Pesan Antikorupsi dari Pementasan "Sun Go Kong: Kura-Kura Putih Membawa Kitab Suci"


Pementasan wayang potehi bertajuk "Sun Go Kong: Kura-Kura Putih Membawa Kitab Suci". (Foto: ANTARA/Ari Bowo Sucipto)
ACARA seni Art Jakarta 2017 yang berlangsung pada 27-30 Juli lalu dimeriahkan pula dengan pementasan wayang potehi bertajuk "Sun Go Kong: Kura-Kura Putih Membawa Kitab Suci". Pementasan wayang khas Tionghoa oleh Sanggar Rumah Cinta Wayang itu membawa pesan moral "antikorupsi" yang disampaikan melalui cerita yang ringan.
"Kami bikin sifatnya edukatif dengan awalnya diperkenalkan tentang kisahnya, lalu akhir ada pesan moral," tutur Pendiri Sanggar Rumah Cinta Wayang, Dwi Woro Retno Mastuti di Jakarta, belum lama ini.
"Sun Go Kong: Kura-Kura Putih Membawa Kitab Suci" berkisah tentang pencarian kitab suci. Dalam perjalanan mencari kitab suci, Pendeta Tong dan tiga muridnya berkeinginan menjumpai seorang hartawan bernama Kwan Hong. Keinginan mereka tercapai. Pendeta Tong dan tiga muridnya berhasil menemui sang hartawan.
Setelah bertemu Kwan Hong, mereka melanjutkan perjalanan. Namun, rupanya perjalanan mencari kitab suci tidak mulus. Untuk mendapatkan kita suci, Pendeta Tong dan murid-muridnya diwajibkan membayar uang suap. Tidak hanya itu. Mereka juga ditipu. Kitab suci yang diterima ternyata kosong.
Menurut Woro, itulah pesan moral yang ingin disampaikan melalui pementasan wayang potehi ini. Masyarakat diajak menghindari korupsi, suap, kelicikan dan hal-hal negatif karena dapat merugikan orang lain.
Pelestarian kesenian tradisional
Pementasan wayang potehi "Sung Go Kong: Kura-Kura Putih Membawa Kitab Suci" itu juga merupakan salah satu upaya Sanggar Rumah Cinta Wayang melestarikan kesenian tradisional yang berusia sekitar 3 ribu tahun itu. Mereka tak ingin wayang potehi punah. Agar pertunjukan lebih menarik dan disukai orang-orang yang baru mengenal wayang potehi, sanggar ini mengangkat cerita yang lebih ringan ketimbang wayang potehi klasik.
"Wayang potehi klasik memiliki pakem asli yang dipersembahkan untuk para dewa dan berkisah tentang legenda Tionghoa. Anak-anak era baru tidak bisa menyerap legenda itu," terang Woro.
Rumah Cinta Wayang mengembangkan pula kisah-kisah legenda lokal Indonesia dengan wayang-wayang potehi berwujud legenda di Indonesia yang lebih dekat dengan masyarakat.
Pementasan wayang potehi "Sun Go Kong: Kura-Kura Putih Membawa Kitab Suci" ini menimbulkan pro dan kontra. Penampilan kesenian tradisional dengan modifikasi tersebut dinilai bukan wayang potehi karena tidak dipentaskan di vihara dan memiliki alur cerita berbeda. Meski begitu, Woro tetap berharap wayang potehi tetap terjaga kelestariannya hingga masa mendatang. (*)
Sumber: ANTARA
Wayang potehi selalu menjadi primadona di berbagai acara budaya. Dapatkan informasi detailnya pada artikel Wayang Potehi Selalu Primadona Di Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta.