Perempuan (diharapkan) Sering Minta Maaf


Perempuan diharapkan untuk lebih banyak meminta maaf. (foto: Instagram @lambe_turah)
WARGANET negeri aing gempar. Sebuah video yang memperlihatkan perempuan berkerudung biru meneriakkan caci maki dari dalam mobil. Ia geram karena petugas meminta mereka putar balik karena adanya larangan mudik. Lebih gempar lagi, ia memaki aparat. Waduh.
Komentar pedas warganet negeri aing pun langsung mencuat. Tajam, setajam silet semua komentar itu. Ada yang menyayangkan kelakuan si perempuan. Tak sedikit juga yang jengah mendengar seorang perempuan memaki.
BACA JUGA:
Tak dimungkiri, di negeri aing, ada stereotipe bahwa perempuan tuh harus ‘halus’. Bukan berkulit halus, melainkan lembut dalam tingkah laku dan wicara. Pakemnya sih, perempuan itu dididik harus ngomong pelan, tak boleh keras apalagi membentak, haram melontarkan kata-kata kasar, apalagi pakai ngomong jorok. Ih, pasti langsung diteriakin, ‘amit-amit!’. Alhasil, dengan banyaknya pakem kayak gitu, gerak perempuan jadi terbatasi. Perempuan jadi punya batas yang ketat tentang membuat salah. Ngomong keras dikit, dianggap salah. Ujungnya harus minta maaf. Jadi tidak mengherankan jika perempuan ialah makhluk yang banyak minta maaf.

Hal itu berbanding lurus dengan sebuah studi yang dilakukan profesor departemen psikologi di Universitas Waterloo, Kanada, Karina Schumann menemukan perempuan memang lebih banyak meminta maaf ketimbang laki-laki. Dalam studi yang dipublikasikan pada 2010 itu, peneliti meminta para peserta mencatat daftar kesalahan dan permintaan maaf yang disampaikan. Hasilnya, tak ada perbedaan jumlah kesalahan yang dilakukan baik oleh perempuan maupun laki-laki. Namun, laki-laki justru meminta maaf lebih sedikit daripada perempuan. “Itu disebabkan para pria punya ambang batas yang lebih rendah dalam menimbang sebuah aksi sebagai kesalahan,” jelas Schumann.
Dalam studi lanjutan, Schumann meminta para partisipan memberi level kesalahan yang layak mendapat permintaan maaf. Hasilnya, para perempuan punya batas lebih ketat terhadap kesalahan. Di lain hal, pria lebih santuy dalam hal menimbang kesalahan.
Sebagai contoh nih, perempuan akan otomatis meminta maaf ketika bersendawa di tempat umum. Sebaliknya, para pria akan melewatinya begitu saja.
Mengapa demikian? Ya, itu tadi, karena perempuan punya pakem.
Lalu, haruskah perempuan selalu meminta maaf untuk hal-hal remeh?
BACA JUGA:
Profesor linguistik di Georgetown Deborah Tannen, dikutip The New York Times, mengatakan meminta maaf merupakan bagian alami dari bahasa. Sementara itu, ide mengenai perempuan ‘lebay’ dalam meminta maaf amatlah subjektif. “Mungkin masalahnya bukan ‘mengapa perempuan sering banget minta maaf?’, melainkan ‘mengapa meminta maaf dicap buruk?’,” ujarnya.
Ya, meminta maaf bukanlah hal yang buruk. Namun, itu akan jadi sangat buruk ketika seseorang—dalam hal ini perempuan—diharapkan untuk selalu meminta maaf. Bahkan untuk hal-hal sepele yang jelas-jelas di luar kendali mereka. Misal nih, “Maaf ya, muka aku berantakan. Lagi jerawatan.” Kenapa perempuan harus minta maaf karena berjerawat. Bukankah jerawat sesuatu yang alami?
Lebih jauh, Tannen menjelaskan, secara definisi harfiah, meminta maaf adalah pengakuan akan tindakan yang menyinggung, kesalahan, atau kegagalan. “Meski demikian, konteks meminta maaf juga penting,” tegasnya.
Dalam hal ini, permintaan maaf bisa digunakan untuk memperbaiki hubungan yang rusak atau terputus, menunjukkan rasa hormat, dan bahkan dalam beberapa budaya, permintaan maaf digunakan untuk memperhalus percakapan.
Meski demikian, Tannen mengamini bahwa meminta maaf bisa jadi pisau bermata dua buat perempuan. “Seperti buah simalakama. Bagi perempuan, terlalu sering meminta maaf akan membuat mereka terlihat lemah dan mudah dieksploitasi. Namun, jika terlalu percaya diri dalam berbicara, perempuan dipandang agresif dan mengintimidasi,” katanya.
Teori Tannen berlaku di negeri aing.

Di luar sana, para perempuan negeri aing mungkin merasakan betapa mereka dituntut untuk memenuhi pakem yang membuat mereka mudah mendapat stigma. Padahal, perempuan juga manusia. Yang bisa marah, yang bisa kesal, yang bisa emosi. Yang sesekali ingin memaki. Gitu kan?
Lantas, apakah itu berarti perempuan bebas memaki siapa saja tanpa minta maaf? Ya enggak gitu juga kali. Sekali lagi, konteksnya harus diletakkan dengan tepat.
Si perempuan berhijab biru pasti langsung merasa tak enak ‘dihakimi’ warganet karena lontaran kata kasar. Namun, di luar kata kasar itu, ia melanggar aturan. Jadi ketika ia meminta maaf secara publik, itu merupakan caranya untuk menunjukkan rasa hormat dan memperbaiki hubungannya dengan aparat. Selain itu, permintaan maaf itu harus dilakukan karena perempuan itu merasa salah setelah tak taat aturan putar balik ketika arus mudik.(dwi)