi Terpimpin, Rakyat Antre Berjam-Jam Demi Dapat Barang Pokok
Meninggalkan Politik Bebas Aktif, Mendekat ke Blok Timur
Sejak Presiden Sukarno merumuskan konsep revolusi Indonesia yang belum selesai melalui pidato pada 17 Agustus 1959, politik luar negeri Indonesia berubah total.
"Revolusi Indonesia bertujuan melenyapkan imperialisme di mana-mana," kata Sukarno.
Imperialisme yang dimaksud adalah penjajahan model baru (neoimperialisme) berupa penjajahan ekonomi, politik, dan budaya.
Sukarno memandang negara Barat menerapkan neoimperialisme di banyak negara Asia dan Afrika. Ini membawa Indonesia berkonfrontasi atau siap berperang dengan negara Blok Barat.

Padahal sebelum pidato tersebut, politik luar negeri menganut konsep Bebas dan Aktif yang dicetuskan oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta, atau biasa disapa Bung Hatta, pada 2 September 1948.
Saat itu, dunia mulai terbelah jadi dua kekuatan besar, yaitu blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan blok Timur yang digawangi Uni Soviet.
Kedua negara adalah sekutu dan pemenang Perang Dunia II, tapi berlainan ideologi.
AS menganut liberalisme-kapitalisme, sedangkan Uni Soviet percaya pada komunisme. Keduanya saling berebut pengaruh di dunia.
Namun, Indonesia memutuskan enggak berpihak ke salah satunya.
Bung Hatta mengibaratkan politik luar negeri saat itu seperti 'mendayung di antara dua karang'. Indonesia adalah perahu kecil yang di tengah lautan yang penuh ombak dan dua karang besar.
"Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah upaya kita jangan menjadi objek dalam pertarungan internasional melainkan kita harus tetap menjadi subjek yang berhak menentukan sikap kita sendiri," kata Bung Hatta dalam buku Mendayung Diantara Dua Karang.
Sejak Bung Hatta mengundurkan diri dari Wakil Presiden pada 1 Desember 1956, politik luar negeri Indonesia cenderung menempuh jalur baru, yaitu politik luar negeri konfrontasi.
Politik konfrontasi adalah politik yang lebih mengutamakan perlawanan secara fisik terhadap negara lain. Lawan politik konfrontasi adalah politik diplomasi yang dianggap 'politik mengemis-ngemis' oleh Sukarno
"Sekarang kita tidak mengemis-ngemis lagi, tidak ngemis-ngemis lagi, tidak bicara-bicara lagi manis-manisan, tidak! Tetapi kita menjalankan konfrontasi. Konfrontasi politik, konfrontasi ekonomi, konfrontasi militer," kata Sukarno dalam naskah pidatonya Irian Barat adalah Tuntutan Rakjat Seluruh Rakjat Indonesia di Semarang, 10 November 1961.
Politik luar negeri konfrontasi Indonesia ditujukan kepada negara-negara blok Barat yang dianggap imperialis-kolonialis (penjajah). Alasannya, Belanda, sebagai negara blok Barat, masih menduduki dan menganggap Irian Barat sebagai wilayahnya.
Kawan-kawan satu blok Belanda, seperti AS dan Inggris, juga dianggap bertanggung jawab atas pendudukan itu.
Karena politik luar negeri konfrontasi meniscayakan perang, Indonesia memerlukan peralatan tempur. Dan saat itu, negara paling maju dalam bidang peralatan tempur cuma dua: AS dan Uni Soviet.
Indonesia enggak mungkin bekerja sama atau membeli peralatan tempur dari AS karena mereka sekutu Belanda. Masa AS menjual peralatan tempurnya ke Indonesia buat melawan Belanda?

Maka Indonesia memilih Uni Soviet sebagai kawan sekaligus penyuplai peralatan tempur. Uni Soviet pun punya kepentingan merangkul Indonesia.
Ketika pergolakan di Sumatera dan Sulawesi meletus pada 1958-1959, AS ikut melibatkan diri buat mendukung pergolakan tersebut. Sebab mereka melihat Indonesia mulai cenderung ke blok kiri.
Karena itulah, Uni Soviet mendukung Indonesia membabat habis pergolakan tersebut.
"Dukungan itu diberikan bukan saja dalam bentuk dukungan diplomatik tetapi juga bantuan militer dalam skala besar," tulis Bantarto Bandoro dalam "Pasang Surut Hubungan Indonesia-Soviet", yang dimuat dalam koran Suara Karya 5 Juni 1984.
Baca juga:
Kehidupan Sosial-Budaya Masa Demokrasi Terpimpin, Pers Dikekang dan Budaya Barat Dilarang
Konfrontasi dengan Belanda demi Merebut Irian Barat
Masalah Irian Barat seharusnya diselesaikan setahun setelah perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) digelar pada Desember 1949. Namun, pembicaraan tentang status Irian Barat enggak menemukan solusi.
Belanda masih ngotot menduduki dan menganggap Irian Barat sebagai wilayahnya. Sebaliknya, Indonesia menilai Irian Barat bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karena itulah, Indonesia membatalkan secara sepihak perjanjian KMB pada 1956, termasuk pula utang Indonesia kepada Belanda. Selain itu, Indonesia mengambil alih perusahaan Belanda buat dijadikan perusahaan negara (nasionalisasi).
Protes anti-Belanda merebak di berbagai kota di Indonesia sepanjang 1957. Karena khawatir dengan peningkatan konflik, pemerintah Belanda memulangkan orang-orang Belanda dari Indonesia (repatriasi).

Kenapa sih kok Irian Barat penting banget buat Indonesia?
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mendorong penerapan kembali UUD 1945 buat menggantikan UUDS 1950, menjadi landasan Utama bagi Sukarno merebut Irian Barat dari Belanda.
"Di dalam UUD kita ada ditulis bahwa wilayah Republik Indonesia ialah Indonesia. Nah, Indonesia itu mana? Seluruh tanah air kita, seluruh Kepulauan di antara Sabang sampai ke Merauke itulah wilayah Republik Indonesia, itulah Indonesia," kata Sukarno.
"Dus, Irian Barat memang sudah masuk kedalam wilayah Republik Indonesia," lanjut Sukarno dalam naskah pidatonya Irian Barat adalah Tuntutan Rakjat Seluruh Rakjat Indonesia di Semarang, 10 November 1961.
Sukarno enggak main-main dengan ucapannya. Ia merasa Indonesia harus bersiap menghadapi Belanda secara fisik. Maka dia memperkuat angkatan bersenjata dengan membeli senjata dari Uni Soviet.
"Pembelian sejumlah besar senjata yang dilakukan Indonesia dari Uni Sovyet yang memang direncanakan secara khusus menjadi sarana pembebasan Irian Barat," catat Herbert Feith, pengamat politik dari AS, dalam buku Soekarno Militer dalam Demokrasi Terpimpin.
Militer Indonesia juga menerima penuh keputusan pembelian persenjataan dari Uni Soviet.
"Di pertengahan 1950an Indonesia memiliki hubungan yang dekat dengan Uni Soviet. Dari kredit hingga hibah mengalir dari Uni Soviet ke Indonesia untuk pembangunan industri dan militer," begitu penjelasan Sylvia Moulina Mulyadi dalam penelitiannya yang berjudul Kerjasama Ekonomi dan Militer Uni Soviet-Indonesia, 1955-1965, yang terbit di Universitas Gadjah Mada.
KSAD Jenderal A.H. Nasution bahkan sampai berkunjung ke Uni Soviet buat menandatangani kesepakan pinjaman militer sebesar USD 450 juta (setara Rp 72 triliun nilai sekarang) pada 1960.
Kunjungan Nasution itu adalah balasan dari kunjungan Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khruschev ke Indonesia pada Februari 1960.
Dalam rentang ini pula, Sukarno memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda.
Indonesia dan Belanda sebenarnya sempat membawa kasus Irian Barat ke Majelis PBB. Namun pas diplomat sedang bertugas, ada pertempuran laut antara angkatan laut Indonesia dengan Belanda di Laut Aru pada 15 Januari 1962.

Pertempuran itu menyebabkan gugurnya lebih dari lima puluh personel AL Indonesia, termasuk pula Wakil Kepala Staf Angkatan Laut, Yos Sudarso.
Pertempuran itu terjadi kurang dari sebulan setelah Sukarno memaklumatkan Trikora (Tiga Komando Rakyat), seruan buat mengampanyekan pembebasan Irian Barat pada 19 Desember 1961.
Isi Trikora ada tiga, yaitu gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda; kibarkan merah putih di Irian Barat; dan bersiap mobilisasi umum (perang).
Sukarno mendeklarasikan Trikora sebagai reaksi dari rencana Belanda memberi kemerdekaan kepada Irian Barat (New Guinea).
Baca juga:
Jakarta dalam Visi Sukarno Masa Demokrasi Terpimpin, Kota Mercusuar Modern Negara Asia-Afrika
Konfrontasi dengan Malaysia dan Inggris
Melalui serangkaian pembicaraan di PBB dan unjuk gigi kekuatan bersenjata dengan menyusupkan pasukan ke Irian Barat, Indonesia berhasil menekan Belanda.
Posisi Belanda kian terdesak ketika AS turut campur membantu Indonesia merebut Irian Barat dari Belanda. Sikap AS ini terpaksa dilakukan mengingat Indonesia dan Uni Soviet kian dekat.
Dengan memberikan Irian Barat ke Indonesia, AS berharap Indonesia punya pandangan lebih baik terhadap blok Barat.
AS juga mengancam Belanda kalau enggak mau melepaskan Irian Barat ke Indonesia, bantuan Marshall Plannya akan dicabut.
Bantuan Marshall Plan adalah bantuan pembangunan dari AS buat sekutunya yang jadi korban Perang Dunia II.
Lewat campur tangan AS, Indonesia berhasil merebut Irian Barat dari Belanda pada 15 Agustus 1962.
"Kemenangan tercapai terutama dari serangkaian perundingan, yang diusahakan Amerika Serikat dengan mediator Ellsworth Bunker," sebut Herbert Feith.
Kemenangan itu membawa rakyat agak melupakan keadaan susah ekonomi keseharian. Jiwa mereka berkobar setelah mendengar kabar itu. Citra Sukarno dan tentara pun meningkat.
Setelah konfrontasi dengan Belanda berakhir, Indonesia masuk babak baru konfrontasi. Kali ini dengan Inggris di Malaysia.

Pertikaian kedua negara serumpun itu bermula dari penolakan Indonesia terhadap gagasan Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdul Rahman pendirian Federasi Malaysia pada 16 September 1963.
"Indonesia menganggap pembentukan Malaysia merupakan satu agenda Barat yang bertujuan untuk mengepung Indonesia," kata Linda Sunarti, pengajar sejarah Universitas Indonesia, dalam disertasinya Penyelesaian Damai Konflik Indonesia Malaysia 1963-1966.
Saat itu, meski sudah merdeka dari Inggris pada 1957, Malaysia masih punya ikatan kuat dengan Inggris, terutama dari segi politik dan ekonomi.
Enggak heran bila Sukarno dan banyak orang Indonesia ketika itu menganggap pembentukan bukan inisiatif dari orang Malaysia yang serumpun dengan Indonesia, melainkan orang Inggris.
Sukarno lalu mulai menyusun kata-kata buat membakar emosi massa dan menolak gagasan tersebut.
Pada 23 September 1963, Presiden Sukarno meneriakan seruan "ganyang Malaysia" di hadapan puluhan ribu rakyat Yogyakarta. Rakyat membalas teriakan itu dengan antusias.
Padahal menurut Perdana Menteri Malaysia, pembentukan federasi Malaysia yang meliputi semenanjung Melayu, Singapura, Brunei dan Borneo Utara (Sabah dan Sarawak) bakal memperkuat politik dan ekonomi wiayah tersebut.
Rencana pembentukan federasi Malaysia didukung oleh sebagian besar rakyat Malaysia.
Namun, dari mata rakyat Indonesia, apapun alasannya, pembentukan federasi tersebut bakal mengancam kedudukan Indonesia karena menguatkan posisi Inggris, terutama di Kalimantan Utara.
Penentangan terhadap pembentukan federasi Malaysia muncul paling kuat dari Partai Komunis Indonesia (PKI), partai yang paling dominan saat Demokrasi Terpimpin.

PKI juga ikut mendukung penuh kampanye 'Ganyang Malaysia' lewat Dwikora sepanjang 1963-1965.
Dwikora dicetuskan di Jakarta pada 3 Mei 1964. Isinya perhebat ketahanan Revolusi Indonesia dan bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, dan Sarawak.
Sejak itu, PKI turut mengirim sukarelawan ke Malaysia buat membantu militer masuk ke Sabah dan Sarawak.
Perang gerilya antara militer dan sukarelawan Indonesia dengan Inggris pun enggak terhindarkan lagi.
Baca juga:
Akhir Politik Konfrontasi
Di berbagai kota besar Indonesia, protes besar-besaran anti-Malaysia muncul. Massanya berasal dari PKI.
Pertikaian Indonesia dan Malaysia sempat ditengahi oleh PBB dan negara netral lainnya. Namun, campur tangan dari AS dan Uni Soviet membawa masalah ini semakin keruh.
PBB yang dikuasai oleh blok Barat menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan pada 7 Januari 1965.
Keputusan ini mendapat reaksi keras dari Indonesia, tapi enggak digubris. Puncaknya, Indonesia keluar dari PBB pada 20 Januari 1965. Keputusan ini didukung oleh negara blok sosialis seperti Uni Soviet, RRC, Vietnam, dan Eropa Timur.

Sikap antipati Indonesia terhadap PBB sebenarnya telah muncul sejak 1960 ketika Sukarno berpidato di depan Sidang Umum PBB. Di situ Sukarno menyatakan bahwa PBB harus dirombak.
"Bahkan saya berkata tempat PBB harus dipindahkan daripada New York ketempat lain. karena PBB sekarang ini tidak mecerminkan lagi peri-kehidupan manusia didunia," kata Sukarno.
Sentimen anti-Barat juga kian meningkat selama masa konfrontasi dengan Malaysia, terutama di Jakarta. Buruh mengambil alih perusahaan Inggris di Indonesia. Orang Amerika enggak luput dari sasaran.
"Orang komunis meningkatkan konfrontasi terhadap Amerika Serikat dengan menyerbu kantor penerangan Kedutaan Besar Amerika Serikat, dan melakukan perusakan dan pembakaran," cerita Mochtar Lubis dalam Hati Nurani Melawan Kezaliman menyerang negara-negara Barat sebagai
Meski tampak gagah, politik konfrontasi ternyata justru mengucilkan Indonesia dari tata pergaulan internasional.
Negara-negara Barat pun memutus aliran dana bantuan ekonomi buat Indonesia. Akibatnya, ekonomi dalam negeri Indonesia rontok. Sementara Uni Soviet pun mulai membatasi piutangnya terhadap Indonesia setelah Sukarno mulai condong ke RRC.
Meski sama-sama komunis, RRC dan Uni Soviet enggak pernah akur. Sebab keduanya juga punya landasan komunisme yang berbeda.
Politik konfrontasi Indonesia berakhir ketika kuasa Sukarno melemah pada 1966 setelah diambil alih oleh Soeharto lewat Surat Perintah Sebelas Maret 1966.
Nah, setelah melalui berbagai konfrontasi dan perubahan, apakah Indonesia menemukan jati dirinya di panggung internasional? Apakah semua perjuangan ini sebanding dengan harga yang harus dibayar?
Siapkah kamu menghadapi tantangan global berikutnya dengan cara yang lebih damai dan konstruktif? (dru)
Baca juga:
Sejarah Program Makan Bergizi Zaman Sukarno, Menggugah Kesadaran Gizi Anak Sekolah
Bagikan
Hendaru Tri Hanggoro
Berita Terkait
1 Oktober Memperingati Hari Apa? Dari Hari Kesaktian Pancasila hingga Tragedi Kanjuruhan

30 September Memperingati Hari Apa? Ada G30S/PKI hingga Momen Penting Dunia

29 September Diperingati Hari Apa? Ini Daftar Lengkap dengan Fakta Sejarahnya

27 September Memperingati Hari Apa? Lengan dengan Sejarah dan Fakta Menarik

25 September Memperingati Hari Apa? Ini Deretan Peristiwa Penting dan Fakta Menariknya

23 September Memperingati Hari Apa: Ini Fakta Lengkapnya

22 September Memperingati Hari Apa? Ini Deretan Peringatan Penting dan Fakta Menariknya

19 September Memperingati Hari Apa? Fakta Sejarah Ini Jarang Diketahui!

18 September Memperingati Hari Apa? Kamu Harus Tahu!

16 September Memperingati Hari Apa? Ini 5 Sejarah Penting yang Terjadi
